Derap Nusantara

Persatuan ASEAN dan Pentingnya Rasa Terikat Dalam Konsensus

Pemimpin ASEAN akan kembali duduk bersama bahas apa yang bisa mereka lakukan untuk memberi perlakuan terhadap masalah-masalah yang dihadapi ASEAN.

Dok. Antara
Sejumlah anggota Brimob Polda NTT melakukan simulasi pengoperasian kendaraan taktis saat Apel Gelar Pasukan Operasi Komodo Turangga 2023 untuk pengamanan pelaksanaan KTT ASEAN 2023 di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, di Mapolda NTT, Kupang, Sabtu (29/4/2023). 

TRIBUN-MEDAN.com, JAKARTA - Mulai 9 sampai 11 Mei 2023, para pemimpin Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) akan kembali duduk bersama membahas apa yang bisa mereka lakukan untuk memberi perlakuan terhadap masalah-masalah yang dihadapi ASEAN saat ini dan nanti. Pertemuan itu akan berlangsung di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur.

Ada ekspektasi tinggi kepada Indonesia yang menjadi ketua ASEAN tahun ini, terutama karena sukses menggelar pertemuan G20, tahun silam.

Setelah 11 tahun tanpa Indonesia duduk di kursi keketuaan, ASEAN, kini diketuai lagi oleh Indonesia, tatkala tantangan-tantangan zaman semakin pelik.

Tantangan-tantangan itu, mulai soal Myanmar, pemulihan pascapandemi COVID-19, sampai kondisi geopolitik yang menyeret kekuatan-kekuatan besar bertabrakan, hingga jauh di Asia Tenggara.

Kendati dihadapkan kepada kendala-kendala besar dalam mengefektifkan keketuaannya dalam G20, terutama perang Ukraina-Rusia dan perekonomian global pascapandemi COVID1-19 yang disergap inflasi dan krisis rantai pasokan, Indonesia sukses mengetuai kelompok 19 negara plus Uni Eropa itu.

Keberhasilan itu, salah satunya dilihat dari kesepakatan G20 membentuk Dana Pandemi senilai 1,4 miliar Dolar AS untuk negara-negara miskin guna mengantisipasi ancaman kesehatan global pada masa mendatang.

ASEAN berharap Indonesia menduplikasi keberhasilan mengetuai G20 itu, dalam lingkup kawasan.

Indonesia juga dianggap tak akan melangkah seperti Kamboja setahun lalu yang tak terlalu efektif memimpin ASEAN dalam menyelesaikan masalah-masalah kawasan, mulai dari soal tatanan ekonomi pascapandemi, persaingan pengaruh antara Amerika Serikat dan China, sengketa teritorial di Laut China Selatan, hingga perubahan iklim yang makin membutuhkan upaya bersama dalam semua tingkat, termasuk level ASEAN.

Untuk soal Myanmar, ASEAN terlihat "jalan di tempat" dalam mengatasi masalah politik dan kemanusiaan di sana setelah pada 2021 junta mengudeta pemerintahan hasil pemilu demokratis.

Di Laut China Selatan, ASEAN juga tak begitu berhasil merumuskan sikap bersama, terutama setelah Kamboja menolak memasukkan istilah "sengketa" dalam resolusi konflik di area ini.

Pemerintahan Perdana Menteri Hun Sen juga tak efektif mendorong perbaikan situasi di Myanmar.

Dia malah mengajak junta menghadiri forum-forum ASEAN justru ketika junta Myanmar tak beritikad baik mewujudkan Konsensus Lima Poin yang sudah disepakati ASEAN.

Kelima poin itu adalah penghentian kekerasan, dialog semua pemangku kepentingan, menunjuk utusan khusus untuk memfasilitasi dialog, mengizinkan ASEAN memberikan bantuan kemanusiaan, dan pemberian akses kepada utusan ASEAN untuk bertemu semua pihak di Myanmar.

Kerangka Sikap Bersama

Indonesia adalah satu dari sejumlah anggota ASEAN yang menolak prakarsa Hun Sen itu. Ketegasan seperti ini mesti dilanjutkan, apalagi situasi di Myanmar semakin ruwet.

Halaman
123
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA
    Komentar

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved