Tarif PPN

Tarif PPN Bakal Naik Jadi 12 Persen, Ini Dampak Buruknya ke Masyarakat

Menko Perekonomian, Airlangga Hartarto memastika bahwa kenaikan tarif PPN akan berlaku tahun 2025

Editor: Array A Argus
Dok. Kemenko Perekonomian
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto beri sambutan pada Rakorpusda Pengendalian Inflasi 2022, di Surabaya, Rabu (14/9). 

TRIBUN-MEDAN.COM,- Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto memastikan bahwa kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen akan berlaku pada tahun 2025 mendatang.

Airlangga menyampaikan, nampaknya masyarakat sudah menentukan pilihan pada capres dan cawapres yang mendukung keberlanjutan yang saat ini unggul dalam hitungan cepat dari berbagai Lembaga.

“Kita lihat masyarakat Indonesia sudah menjatuhkan pilihan, pilihannya keberlanjutan. tentu kalau berkelanjutan, berbagai program yang dicanangkan pemerintah itu akan dilanjutkan, termasuk kebijakan PPN,” tutur Airlangga dalam media briefing, Jumat (8/3/2024), dikutip dari Kontan.

Ia juga menyebut, setelah presiden terpilih hasil pemilu 2024 ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), maka pemerintahan saat ini baru akan mulai membahas APBN 2025.

Sebagai informasi, berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) telah mengamanatkan kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen selambat-lambatnya pada 1 Januari 2025.

Namun, pemerintah masih bisa menunda kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen dengan pertimbangan tertentu.

Merujuk pada Pasal 7 ayat (3), tarif PPN dapat diubah menjadi paling rendah 5 persen dan paling tinggi sebesar 15 persen.

Ini tertuang dalam, Pasal 7 ayat (3) UU tersebut, yang menyebut, berdasarkan pertimbangan ekonomi dan/atau peningkatan kebutuhan dana untuk pembangunan, tarif PPN dapat diubah menjadi paling rendah 5 persen dan paling tinggi 15 persen. 

Dampak Buruk ke Masyarakat

Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad pernah mengatakan, bahwa kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen akan berdampak kepada penurunan daya beli masyarakat, terutama masyarakat bawah.

Selain itu, beberapa sektor ritel juga ikut akan terdampak dari kenaikan tarif PPN tersebut.

Berdasarkan studi yang pernah dilakukan Indef saat kenaikan tarif PPN dari 10 persen menjadi 11 persen, pertumbuhan ekonomi akan mengalami perlambatan dan beberapa sektor akan tertahan bahkan menurun.

"Gejalanya akan sama seperti itu. Artinya, oke penerimaan negara bisa naik, tetapi pertumbuhan ekonomi gak akan tinggi. Apalagi 2025 banyak yang melihat bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia di bawah 5 persen," katanya.

Untuk itu, pemerintah tidak perlu terburu-buru dalam menaikkan tarif PPN menjadi 12 persen dan menunggu momentum yang tepat. Menurutnya, pemerintah bisa mengenakan tarif PPN menjadi 12 persen pada saat pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di atas 5,3 persen.

"Jadi ekonominya tumbuh dulu baru ada kenaikan. Tapi kalau ekonominya belum tumbuh dibandingkan masyarakat ya justru akan menjadi kontra produktif," imbuh Tauhid.

Pengertian PPN

Dikutip dari Kompas.com, Pajak Pertambahan Nilai atau PPN adalah salah satu jenis pajak yang paling umum ditemui dalam kegiatan sehari-hari. 

Pajak ini merupakan salah satu sumber pemasukan negara atas konsumsi masyarakat. Apa itu PPN?

PPN adalah suatu pungutan yang dibebankan atas transaksi jual-beli barang atau jasa.

Pungutan PPN adalah terjadi karena adanya pertambahan nilai.

Pungutan tersebut dibebankan pengusaha yang sudah menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP).

