Opini Online

Inflasi Sumatera Utara: Alarm yang Tak Boleh Diabaikan

Inflasi di Indonesia memang sering disebut sebagai volatile food inflation — jenis inflasi yang berakar pada komoditas bahan pangan bergejolak.

Editor: AbdiTumanggor
Dok.Pribadi
CATATAN Dr. Aryanto Tinambunan, MSi. (Dok.Pribadi) 

Oleh: Dr. Aryanto Tinambunan

SEPTEMBER 2025 mencatatkan kabar yang tidak sedap bagi Sumatera Utara. Provinsi yang kerap dibanggakan sebagai poros ekonomi Sumatera bagian utara itu kini menanggung predikat tidak mengenakkan: tingkat inflasi tertinggi di Indonesia, mencapai 5,32 persen (year-on-year). Data resmi Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan lonjakan harga yang konsisten terjadi di sejumlah daerah, terutama pada komoditas pangan, energi, dan transportasi. Kabupaten Deli Serdang mencatatkan inflasi paling tinggi, menembus 6,81 persen, sementara Kota Medan berada sedikit lebih rendah di 4,44 persen.

Angka ini bukan sekadar statistik dingin. Di baliknya ada realitas yang lebih keras: harga cabai merah yang melambung, beras yang makin sulit dijangkau, dan biaya transportasi yang kian mencekik. Bagi rumah tangga berpendapatan menengah ke bawah, setiap kenaikan 500 rupiah di pasar tradisional berarti pilihan antara lauk atau ongkos anak ke sekolah.

Fenomena inflasi tinggi di Sumatera Utara harus dibaca lebih dalam. Ia tidak hanya mencerminkan dinamika harga jangka pendek, melainkan juga menyingkap kerentanan struktural ekonomi daerah yang selama ini tersembunyi di balik laju pertumbuhan produk domestik regional bruto (PDRB) yang relatif stabil. Di atas kertas, ekonomi Sumut tumbuh sekitar 5 persen per tahun. Namun di lapangan, pertumbuhan itu sering kali tidak diiringi perbaikan distribusi logistik dan efisiensi pasokan pangan.

Inflasi di Indonesia memang sering disebut sebagai volatile food inflation — jenis inflasi yang berakar pada komoditas bahan pangan bergejolak. Tapi di Sumut, gejalanya lebih kompleks. Infrastruktur logistik yang belum sepenuhnya efisien, ketergantungan pasokan antarwilayah, dan lemahnya tata niaga pangan membuat kenaikan harga di satu simpul cepat menular ke daerah lain. Sebagaimana ditunjukkan Aginta (2022) dalam Regional Science Policy & Practice, dinamika inflasi di Indonesia bersifat spatio-temporal—terbentuk oleh klaster harga regional yang saling memengaruhi. Dengan kata lain, inflasi di Deli Serdang bisa menjadi api kecil yang membakar Tapanuli, dan sebaliknya.

Kita tidak sedang berbicara tentang teori ekonomi semata, melainkan soal bagaimana pasar tradisional di Lubuk Pakam, Pematang Siantar, hingga Padangsidimpuan berdenyut dengan harga-harga yang saling bergema. Transportasi yang terganggu oleh kenaikan BBM, biaya logistik yang tinggi karena distribusi barang harus melintasi jalan yang rusak, dan minimnya gudang penyimpanan dingin untuk komoditas pertanian adalah faktor yang menambah panas inflasi Sumut.

Lebih jauh lagi, struktur ekonomi Sumut membuatnya sangat sensitif terhadap fluktuasi biaya energi dan pangan. Sektor pertanian yang masih dominan belum mampu menahan gejolak harga input seperti pupuk dan bahan bakar, sementara sektor industri pengolahan belum cukup kuat untuk menstabilkan rantai pasok lokal. Inilah yang disebut Purwono (2020) sebagai fenomena “regional inflation trap”—daerah yang bergantung pada sektor tradisional cenderung kesulitan menurunkan inflasi karena tidak memiliki diversifikasi ekonomi yang memadai.

Di sisi lain, kebijakan moneter nasional yang dirancang Bank Indonesia kerap tidak mampu menjangkau kerumitan ekonomi daerah. Penelitian Aginta (2022) di Journal of Economic Structures menunjukkan adanya heterogeneous effects dari kebijakan moneter terhadap inflasi antarprovinsi. Ketika suku bunga dinaikkan, daerah yang basisnya pertanian cenderung tidak terlalu responsif, berbeda dengan wilayah industri atau jasa. Ini menjelaskan mengapa instrumen nasional tidak selalu berhasil meredam inflasi di daerah seperti Sumut, yang problemnya justru terletak di sektor riil—distribusi, produksi, dan tata niaga pangan.

Masalah ini juga memperlihatkan bagaimana koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah sering tidak sinkron. Pemerintah daerah sibuk menggelar operasi pasar, sementara pusat menyesuaikan BI rate dan menata cadangan devisa. Dua arah kebijakan yang seolah berlari di lintasan berbeda, padahal seharusnya beriringan.

Padahal, pengalaman dari berbagai negara berkembang menunjukkan bahwa sinergi kebijakan fiskal dan moneter merupakan kunci untuk mengendalikan inflasi daerah tanpa mengorbankan pertumbuhan. Pemerintah provinsi, misalnya, dapat berperan aktif dengan memperkuat cadangan pangan daerah dan mendorong investasi di sektor logistik. Gudang komoditas berbasis desa, penguatan koperasi petani, dan digitalisasi rantai pasok bisa menjadi langkah konkret.

Namun, langkah-langkah seperti ini tidak akan berhasil jika birokrasi daerah masih lamban dan koordinasi antarinstansi berjalan seperti roda tua yang berderit. Kita sering kali menyaksikan kebijakan harga pangan yang diumumkan tanpa perencanaan distribusi, atau subsidi yang bocor di jalan karena lemahnya pengawasan.

Sebagai akademisi, saya melihat persoalan ini bukan hanya soal angka inflasi, melainkan soal daya tahan sosial-ekonomi daerah. Inflasi yang tinggi bukan sekadar menurunkan daya beli, tapi juga menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap kebijakan publik. Ketika harga terus naik sementara gaji stagnan, rasa frustrasi sosial meningkat. Dan sejarah mengajarkan, frustrasi sosial adalah bahan bakar yang mudah menyala dalam politik lokal.

Pemerintah Provinsi Sumatera Utara perlu memperlakukan isu inflasi sebagai isu strategis lintas sektor, bukan hanya urusan Dinas Perdagangan atau Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID). Inflasi seharusnya masuk ke dalam agenda besar pembangunan daerah, sejajar dengan isu investasi dan ketenagakerjaan.

Langkah pertama yang harus dilakukan adalah membangun sistem informasi harga yang real-time antarwilayah, sehingga intervensi bisa dilakukan sebelum harga melonjak tajam. Kedua, memperkuat konektivitas antar kabupaten/kota, termasuk infrastruktur transportasi barang dari daerah produksi ke pasar konsumsi. Ketiga, memberikan insentif bagi produksi lokal komoditas strategis, seperti cabai, bawang merah, dan beras, untuk mengurangi ketergantungan dari provinsi lain.

Namun ada hal yang lebih mendasar: mengubah cara pandang pemerintah terhadap inflasi daerah. Selama ini, inflasi dianggap urusan teknokratis yang hanya diukur lewat indeks harga konsumen. Padahal, inflasi adalah cermin ketimpangan antara pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan warga.

Sumber: Tribun Medan
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved