In Memoriam Pele
Selamat Jalan Maestro, Salam untuk Diego
Sepak bola kembali kehilangan sosok besar. Pele, legenda sepak bola Brasil, meninggal dunia karena penyakit gagal ginjal kronis dan kanker usus besar.
Penulis: T. Agus Khaidir | Editor: T. Agus Khaidir
Gaya sepak bola Brasil mereka nilai sudah usang, tertinggal dari gaya yang dikembangkan negara-negara Eropa. Sepak bola harus presisi. Sepakbola harus keras dan cepat.
Pemain tidak perlu berlama-lama dengan bola. Otoritas memerintahkan kepada klub-klub untuk mengadopsi gaya ini, tak terkecuali Santos.
Sebagai pemain muda Pele tentu saja mencoba mengikuti, dan ia gagal. Filosofi Ginga yang ditanamkan Dondinho telah berurat berakar dalam dirinya.
Sepak bola presisi gaya Eropa menggerus kegembiraan, dan Pele, tidak bisa bermain bola dalam keadaan tidak gembira. Kehebatannya tidak keluar.
Situasi serupa dialaminya saat dipanggil memperkuat Tim Nasional Brasil di Piala Dunia Swedia 1958. Brasil mempekerjakan Vicente Ítalo Feola sebagai pelatih kepala.
Feola lahir dan besar di Sao Paolo dan menjadi pelatih Sao Paolo untuk setidaknya enam periode (tidak beruntun) dari tahun 1937-1958.
Feola bukan asli Brasil. Ibu dan bapaknya memiliki darah Italia, dan sejak otoritas sepak bola Brasil mengkampanyekan gerakan menuju "sepak bola modern", Feola termasuk yang paling getol memberi dukungan. Sao Paolo di tangannya, bermain seperti klub-klub Eropa.
Pele terpinggirkan di skuat Brasil sampai kemudian gelombang cedera datang menghantam. Jose Altafini atawa Mazzola, striker kesayangan Feola, mengalami cedera. Mau tak mau, pada laga perempat final melawan Wales, Feola menurunkan Pele. Ia berpesan agar Pele tetap bermain dengan gaya Eropa.
"Saya mengangguk, saya tidak melawan pelatih," kata Pele dalam otobiografinya. "Tapi dalam hati saya, dalam kepala saya, yang terngiang justru kata-kata ayah saya."
Pertandingan dimenangkan Brasil 1-0, Pele mencetak gol, dan selebihnya –kita tahu– adalah sejarah. Brasil memenangkan Piala Dunia 1958, lalu memenangkan lagi di tahun 1962 dan 1970, masih dengan Pele di dalamnya. Total ia bermain di empat edisi piala dunia, termasuk 1966 yang berakhir buruk. Brasil kandas di babak penyisihan grup.
Empat piala dunia, 14 pertandingan, 12 gol, cukup menjadi alasan bagi rakyat Brasil untuk memujanya. Memang, di Brasil tidak sampai muncul "agama" baru sebagaimana orang-orang di Argentina menahbiskan Diego Armando Maradona sebagai "Tuhan".
Namun dengan cara yang lain Pele telah menjelma kekekalan juga. Boleh lahir bintang-bintang baru. Zico, Careca, Romario, Bebeto, Ronaldo Nazario, Ronaldinho, Kaka, sampai sekarang Neymar, tapi hanya Pele [dan barangkali seterusnya hanya Pele] yang dengan penuh hormat dipanggil Ao Rei, raja kami.
Bagi orang-orang Brasil, Pele lebih besar dari Maradona. Pele adalah Greatest Of All Time atawa GOAT, lebih besar dari Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo. Mereka menepikan segenap data pencapaian. Menepikan jumlah tropi di tingkatan klub. Menepikan penghargaan-penghargaan pribadi.
Selain piala dunia, parameter yang kerap dikedepankan adalah bahwa Pele bermain di era ketika sepak bola belum memiliki regulasi yang lengkap dan terperinci seperti sekarang. Bilang mereka, kalau Pele dilindungi oleh wasit sebagaimana Messi dan Ronaldo, maka dia bisa mencetak 2.000 gol.
Berlebihan? Mungkin iya, mungkin juga tidak. Sepak bola di era Pele sangat brutal. Mana tebasan yang tergolong pelanggaran dan mana yang tidak belum jelas benar.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/medan/foto/bank/originals/pelemaradona2.jpg)