Berita Medan
Zakat Umat yang Dibayarkan Jelang Idul Fitri, Ketua Kadin Sumut : Jadi Stimulus Ekonomi Sumut
Di tengah lesunya daya beli, ternyata THR dan bantuan langsung tunai yang menyasar masyarakat bawah belum mampu maksimal meningkatkan sisi konsumsi.
Penulis: Husna Fadilla Tarigan | Editor: Ayu Prasandi
TRIBUN-MEDAN.com, MEDAN - Ketua Kadin Sumut Firsal Dida Mutyara menyatakan zakat umat yang dibayarkan terutama menjelang idul fitri ini menjadi stimulus ekonomi Sumut.
Di tengah lesunya daya beli, ternyata THR dan bantuan langsung tunai yang menyasar masyarakat bawah belum mampu maksimal meningkatkan sisi konsumsi.
“Saya kira zakat umat akan menjadi salah satu penyelamat dan stimulus ekonomi Sumut,” ujarnya.
Ia memperhatikan pola konsumsi di beberapa ritel baik yang ada di Medan maupun Jakarta.
“Masyarakat banyak mengeluh, pedagang pun mengeluhkan minimnya transaksi. Maka setidaknya zakat bisa menopang warga kurang mampu,” tuturnya.
Ketika disinggung tentang peran pengusaha membayar zakat, Firsal menerangkan, para pengusaha di Sumut siap membayar zakat.
“Beberapa waktu lalu kami bertemu dengan Badan Amil Zakat Sumut. Pada pertemuan itu wacana pembayaran zakat dari pengusaha mengemuka.
“Untuk membayar zakat tentu memungkinkan. Apalagi secara pribadi kita sudah membayar zakat. Tentu juga akan memungkinkan untuk mengajak dan mengimbau pengusaha membayar zakat perusahaan,”terangnya.
Data yang disampaikan Baznas Sumut menunjukkan bahwa potensi penerimaan zakat di di daerah ini sebenarnya mencapai Rp8 triliun per tahun.
“Namun sepanjang tahun lalu saja yang terkumpul baru Rp16 miliar. Untuk target tahunan realisasi zakat itu sudah terpenuhi,” ungkapnya.
Dari penerimaan zakat infaq dan sedekah yang terakumulasi sudah disalurkan untuk para mustahik di mulai dari kesehatan, pendidikan, kesejahteraan dan lainnya.
Saat ini umat Islam sudah harus memenuhi kewajiban zakatnya terutama zakat fitrah sampai menjelang Idul Fitri pekan depan.
Menurut Firsal Dida Mutyara tugas berat sekarang ini adalah bagaimana mengajak pengusaha untuk mau membayar dengan sistem lebih terbuka melalui Baznas.
Kesulitannya sekarang, kata dia, setiap membayar zakat melalui lembaga penerima, maka dalam perusahaan hal tersebut akan dimasukkan sebagai biaya.
“Misal nih, perusahaan mengeluarkan uang Rp10 juta sebagai zakat. Maka di pembukuan masuk ke pos biaya. Artinya zakat yang dibayarkan itu menambah biaya,” jelasnya.
Firsal mengilustrasikan jika misalnya satu perusahaan punya keuntungan Rp100 juta, lalu mengeluarkan zakatnya Rp10 juta nantinya akan dimasukkan ke pos biaya.
Dengan begitu, hitungannya keuntungan hanya tinggal Rp90 juta. Setelah membayar zakat, pengusaha juga harus membayar pajak lagi.
Sehingga, kata Dida, penambahan biaya ini menjadi multitafsir.
“Kalau di agama kita kan pembayaran zakat itu 2,5 persen. Sebenarnya agama lain lebih besar lagi walau namanya bukan zakat,” katanya.
Menurutnya, jika zakat kemudian menjadi pengurang pajak para pengusaha akan berbondong-bondong menyelesaikan kewajibannya.
“Misalnya dari keuntungan yang Rp100 juta tadi, dibayarkan zakatnya 10 persen maka untuk pajak tinggal menambah kekurangannya. Kita bayar zakat tapi kalau bisa tidak membayar pajak lagi. Atau sejumlah zakat yang kita bayarkan itu tinggal menggenapkan berapa lagi kekurangan pembayaran pajaknya,” terangnya.
Dengan begitu, keuntungan yang diperoleh pengusaha tidak menjadi pos biaya.
Lalu jika ternyata negara ini memiliki umat Islam katakanlah 87,2persen kemudian ada umat kristiani mengenal perpuluhan dan budha yang mengenal istilah dana atau derma, maka semua uang ini dimiliki umat.
Pertanyaannya apakah kemudian negara takut tak punya uang?”
“Saya kira simpel saja. Jika diserahkan melalui badan amil zakat maka tinggal berkoordinasi dengan institusi pengelola pajak.
Tidak apa kalau kemudian zakat kita ini dipakai negara karena kemungkinan penerimaan akan berkurang dari pajak. Potensi membayar kewajiban ini lebih besar.
Zaman Rasulullah dulu pun bayar zakat untuk pembangunan,” jelasnya.
Bahkan zaman khalifah Usman Bin Affan semua kekayaannya dihibahkan untuk negara, sambung Firsal.
“Artinya potensi zakat ini luar biasa, tinggal bagaimana kemudian agar ada kerelaan dan kewajiban untuk membayarnya. Karena kalau di kita, setiap orang yang diluar mustahik harus membayar zakat (fitrah) kecuali kepada 8 asnaf. D sistem pajak kita dikenal juga mereka dengan penghasilan tak kena pajak,” katanya.
(cr26/tribun-medan.com)
Baca berita TRIBUN MEDAN lainnya di Google News
Ikuti juga informasi lainnya di Facebook, Instagram dan Twitter

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.