Strategi Komunikasi untuk Membendung Penularan Covid-19 di Masyarakat
Strategi komunikasi yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah adalah membangun kewaspadaan setiap anggota masyarakat tentang bahaya Covid-19
Oleh: Dr Jannus TH Siahaan
VARIAN baru virus corona, Delta, di Indonesia, mengakibatkan eskalasi kasus positif Covid-19 di berbagai daerah Jawa=Bali serta Sumatera nampaknya menjadikan semakin sulit dibendung oleh pemerintah.
Virus corona varian Delta tersebut ternyata tingkat penularannya relatif lebih tinggi dan mudah menyebar dari satu penderita kepada yang lain.
Inilah sebab musabab ambruknya infrastruktur kesehatan nasional karena keterbatasan daya tampung, minimnya peralatan kesehatan seperti tabung oksigen, dan banyaknya tenaga kesehatan yang sakit sehingga semakin mengkhawatirkan juga ketersediaan Nakes.
Sayangnya, penerapan PPKM Level 4 Jawa – Bali maupun Sumatera ternyata tidak efektif mampu menekan mobilitas masyarakat karena masih banyak anggota masyarakat yang menganggap sederhana bahaya penyebaran varian Delta dan akibatnya semakin banyak jatuh korban jiwa.
Satu di antara sebab utamanya tentu faktor ekonomi. Masyarakat sebenarnya secara umum sudah tahu tentang covid 19 namun ada isu lain yang dianggap juga penting yaitu hidup harus berlanjut.
Sehingga banyak yang masih memilih sebagai prioritas bukan covid dan enggan patuh. Karena realitasnya pemerintah memang masih belum benar dalam memberikan solusi semacam bantuan uang dan logistik, jika masyarakat harus terus menerus bertahan di rumah.
Demikian pula dengan perusahaan jika dipaksa terus menerus berhenti beroperasi maka potensial akan langsung bangkrut. Jadi serba salah.
Sebagian masyarakat terpaksa tetap bekerja di luar rumah dan tetap melakukan aktivitas agar tetap bisa menafkahi keluarga, sementara pemerintah belum bisa memberikan jaminan pendapatan masyarakat yang hilang kalau mereka dipaksa harus tetap di rumah
Di sisi lain, sangat nyata bahwa pemerintah masih lemah dalam hal strategi komunikasi. Padahal dengan fakta demikian tingginya yang terkena virus Covid 19 maka pemerintah harus melakukan perubahan strategi komunikasi publik dengan menerapkan pendekatan framing of risk (teori prospek).
Asumsinya adalah bahwa kerugian dan keuntungan dinilai secara berbeda, dengan demikian individu dapat membuat keputusan berdasarkan keuntungan yang dirasakan ketimbang kerugian yang akan dialami.
Dalam konteks pandemik, strategi komunikasi yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah adalah membangun kewaspadaan setiap anggota masyarakat tentang bahaya Covid-19 yang mengancam hilangnya nyawa siapapun tanpa memandang usia dan latarbelakang lainnya.
Dengan kata lain, gaya komunikasi yang perlu dibangun ialah komunikasi darurat kelas satu dimana massif disebarluaskan bahwa Indonesia sedang berada dalam bahaya wabah yang mematikan.
Pemerintah dituntut untuk mampu meyakinkan publik bahwa mencegah bahaya kesehatan dari Covid-19 jauh lebih penting ketimbang urusan ekonomi.
Jadi pesan yang perlu disebarkan ialah pesan-pesan dalam konteks framing of risk, yakni pesan-pesan yang lebih menitikberatkan pada risiko yang akan ditimbulkan oleh Covid-19 dan risiko dari kegiatan yang mempercepat penularan Covid-19.
Contoh analogis yang paling mudahnya dipahami adalah peraturan pelarangan merokok yang dikomunikasikan dengan gambar penderita kanker paru-paru pada setiap kemasan rokok.
Dalam tataran teknis, tentu pengemasan pesan perlu dilakukan secara variatif, stratejik, kreatif, dan menyasar seluruh target lapisan masyarakat agar secara inklusif masyarakat faham akan bahaya Covid-19.
Karena gagalnya penyampaian pesan tersebut, pemerintah juga gagal memaksimalisasi penerapan kebijakan PPKM level 4. Masyarakat masih beranggapan bahwa bahaya dari penyebaran Covid 19 tidak lebih penting ketimbang bahaya jika tidak keluar rumah untuk beraktifitas demi sesuap nasi. Persoalan kurang maksimalnya penyampaian pesan ini terkesan sangat sederhana, tapi justru sebenarnya perannya sangat krusial dan stratejik dalam ikhtiar mengubah perilaku publik terhadap Covid 19. Dengan kata lain, jika pesan tak sampai kepada publik, maka pesan tidak akan diinternalisasi dengan baik dan akan gagal digunakan sebagai pertimbangan dalam menentukan opsi perilaku.
Melihat kondisi krisis kesehatan yang semakin parah dan berbahaya akibat pertambahan angka kasus yang semakin agresif, ditambah dengan semakin banyaknya negara yang melarang warga negaranya untuk berkunjung ke Indonesia, selain menutup pintu izin masuk bagi WNI, maka saat ini sudah seharusnya pemerintah menyebarkan informasi dengan pesan yang dan melalui semua lini dan saluran penyebaran informasi yang ada.
Pesan Kominfo RI sebagai institusi pemegang otoritas penuh dalam urusan informasi publik dalam memberikan informasi yang gamblang, jelas, dan tentunya dapat dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa terkecuali harus dimaksimalkan lagi.
Dengan fakta yang berkembang sampai hari ini, tentu kesimpulan sementara kita bahwa Kominfo RI masih belum mampu membangun pemahaman masyarakat mengenai bahaya Covid-19 di seluruh level lapisan masyarakat.
Pemerintah dan Kominfo RI sangat perlu memperlakukan situasi darurat, sehingga semua celah dan upaya penyebaran pesan bahaya bisa dipakai. Karena, bukankah menyelamatkan nyawa setiap warga negara adalah tugas utama pemerintah.
Strategi komunikasi yang dapat dilakukan dengan mempertajam framing tentang bahaya dan risiko yang diakibatkan oleh Covid-19 saat ini ialah, pertama, mengoptimalkan seluruh saluran komunikasi yang ada (Stasiun TV, Radio, Internet, Media Sosial, dan berbagai saluran lainnya) yang bisa mudah diakses oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa terkecuali.
Kedua, menggalang opinion leader atau tokoh masyarakat berpengaruh khususnya untuk mengkomunikasikan aneka pesan terkait mengatasi penularan Covid-19 dengan menggunakan bahasa yang mudah dimengerti oleh seluruh lapisan masyarakat, termasuk penggunaan konten-konten lokal yang disuarakan oleh tokoh-tokoh lokal dan tokoh komunitas.
Dalam hal ini, adaptasi kebijaksanaan lokal dan suara-suara dari komunitas lokal perlu disasar, karena ternyata di beberapa daerah terbukti sangat mumpuni dalam meningkatkan kapatuhan anggota komunitas pada tata kelola mitigasi Covid-19.
Nihilnya kasus di Covid 19 di masyarakat Badui, Provinsi Banten bukan saja karena Badui adalah masyarakat tertutup, tapi juga karena peran tokoh dan pemimpin lokal di Badui sebagai kunci utama bagi masyarakatnya dalam mematuhi aturan main pencegahan penyebaran kasus Covid-19, selain adanya ramuan-ramuan tradisional Badui yang berfungsi meningkatkan daya tahan tubuh dan selama ini sudah rutin dikonsumsi oleh masyarakat di sana tentunya.
Apa yang terjadi di Badui ini tentunya bisa diadopsi oleh pemerintah dalam mendekati tokoh-tokoh budaya dan komunitas untuk menjadi agen penyebaran informasi bahaya Covid-19 di tingkat akar rumput
Dan ketiga, pemerintah perlu pula memaksimalisasi peran akademisi, perguruan tinggi dan institusi pendidikan lainnya dalam menyebarkan komunikasi bahaya Covid-19. Jejaring dunia pendidikan akan memiliki pengaruh cukup signifikan dalam mengajak seluruh pihak, baik masyarakat umum maupun swasta untuk bahu membahu menggaungkan bahaya Covid-19 sebagai tanggung jawab sosialnya.
Pandangan-pandangan akademis dari pihak kampus dan lembaga pendidikan akan menjadi counter narrative yang positif untuk mematahkan pandangan-pandangan konspiratif terkait Covid-19 yang masif beredar luas di tengah masyarakat.
Terbukti, pesan-pesan konspiratif yang kontradiktif terhadap pesan pemerintah cukup berperan besar dalam mengurangi rasa was-was publik terhadap bahaya Covid-19. Sehingga dengan maksimalisasi peran lembaga pendidikan dari pusat hingga ke daerah-daerah akan memvalidasi dan mangamplifikasi pesan-pesan darurat dari pemerintah di satu sisi, tapi juga bisa menegasi berbagai berita hoaks yang berlawanan dengan pesan yang ingin disampaikan oleh pemerintah.
Akhir kata, baik pemerintah dan institusi pendidikan harus gigih dalam menyampaikan pesan-pesan yang bisa menimbulkan ketakutan di masyarakat agar setiap warga bangsa membekali diri melakukan perlawanan terhadap penularan Covid-19. (*)
