Berita Viral
KEMATIAN Aulia Risma Lestari Mengingatkan Kembali pada Kematian Mahasiswa PPDS Albertus Berfan
Kematian dr. Aulia Risma Lestari mengingatkan publik kembali pada kasus kematian mahasiswa PPSD Albertus Berfan Christian tahun 2020 lalu.
"Pokoknya semua kotoran orang disikat di kita. Terus nanti kalau sudah mulai naik semester, ya mulailah agak sedikit-sedikit manusiawi," ujarnya.
"Terus kalau sudah semester atas, ya sudah suka-suka kita aja. Mau kita yang salah juga biasanya enggak disalahin ke kita, dilempar aja ke yang bawah."
Namun, itu tak berarti kehidupannya baik-baik saja setelah melewati semester 1.
David bilang, meski beban perundungan berkurang—tidak benar-benar hilang, beban pendidikan dan pelayanan sebagai calon dokter spesialis justru bertambah.
Misal, di semester 3 dan 4 biasanya mahasiswa PPDS sibuk mempersiapkan pasien untuk operasi, sementara di semester-semester selanjutnya mereka mulai mengoperasi sendiri.
Pada saat yang sama, para senior disebut selalu siap "meneror" para junior.
Sedikit kesalahan saja, katanya, bisa berujung ke bentakan dan makian.
"Itu hal yang lumrah. Dan akhirnya kita berusaha untuk berbuat sempurna bukan karena dorongan untuk melayani, tapi dorongan teror dari senior," kata David.
"Pokoknya cara paling gampang buat menggambarkan keadaan pendidikan kedokteran itu, anggap saja kami itu tentara tapi enggak pakai seragam."
Beban kerja dan ekspektasi yang tinggi, ditambah lingkungan yang tak nyaman karena tekanan bertubi-tubi dari para senior, lantas membuat David kerap mempertanyakan dirinya sendiri.
Ia merasa "tidak pantas", tidak cukup baik menjalani pekerjaannya.
Pada satu titik, ia kalut. Ia tak tahan lagi, dan berusaha bunuh diri.
Ribuan calon dokter spesialis depresi, ratusan merasa 'lebih baik mati'
Kementerian Kesehatan melakukan skrining kesehatan jiwa yang melibatkan 12.121 mahasiswa PPDS di 28 rumah sakit vertikal pendidikan di Indonesia pada 21, 22, dan 24 Maret 2024 lalu.
RS vertikal adalah rumah sakit yang berada di bawah pengelolaan Kementerian Kesehatan. Hasilnya, 22,4 persen atau 2.716 peserta PPDS tercatat mengalami gejala depresi. Sebesar 1,5 persen atau 178 orang mengalami depresi sedang-berat, sedangkan 0,6 persen atau 75 orang terkena depresi berat.
Dalam dua pekan terakhir sebelum skrining, 51 persen peserta PPDS merasa lelah, 38 persen mengalami gangguan tidur, 35 persen kurang tertarik melakukan apa pun, 25 persen merasa murung, muram, atau putus asa, dan 24 persen merasa kurang nafsu makan atau terlalu banyak makan.
Pada periode yang sama, 3,3 persen atau 399 peserta PPDS merasa lebih baik mati atau ingin melukai diri sendiri dengan cara apa pun. Ada 2,7 persen yang merasakan hal itu selama beberapa hari, 0,4 persen selama lebih dari separuh waktu, serta 0,2 persen yang merasakannya "hampir setiap hari".
Sebanyak 399 peserta PPDS merasa lebih baik mati atau ingin melukai diri sendiri dengan cara apa pun.
Identifikasi Penyebab Stres
Siti Nadia Tarmizi, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan, mengatakan pihaknya telah mengidentifikasi beberapa penyebab stres yang dialami para calon dokter spesialis, meski ini perlu didalami lebih lanjut.
Ia bilang, penyebabnya termasuk beban pendidikan seperti tuntutan menyelesaikan karya ilmiah dan membaca jurnal, beban pelayanan seperti kewajiban jaga malam, beban ekonomi untuk memenuhi kebutuhan pendidikan dan keluarga, serta masih adanya perundungan.
Pada periode Juli-Desember 2023, Kementerian Kesehatan menerima 216 aduan terkait dugaan perundungan di lingkungan rumah sakit.
Sebanyak 109 di antaranya dilaporkan terjadi di RS vertikal, sementara 107 lainnya di RSUD, fakultas kedokteran universitas, RS universitas, dan lainnya.
"Sudah banyak sekali pelaporannya. Karena itulah kita melakukan skrining ini, tujuannya untuk mendeteksi apakah perundungan menjadi salah satu faktor penyebab depresi di kalangan PPDS," kata Siti.
