Bah, Kejari Siantar tak Percaya Percaya Fungsi BPK RI Mengaudit Kerugian Negara
Kejari Siantar tak percaya dengan BPK RI yang melakukan audit soal adanya penyimpangan anggaran proyek jembatan
Penulis: Alija Magribi | Editor: Array A Argus
TRIBUN-MEDAN.COM, SIANTAR- Kejaksaan Negeri Pematangsiantar tak mempercayai kapabilitas auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Perwakilan Sumut, dalam menghitung dugaan kerugian negara dalam proyek Jembatan VIII Sta 13+441 sampai dengan Sta 13+436, senilai Rp 2,9 Miliar dari pagu anggaran Rp 14,4 miliar, April 2020.
Kejaksaan malah mengaudit kerugian negara sendiri dengan menggandeng Politeknik Negeri Medan (Polmed) terhadap proyek tersebut, dengan hasil kerugian negara yang jauh lebih rendah yaitu Rp 304 juta.
Kasi Intelijen Kejari Siantar, Rendra Pardede menyampaikan dirinya hanya menyampaikan hasil penyelidikan yang dilakukan oleh pejabat Seksi Intelijen sebelumnya.
Baca juga: Kejari Siantar Diduga Beri Diskon Rekanan Bayar Kerugian Negara Proyek Jembatan Sarat Korupsi
"Saya hanya bisa menyampaikan hasil operasi intelijen dari pejabat sebelumnya. Yang mana ada perbedaan harga gelagar jembatan dari yang dikeluarkan BPK dengan ahli dari Polmed," ujar Rendra, Selasa (23/11/2021).
Rendra mengatakan, kasus ini sudah ditutup oleh Kasi Intelijen Kejari Siantar sebelumnya, Bas Faomasi Jaya Laia, yang mana kerugian negara yang menjadi acuan adalah hasil pemeriksaan ahli dari Polmed, bukan BPK RI.
"Jadi yang kita pakai dan rekanan bayar itu analisis kerugian negara dari Polmed, yang Rp 304 juta itu," kata Rendra.
Disinggung dengan fungsi Politeknik Negeri Medan yang bukan merupakan lembaga auditor resmi pemerintah yang sah dalam undang-undang, melainkan lembaga akademik, Rendra tak bisa menjawabnya.
Baca juga: Setahun Lebih, Kerugian Negara Rp 2,9 Miliar pada Proyek Jembatan di Siantar tak Kunjung Dilunasi
"Mengenai mengapa pakai Polmed, enggak paham kita," kata Rendra.
Rendra juga tak bisa menjawab alasan Kejari Siantar yang malah menggandeng Polmed, bukannya lembaga audit milik negara lain seperti BPKP ataupun Inspektorat Daerah.
Selain itu juga, Rendra tak bisa menjawab apakah hasil pemeriksaan mereka bersama Polmed telah disingkronkan dengan BPK RI.
"Nggak tahu saya," katanya.
Sementara itu, Anggota Komisi III DPRD Siantar Frengky Boy Saragih, Rabu (24/11/2021) mengaku heran dengan adanya hasil audit lain selain BPK.
Baca juga: Dianggap Berkontribusi Rendah, Nasib Ramayana di Kota Siantar Ditentukan Tahun 2022
Sebab, dasar pengembalian negara harus jelas.
"Secara hierarki kan harusnya BPK. Pengembalian kerugian negara ini akan menjadi pemasukkan untuk kas negara dan dipertanggungjawabkan. Tentu harus jelas dasar hukumnya," kata Frengky.
Frengky pun merasa aneh bila kejaksaan menjalani fungsi sebagai lembaga audit, bukannya lembaga hukum. Pasalnya kerugian negara dari LHP BPK tersebut sudah diterbitkan April 2020 dan belum juga dilunasi setelah 60 hari dikeluarkan.
"Tupoksi kan berbeda. Kejaksaan kan lembaga hukum. Kita kan menganut temuan BPK. Ini kan soal uang. Kalau nggak mereka (kejaksaan) ajalah jadi lembaga audit semua proyek-proyek ini," heran politikus Nasdem ini.
Kerugian Negara Belum Dilunasi
Plt Kepala Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD) mengatakan, pihaknya belum ada mengeluarkan notifikasi pelunasan kerugian negara senilai Rp 2,9 miliar itu.
"Memang belum ada saya keluarkan tanda pelunasan," jelasnya di sela rapat gabungan komisi DPRD Pematangsiantar dengan TPAD, Rabu (17/11/2021).
"Itu coba (ditanya) ke Inspektorat. Sebenarnya memang saya tahu informasinya tapi saya harus cek lagi berapa yang sudah rekanan setorkan ke bendahara," dalih Masni.
Masni mengaku tak bisa menjawab berapa besaran yang sudah disetorkan rekanan karena tak memegang data. Ia pun menyarankan pertanyaan itu diajukan ke Inspektorat Kota Pematangsiantar.
"Kalau mau kejelasan, bisa ditanyakan ke Inspektorat, karena sekarang TPKND itu sekretarisnya Inspektorat. Kalau mau jelas bapak bisa tanya ke Inspektorat," kata Masni kembali.
Disinggung mengenai BPKD sebagai pihak yang mengetahui pelunasan pembayaran setiap kerugian negara, Masni mengatakan
Dalam perkara ini, PT Erapratama Putra Perkasa (EPP) selaku rekanan yang membangun jembatan VIII Sta 13+441 sampai dengan Sta 13+436, senilai Rp 14,4 miliar justru merugikan negara senilai Rp 2,9 miliar. LHP BPK Perwakilan Sumut menemukan kekurangan volume pengerjaan.
Penunjukkan PT EPP sebagai rekanan sejak awal menimbulkan tanda tanya.
Padahal sebelumnya, ada perusahaan yang menawarkan pengerjaan dengan nilai lebih murah pada tender pertama.(alj/tribun-medan.com)
