Dari Kongres Pemuda ke Aktivisme Digital: Nasionalisme Generasi Masa Kini
Ikrar sederhana itu menjadi simbol lahirnya semangat nasionalisme Indonesia: satu tanah air, satu bangsa, satu bahasa.
Oleh: Helena Sihotang (Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Katolik Santo Thomas Medan)
SUDAH sembilan puluh tujuh tahun yang lalu, tepatnya 28 Oktober 1928 merupakan bagian sejarah Indonesia yang tidak bisa dilupakan. Moment ini menunjukkan bagaimana peran anak muda dalam membangun jiwa nasionalisme yang telah memberikan dampak ke semua sendi negara ini. Pada saat itu, sekelompok pemuda dari berbagai daerah berkumpul di Gedung Osst Java Bioscoop untuk mengikrarkan Sumpah Pemuda.
Ikrar sederhana itu menjadi simbol lahirnya semangat nasionalisme Indonesia: satu tanah air, satu bangsa, satu bahasa. Dari sanalah kesadaran kebangsaan kita bertumbuh lahir dari ruang diskusi, pertemuan, dan tekad untuk bersatu melawan penjajahan.
Kini, hampir satu abad berselang, semangat itu menemukan wujud baru dan praktis. Para pemuda tidak lagi berkumpul di gedung kongres, tetapi di ruang digital: di grup WhatsApp, di kolom komentar, di tagar-tagar yang viral di media sosial. Inilah wajah baru nasionalisme: aktivisme digital.
Nasionalisme yang Bertransformasi
Generasi masa kini telah tumbuh dalam dunia yang serba terkoneksi dan tanpa batas, tanpa sekat dimana kondisi ini menjadi peluang untuk penyebaran nasionalisme antara yang satu dengan yang lain. Data dari Kementerian Kominfo menyebutkan bahwa lebih dari 80 persen pengguna internet di Indonesia merupakan generasi muda di bawah 35 tahun.
Sementara riset Katadata Insight Center (2024) mencatat bahwa Gen Z rata-rata menghabiskan 3–4 jam per hari di media sosial. Namun, media sosial bagi mereka bukan hanya tempat hiburan. Survei Detikcom (2024) menunjukkan bahwa 87 persen anak muda menggunakan media sosial untuk menyuarakan isu penting mulai dari lingkungan, keadilan sosial, hingga politik nasional, artinya, semangat berjuang dan bersuara yang dulu diwujudkan melalui rapat dan kongres, kini bergeser menjadi postingan, video, dan kampanye digital.
Mereka tidak lagi membawa bendera di jalanan, tetapi membawa pesan nasionalisme lewat unggahan di dunia maya. Bentuknya memang berubah, tapi esensinya tetap sama: cinta pada tanah air dan kepedulian terhadap sesama.
Dari Gedung Kongres ke Ruang Digital
Jika pada tahun 1928 para pemuda musti melewati perjalanan panjang dan berbagai tantangan untuk hadir di Kongres Pemuda. Namun kini semangat persatuan bisa dihidupkan hanya lewat sentuhan jari. Media sosial menjembatani anak bangsa dari Sabang sampai Merauke untuk bertukar ide dan memperjuangkan isu bersama.
Kita melihat banyak contoh ketika warganet Indonesia bersatu membantu korban bencana, menggalang dana, atau menyebarkan pesan solidaritas lintas agama dan budaya. Inilah bentuk baru gotong royong dan kepedulian sosial roh sejati dari nasionalisme Indonesia. Praktis dan berdampak.
Namun, di sisi lain, ruang digital juga menjadi ladang perpecahan baru. Hoaks, ujaran kebencian, dan polarisasi politik kerap menggerus nilai persatuan yang dulu diperjuangkan dengan darah dan air mata. Di sinilah tantangan nasionalisme era digital: bagaimana kita tetap bersatu di tengah derasnya perbedaan opini yang mudah tersulut di media sosial.
Baca juga: Apel Sumpah Pemuda, Kapolrestabes Medan Serukan Indonesia Emas 2045
Aktivisme Tanpa Aksi
Walapupun digitalisasi menjadi wadah praktis, ada sisi lain yang perlu diwaspadai. Aktivisme digital sering kali berhenti pada “klik dan bagikan”. Sebagian besar aktivisme digital di Indonesia masih bersifat simbolik hanya sebatas dukungan online tanpa aksi nyata di lapangan.
Inilah tantangan terbesar generasi saat ini: bagaimana menjadikan aktivisme digital bukan sekadar gaya hidup, tetapi gerakan sosial yang berdampak. Nasionalisme tidak cukup hanya di layar ponsel, tapi perlu diwujudkan lewat tindakan nyata di lingkungan, sekolah, kampus, dan komunitas masing-masing. Sumpah Pemuda 1928 tidak berhenti di atas kertas, ia melahirkan perjuangan yang nyata. Maka semangat digital hari ini pun harus melahirkan aksi.
Menyambung Jejak Sumpah Pemuda
Di era digital, nasionalisme tidak lagi hanya soal bendera dan lagu kebangsaan, tapi juga soal bagaimana anak muda menjaga ruang digital tetap sehat, produktif, dan beradab. Menolak hoaks adalah bentuk patriotisme. Menyebarkan semangat toleransi dan menghargai keberagaman juga bagian dari cinta tanah air.
Pendidikan kebangsaan di sekolah dan kampus seharusnya tidak hanya mengajarkan hafalan teks Sumpah Pemuda, tetapi juga bagaimana nilai-nilai itu diterapkan di dunia digital. Berbagai pihak seperti Orang Tua, Tenaga Pendidik, Pemerintah perlu membimbing generasi muda agar melek informasi, berpikir kritis, dan bertanggung jawab dalam menggunakan media sosial. Sumpah Pemuda dulu menjadi tonggak lahirnya Indonesia modern.
Kini, aktivisme digital bisa menjadi tonggak lahirnya Indonesia cerdas digital, bangsa yang tidak hanya melek teknologi, tapi juga kuat secara moral dan sosial. Semangat Sumpah Pemuda adalah semangat melampaui sekat, menyatukan yang berbeda. Generasi masa kini mewarisi tugas yang sama, hanya medianya yang berubah.
Kalau dulu perjuangan dilakukan di ruang kongres, hari ini perjuangan itu berlangsung di ruang digital dan masa depan Indonesia ada di tangan mereka yang mampu mengubah klik menjadi aksi, dan unggahan menjadi perubahan. (*/Tribun-Medan.com)
| Kapolres Toba Hadiri Upacara Hari Sumpah Pemuda: Meneladani Semangat Persatuan Para Pemuda 1928 |
|
|---|
| PERINGATAN Hari Sumpah Pemuda di SMPN 1 Salak: Merayakan Keberagaman dan Semangat Persatuan |
|
|---|
| Polres Pelabuhan Belawan Gelar Upacara Hari Sumpah Pemuda Tahun 2025 |
|
|---|
| Peringati Hari Sumpah Pemuda ke-97, Kapolres Padanglawas Hadiri Upacara di Lapangan Kantor Bupati |
|
|---|
| Peringatan Hari Sumpah Pemuda 2025 di Pakpak Bharat: Semangat Pemuda untuk Indonesia Maju |
|
|---|

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.