Ia menambahkan, akan ada pemeriksaan lanjutan untuk penanganan yang lebih komprehensif. "Kalau ini ada beban pendidikan atau beban pelayanan yang berat, tentunya ini harus dievaluasi,"ujarnya.
Sementara, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tidak menanggapi hasil skrining Kementerian Kesehatan ini.
Di sisi lain, Hartono, mantan ketua Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia (AIPKI) yang menjabat pada 2015-2017, mengatakan tidak bisa dimungkiri perundungan masih ada dalam pendidikan calon dokter spesialis.
"Tanpa bullying itu, beban studinya sudah cukup berat di PPDS. Bahkan ada orang menganalogikan tidak kalah dengan militer-lah, kira-kira begitu," kata Hartono, yang kini menjabat direktur RS Universitas Sebelas Maret (UNS).
"Apalagi ditambah [bullying] itu."
Menurut Hartono, potensi stres mahasiswa PPDS bisa datang dari berbagai hal. Apalagi, katanya, mereka kerap harus berjaga selama 24 jam atau lebih, menangani banyak pasien, serta terkadang berhadapan dengan situasi antara hidup dan mati.
Pengakuan dokter spesialis kejiwaan
Elvine Gunawan, dokter spesialis kejiwaan, juga mengatakan hal serupa. PPDS disebut berat karena calon dokter spesialis mesti memperdalam ilmunya dalam waktu relatif singkat, kira-kira empat hingga enam tahun.
Selama itu, peserta PPDS bisa jadi kewalahan menghadapi beban pembelajaran dan pelayanan, termasuk saat menghadapi pasien dan keluarganya.
Sering kali, jumlah pasien yang harus ditangani tak sebanding dengan jumlah dokter atau peserta PPDS yang berjaga.
"Setelah berjaga, peserta PPDS pun mesti membuat laporan lagi keesokan hari.
Itu membuat waktu istirahat, juga waktu bertemu keluarga jadi sangat terbatas, kata Elvine.
Ada pula faktor ekonomi, terutama untuk mereka yang kerap diandalkan sebagai tulang punggung keluarga.
"Itu tidak ada mata pencarian sama sekali [selama menjalani PPDS], sementara tagihan di rumah tetap berjalan," kata Elvine.
Karena itu, akan lebih baik bila para peserta PPDS bisa mendapat gaji, meski entah kapan ini bisa terealisasi.
"Jadi ketika orang bersekolah, mereka nggak harus membakar tabungannya," kata Elvine.
'Setiap hari mengeluh ingin keluar, tapi tetap dijalankan'
Dari seluruh calon dokter spesialis yang mengalami depresi, paling banyak tercatat ada di RS Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) di Jakarta dengan angka 614 orang.
RS Dr. Hasan Sadikin di Bandung, Jawa Barat, serta RS Dr. Sardjito di Sleman, Yogyakarta, ada di posisi kedua dan ketiga tertinggi, masing-masing dengan temuan 350 dan 326 orang.
Hendra, bukan nama sebenarnya, sedang menjalani pendidikan dokter spesialis telinga, hidung, dan tenggorok (THT) di RSCM.
Dia mengaku sempat berulang kali mengalami stres akibat tingginya tekanan dan banyaknya tugas yang dihadapi.
"Setiap hari ada beban, ada tugas baru," kata Hendra.
Dari seluruh calon dokter spesialis yang mengalami depresi, paling banyak tercatat ada di RS Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) di Jakarta dengan angka 614 orang.
"Dan tugasnya bukan yang bisa dikerjakan tiga hari sebelumnya. Kemudian kita kerjainnya mepet, dan diminta harus cepat, cepat, cepat [oleh para senior]."
Ia pun mengakui, senioritas berlaku di dunia kedokteran. Bahkan dalam sumpah kedokteran pun, katanya, disebut bahwa senior "harus dijunjung, harus dihormati".
Namun, senioritas yang dihadapi di program studi THT disebutnya tidak "sejauh itu".
Permintaan yang datang dari senior biasanya masih terkait dengan pekerjaan atau studi, kata Hendra.
Tetap saja, tekanan yang dihadapi membuat Hendra dan kawan-kawan rajin mengeluh dan mengucap ingin keluar dari PPDS.
"Itu keluhan setiap hari, biasa kalau mengeluh begitu," kata Hendra.
"Tapi tetap dilakukan dan dijalankan."
Sementara itu Valdo, juga bukan nama sebenarnya, mengatakan rutinitas sebagai calon dokter spesialis memang kerap membuat stres.
Valdo, yang merupakan mahasiswa PPDS tahun terakhir di RSCM, mengatakan ia mesti berhadapan dengan "hidup dan mati manusia" dengan jam kerja yang panjang.
"Kalau jaga malam, bisa 24 jam sampai 36 jam nggak tidur. Nggak tidur pernah dua hari paling lama," katanya.
"Menurut saya, PPDS itu stressful betul. Tekanan di mana-mana ada."
