Selain Pariwisata, Sektor Ini Penting Dikembangkan Pemerintah di Kawasan Danau Toba
Pandemi tidak saja menekan kunjungan wisatawan ke Danau Toba, tapi ke seluruh destinasi pariwisata utama di Indonesia, tak terkecuali Bali
Oleh: Dr Jannus TH Siahaan
Pengamat Sosial dan Praktisi Komunikasi
INDONESIA membutuhkan sumber pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, selain untuk keluar dari tekanan ekonomi pandemi juga untuk menjaga irama perekonomian nasional agar tidak terpuruk dan kembali ke dalam bayang-bayang resesi seperti tahun 2020 dan 2021.
Begitu pula dengan perekonomian di daerah, Sumatera Utara pada umumnya dan kabupaten-kabupaten yang melingkari Danau Toba pada khususnya.
Sebagaimana pernah saya sampaikan di dalam kolom opini terdahulu, rencana besar sektor pariwisata yang dipaksakan oleh pemerintah untuk kawasan Danau Toba sejak beberapa tahun lalu nyaris berantakan alias nyaris layu sebelum sempat berkembang.
Pandemi tidak saja menekan kunjungan wisatawan ke Danau Toba, tapi ke seluruh destinasi pariwisata utama di Indonesia, tak terkecuali Bali. Begitulah faktanya di lapangan.
Pariwisata sejatinya bukanlah sektor yang harus dipaksakan berdiri sendiri karena sektor pariwisata sangat bergantung kepada musim (season) dan dorongan dari sektor-sektor ekonomi lain.
Baca juga: Dukung Konsep Kolaboratif untuk Bangun Kawasan Danau Toba
Tentu tidak ada salahnya pemerintah bereksperimen dengan sektor baru untuk Danau Toba, sebagai penambah daya dorong pertumbuhan ekonomi daerah di satu sisi dan pencegahan peningkatan pencemaran danau di sisi lain.
Tapi perlu pula diingat, sektor pariwisata bukanlah sektor yang benar-benar bersih dari dosa pencemaran dan bukan pula sektor yang stabil karena sangat bergantung pada keadaan ekonomi makro, baik global maupun nasional.
Sebut saja misalnya Cina. Jumlah wisatawan dari negeri Tirai Bambu sampai tahun 2018 lalu memang sangat besar.
Tapi sejak pertumbuhan perekonomian Cina mulai menurun, ditambah dengan tekanan perang dagang dengan Amerika Serikat yang membuat aktifitas banyak industri di Cina berantakan, jumlah wisatawan Cina ke berbagai destinasi dunia, termasuk Indonesia, juga menurun. Hal tersebut sangat bisa dipahami mengingat "leisures" atau berwisata bukanlah kebutuhan dasar manusia.
Berwisata memang bukan kebutuhan utama. Berwisata adalah aktifitas ekonomi lanjutan dari membaiknya tingkat kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat suatu negara. Jika perekonomian suatu negara semakin tertekan, otomatis jumlah wisatawan dari negara tersebut akan ikut menyusut. Begitu pula sebaliknya.
Jadi secara strategis, jika pemerintah menetapkan sektor pariwisata sebagai sektor utama di Danau Toba, maka pemerintah harus menanggung risiko seperti hari ini, yakni terpangkasnya tingkat kunjungan wisata secara tiba-tiba akibat pandemi.
Pertanyaannya, jika hanya sektor pariwisata saja yang diberi prioritas di Danau Toba, bagaimana nasib perekonomian daerah-daerah di sekitar Danau Toba hari ini di saat pandemik? Tentu akan kelabakan seperti Bali ketika kebijakan pembatasan mobilitas diterapkan secara maksimal.
Untuk itu, pemerintah memang perlu meredefinisi kebijakan strategis di Danau Toba yang memprioritaskan sektor pariwisata tanpa tedeng aling-aling.
Lalu kemudian soal pencegahan pencemaran Danau Toba. Pemerintah bersikeras berpendapat bahwa sektor pariwisata adalah sektor yang sustainable secara lingkungan, sementara usaha Keramba Jaring Apung (KJA) tidak.
