Indonesia Catat Deflasi 5 Bulan Berturut-turut, Ekonom: Kondisi Ini Tidak Normal
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan Indonesia mengalami deflasi selama lima bulan berturut-turut pada Mei sampai September 2024.
Menurutnya, industri tekstil domestik mulai tertekan setelah konflik antara Rusia dan Ukraina. Industri tekstil dalam negeri yang rata-rata merupakan eksportir, terkena dampak dari peristiwa global tersebut.
Sebagian besar industri tekstil di Indonesia bergantung pada pasar internasional, dan kondisi global ini berdampak signifikan terhadap mereka.
"Ini kan tekstil sudah mulai trennya itu turun gitu ya karena waktu itu alasan mereka adalah terjadi perang Ukraina dan Rusia," kata Mirah kepada Tribunnews, dikutip Kamis (26/9/2024).
"Mereka kemudian mengalami penurunan terus karena faktor luar negeri itu mempengaruhi kuat, sangat kuat," lanjutnya.
Idealnya, saat pasar internasional tidak menentu, industri tekstil semestinya bisa memindahkan pasar mereka ke dalam negeri. Namun, itu tidak dapat terjadi.
Mirah menyebut ada regulasi yang membebaskan produk impor tekstil masuk, yaitu Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024 Tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Menteri Perdagangan 36/2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor.
Peraturan tersebut dianggap menjadi puncak dari merosotnya industri tekstil dalam negeri, sehingga menyebabkan PHK masif.
"Pemerintah Indonesia itu mengeluarkan regulasi Permendag Nomor 8 Tahun 2024, di mana keran impor itu dibuka dengan bebas, dan salah satunya masuk itu tekstil dari luar negeri, terutama dari China. Mereka harganya murah, kualitas hampir sama, itu yang terjadi," ujar Mirah.
"Sehingga ketika pasar internasional, sektor industri tekstil dan alas kaki itu digeser ke domestik, mereka tidak akan mengalami penjualan yang bagus karena sudah dihajar oleh produk atau serbuan barang-barang dari China itu, tekstil dari China," lanjutnya.
Banyak perusahaan tekstil dan alas kaki domestik yang mengalami kolaps dan menutup pabrik. Mereka tidak bisa bersaing dengan produk tekstil dari China dari sisi harga, meskipun secara kualitas lebih baik.
Mirah memberikan contoh, di salah satu mal besar di Jakarta Pusat, produk tekstil impor dijual dengan harga antara Rp 15 ribu hingga Rp 30 ribu. Masyarakat pun disebut lebih memilih produk tersebut karena harga yang terjangkau.
"Jadi cenderung masyarakat kita memilih yang murah apalagi ditambah karena daya beli kita sekarang rendah, karena upahnya itu murah, kemudian mengakibatkan daya beli rendah," ucap Mirah.
"Ketika daya beli rendah, maka masyarakat tidak akan pernah bisa membeli produk-produk yang dihasilkan oleh perusahaan-perusahaan domestik yang cenderung harganya itu memang agak tinggi," sambungnya.
Mirah memperingatkan jika pemerintah tidak segera mengambil langkah untuk melindungi sektor industri tekstil domestik, PHK akan terus berlanjut. (*)
PBB Akan Investigasi Data BPS yang Rilis Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 5,12 Persen Kuartal II 2025 |
![]() |
---|
Apa Itu Deflasi, Simak Penjelasannya dan Dampak Bagi Indonesia |
![]() |
---|
Sumut Alami Deflasi 0,63 Persen pada Februari 2025, Tarif Listrik Turun Jadi Pendorong Utama |
![]() |
---|
Fundamental Ekonomi RI Menguat, Sun Life Bidik Pertumbuhan Dobel pada 2025 |
![]() |
---|
RI Alami Deflasi 5 Bulan Beruntun dan Badai PHK, Prabowo Subianto Sebut Kondisi Ekonomi Positif |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.