Salah satu tekanannya memang datang dari senior, yang katanya menuntut para junior untuk bekerja "serapi dan sebaik mungkin".
Namun, sejauh ini yang Valdo alami disebut masih dalam tahap wajar.
Ia pun tak mau ambil pusing. Segala tekanan yang ada ia anggap sebagai latihan untuk bisa bekerja lebih baik dalam menolong pasien.
"Ada yang merasa tekanan itu dapat membuat dirinya lebih matang, ada juga yang depresi karena itu," kata Valdo.
"Jadi kembali ke orangnya."
Di sisi lain, David pun mengatakan memang ada pula teman-temannya yang terkesan mewajarkan kondisi berat yang harus dilalui para peserta PPDS.
Teman-temannya itu mengatakan, pendidikan dokter spesialis "memang berat dan bukan untuk semua orang".
"Saya cukup tergelitik sebenernya melihat komentar seperti itu," kata David.
"Kesannya jadi mengglorifikasi bahwa memang kondisi sekolah pendidikan spesialis seperti ini."
"Sekarang pertanyaannya, tenaga pendidik mau sampai kapan tutup mata?"
'Tidak perlu malu ke psikiater'
David selamat dari usaha mengambil nyawanya sendiri, dan sekarang sedang berjuang bangkit dengan bantuan psikiater.
Titik baliknya, menurutnya, adalah ketika ia mengingat kembali apa tujuan awalnya ingin menjadi dokter: membantu banyak orang.
Ia pun tidak ingin membuat keluarganya bersusah hati.
"Bagaimanapun caranya, saya harus kembali sehat secara mental untuk melanjutkan pendidikan saya," kata David.
David mencoba berdamai dengan kondisi yang ada. Ia sadar tidak punya kapasitas untuk mengubah keadaan di PPDS.
Namun, ia berkomitmen tidak mau menjadi bagian dari lingkaran setan yang melanggengkan perundungan.
"Yang saya bisa lakuin hanya tidak mengikuti apa yang saya rasa tidak baik, misalkan mengajari junior tapi dengan teror gitu ya, dengan bullying, dengan dibentak-bentak. Saya rasa itu tidak perlu ya," katanya.
"Setidaknya ini berhenti di saya."
Ia tidak berharap banyak pada pemerintah untuk mengubah keadaan, meski sempat terbit Instruksi Menteri Kesehatan pada 2023 tentang pencegahan dan penanganan perundungan terhadap peserta didik di RS vertikal.
Hartono, mantan ketua AIPKI 2015-2017, juga mengatakan belum ada tindak lanjut konkret dari berbagai universitas untuk menuangkan kebijakan di Instruksi Menteri Kesehatan itu ke peraturan rektor, misalnya.
"Peraturan rektor nanti akan dituangkan dalam guideline atau SOP di tingkat fakultas dan program studi."
"Di situ tentu secara teknis akan diatur, termasuk bagaimana melaporkan perundungan dan dijamin keamanannya segala macam kalau yang melapor. Kemudian tindak lanjutnya juga jelas," kata Hartono.
"Itu kelihatannya kan belum ditindaklanjuti secara maksimal."
Karena sulit berharap pada pemangku kebijakan, David hanya berharap agar para calon dokter spesialis bisa pandai menjaga diri, agar mereka "tabah dan kuat".
Bila mengalami depresi atau bahkan terpikir ingin bunuh diri, kata David, lebih baik segera cari bantuan, karena tidak perlu semua dihadapi sendirian.
"Kita tidak perlu malu kita ke psikiater, kita tidak perlu malu kita ke psikolog. Apalagi kita sebagai tenaga kesehatan, tidak apa-apa. Saya rasa itu hal yang wajar," kata David.
"Hal yang wajar bukan berarti baik ya. Namun, ini hal yang sangat mungkin terjadi. Jadi, kalau misalnya memang sudah berasa ada gejala itu, langsung cari pertolongan profesional."
(*/Tribun-medan.com/BBC news Indonesia)
3 Jenis Bansos yang Cair di Agustus 2025: Wajib Diketahui oleh Penerima Bantuan |
![]() |
---|
Bupati Sudewo Mendadak Ramah Datangi Posko Aliansi, Dibalas Teriakan Massa hingga Suasana Mencekam |
![]() |
---|
DAFTAR 6 PANGDAM BARU: Mayjen TNI Kristomei Jabat Pangdam XXI/Radin Inten Meliputi Lampung-Bengkulu |
![]() |
---|
CURHAT Ismanto, Buruh Jahit Kaget Ditagih Pajak Rp2,8 Miliar, Huni Rumah Kecil di Gang Sempit |
![]() |
---|
TRAGIS Suami Bunuh Istri di Jambi Lalu Minum Racun, Rezan Kaget Winda Tiba-tiba tak Bernyawa |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.