Dikutip dari laman www.kemenkeu.go.id, PPN adalah pajak yang dikenakan atas setiap pertambahan nilai dari barang atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke konsumen.

Dalam bahasa Inggris, PPN adalah dikenal dengan nama Value Added Tax (VAT) atau Goods and Services Tax (GST).

PPN adalah jenis pajak tidak langsung.

Artinya, pungutan PPN adalah disetor oleh pihak lain (pedagang) yang bukan penanggung pajak (konsumen akhir).

Sederhananya begini, ketika konsumen melakukan transaksi jual beli barang atau jasa, maka akan dipungut beberapa rupiah atas transaksi tersebut.

Karena barang atau jasa yang dibeli dianggap memiliki pertambahan nilai dalam peredarannya dari penjual ke konsumen.

Jadi yang membayar PPN adalah konsumen akhir. Sementara yang memungut, menyetor, dan melaporkan PPN adalah penjual atau pedagang.

PPN adalah dipungut oleh penjual bukan masuk ke dalam kantong pribadi, melainkan akan disetorkan kepada negara.

Pengusaha yang menyetorkan PPN adalah pengusaha yang sudah masuk dalam kategori PKP.

Dasar hukum dan tarif PPN di Indonesia

Dasar hukum utama yang digunakan untuk penerapan PPN adalah Undang-Undang No. 8 Tahun 1983 berikut perubahannya, yaitu Undang-Undang No. 11 Tahun 1994, Undang-Undang No. 18 Tahun 2000, dan Undang-Undang No. 42 Tahun 2009.

Saat ini Indonesia menganut sistem tarif tunggal untuk PPN, yaitu sebesar 10 persen.

Tarif PPN akan mengalami kenaikan, dari 10 persen menjadi 11 persen mulai 1 April 2022.

Kenaikan tarif PPN tersebut menyusul disahkannya UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

Selanjutnya, tarif PPN sebesar 12 persen rencananya bakal diberlakukan paling lambat mulai 1 Januari 2025.

Pemerintah diberikan kewenangan untuk mengubah tarif PPN menjadi paling rendah 5 persen dan paling tinggi 15 persen melalui penerbitan Peraturan Pemerintah.

Mengingat PPN adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi BKP di dalam Daerah Pabean, maka ekspor BKP dan ekspor JKP tertentu dikenai PPN dengan tarif 0 persen.

Cara menghitung PPN

Cara menghitung PPN sendiri cukup mudah. Anda bisa menggunakan rumus berikut ini untuk menghitung berapa PPN yang harus dibayar.

Rumus penghitungan PPN adalah (Tarif PPN = DPP (Dasar Pengenaan Pajak) x Harga Produk/Jasa)

Sebagai contoh, A membeli makan di restoran.

Restoran tersebut memasukan PPN kepada setiap pelanggan yang melakukan transaksi.

Jika harga makanan yang dibeli A adalah Rp 100.000, maka tarif PPN yang ditanggung adalah Rp 10.000.

PPN = 10 persen x Rp 100.000 = Rp 10.000

Biaya tersebut di luar dari harga makanan yang dibeli. Jadi, jangan bingung jika Anda harus membayarkan lebih dari harga barang/jasa, karena bisa saja ada PPN di dalamnya.

Objek PPN

Beberapa ojek PPN adalah sebagai berikut:

Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha
Impor BKP dan/atau pemanfaatan JKP/BKP Tak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean Ekspor BKP dan/atau JKP
Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan Penyerahan aktiva oleh PKP yang menurut tujuan semula aktiva tersebut tidak untuk diperjualbelikan, sepanjang PPN yang dibayar pada saat perolehannya dapat dikreditkan.

Barang Kena Pajak (BKP)

Barang Kena Pajak (BKP) merupakan barang berwujud yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang tidak berwujud, yang dikenakan pajak berdasarkan UU PPN.

Pengaturan cakupan BKP dalam UU PPN bersifat “negative list”, dalam artian bahwa pada prinsipnya seluruh barang merupakan BKP, kecuali ditetapkan sebagai barang yang tidak dikenai PPN.

Barang yang Tidak Dikenai PPN adalah

  • Barang hasil pertambangan, penggalian, pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya:
  • Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak:
    • beras, gabah, jagung, sagu, kedelai
    • garam, baik yang beryodium maupun yang tidak beryodium
    • daging, yaitu daging segar yang tanpa diolah, tetapi telah melalui proses disembelih, dikuliti, dipotong, didinginkan, dibekukan, dikemas atau tidak dikemas, digarami, dikapur, diasamkan, diawetkan dengan cara lain, dan/atau direbus
    • telur, yaitu telur yang tidak diolah, termasuk telur yang dibersihkan, diasinkan, atau dikemas
    • susu, yaitu susu perah baik yang telah melalui proses didinginkan maupun dipanaskan, tidak mengandung tambahan gula atau bahan lainnya, dan/atau dikemas atau tidak dikemas
    • buah-buahan, yaitu buah-buahan segar yang dipetik, baik yang telah melalui proses dicuci, disortasi, dikupas, dipotong, diiris, di-grading, dan/atau dikemas atau tidak dikemas; dan
    • sayur-sayuran, yaitu sayuran segar yang dipetik, dicuci, ditiriskan, dan/atau disimpan pada suhu rendah, termasuk sayuran segar yang dicacah
  • Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, tidak termasuk yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau catering
  • Uang, emas batangan, dan surat berharga (misalnya saham, obligasi)
  • minyak mentah (crude oil)
    • gas bumi, tidak termasuk gas bumi seperti elpiji yang siap dikonsumsi langsung oleh masyarakat
    • panas bumi
    • asbes, batu tulis, batu setengah permata, batu kapur, batu apung, batu permata, bentonit, dolomit, felspar (feldspar), garam batu (halite), grafit, granit/andesit, gips, kalsit, kaolin, leusit, magnesit, mika, marmer, nitrat, opsidien, oker, pasir dan kerikil, pasir kuarsa, perlit, fosfat (phospat), talk, tanah serap (fullers earth), tanah diatome, tanah liat, tawas (alum), tras, yarosif, zeolit, basal, dan trakkit; dan
    • bijih besi, bijih timah, bijih emas, bijih tembaga, bijih nikel, bijih perak, serta bijih bauksit.

Jasa Kena Pajak (JKP)

Jasa Kena Pajak (JKP) merupakan setiap kegiatan pelayanan berdasarkan surat perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang, fasilitas, kemudahan, atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang pesanan atau permintaan dengan bahan dan/atau petunjuk dari pemesan, yang dikenakan pajak berdasarkan UU PPN.

Seperti halnya cakupan BKP, pengaturan cakupan JKP dalam UU PPN juga bersifat “negative list”, dalam artian bahwa pada prinsipnya seluruh jasa merupakan JKP, kecuali ditetapkan sebagai jasa yang tidak dikenai PPN.

Jasa yang Tidak Dikenai PPN (Non JKP)

  • Jasa pelayanan kesehatan medis
  • Jasa pelayanan sosial
  • Jasa pengiriman surat dengan perangko
  • Jasa keuangan
  • Jasa asuransi
  • Jasa keagamaan
  • Jasa Pendidikan
  • Jasa kesenian dan hiburan
  • Jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan
  • Jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri
  • Jasa tenaga kerja
    • Jasa perhotelan
    • Jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum
    • Jasa penyediaan tempat parker
    • Jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam
    • Jasa pengiriman uang dengan wesel pos
    • Jasa boga atau katering

Subjek PPN

Pengusaha Kena Pajak (PKP), baik orang pribadi maupun badan, yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP), yang dikenakan pajak berdasarkan UU PPN.(tribun-medan.com)

Baca berita TRIBUN MEDAN lainnya di Google News

Ikuti juga informasi lainnya di FacebookInstagram dan Twitter    

Berita viral lainnya di Tribun Medan 

Sumber: Kontan
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved