Catatan Sepak Bola
Musuh dalam Selimut, El Brutus
Hentakan pertama menyenangkan, tapi pelan-pelan jadi kurang menyenangkan setelah terkorelasi dengan hentakan kedua dan ketiga.
Penulis: T. Agus Khaidir | Editor: Ayu Prasandi
Terkhusus Tim Nasional (Timnas) Indonesia. Suporter yang benar-benar suporter, yang tidak hanya ikut merayakan kemenangan.
Menyebut diri sebagai ‘Kami’, akun ini memaparkan pentingnya proses dalam membangun sepak bola. Terlebih-lebih bagi sepak bola Indonesia yang selama ini sekarat.
Saya kira benar sekali. Sepak bola Indonesia memang tidak cocok dianalogikan sebagai macan tidur.
Indonesia adalah macan yang sekarat, yang kurus-kering tergeletak tak berdaya menunggu mati, karena malnutrisi. Macan yang hakekatnya karnivora tentu harus menyantap daging dan sebangsanya. Bukan mengunyah rumput atau menelan dedak.
Kondisi malnutrisi ini telah diperbaiki. Pelan-pelan, macan kurus kering yang hampir mati dibangkitkan, diberi daging, disuntikkan berbagai vitamin.
Otot-ototnya pun terbentuk, kuda-kudanya kokoh, pergerakannya mulai gesit. Aumannya sudah pula menggelegar.
Dengan kata lain, macan sudah kembali menjadi macan. Namun untuk mengalahkan macan-macan di gelanggang tarung alam bebas dia tetap perlu waktu.
Kadang dia bisa menang, kadang kalah. Maka ketika menang tak usah terlalu disanjung, sebaliknya saat kalah jangan dirundung.
Seperti evolusi video game yang terentang panjang setengah abad, dan pastinya belum akan berhenti, pembangunan sepak bola Indonesia juga harus dilakukan dengan sabar, cermat, dan tidak buru-buru.
Masalahnya, tidak semua orang Indonesia berpikiran demikian. Tidak hanya suporter, sebagian pengamat sepak bola (kita sekarang ikut-ikutan menyebutnya ‘pundit’), termasuk juga orang-orang dalam federasi (baca: pengurus teras PSSI), masih menginginkan hasil yang instan.
Hasil yang sekonyong-konyong, seperti simsalabim abrakadabra, macan sekarat berubah jadi raja rimba.
Kalau sekadar begini pada dasarnya tak soal juga. Artinya menjadi pretensi pribadi. Ngedumel, tapi ditelan dan disimpan dalam hati. Celakanya, kita tahu, tidak begitu.
Sikap dan pandangan diutarakan ke publik, lantas dipaksakan jadi sikap dan pandangan umum pula. Lebih celaka lagi, makin ke sini, tolok ukurnya makin subjektif.
Makin menjurus kepada ketidaksenangan pribadi. Peluru demi peluru silih berganti ditembakkan.
Mulai dari local pride, Shin Tae-yong out, sampai refresh PSSI yang berujung pada wacana pelengseran Erick Thohir dari kursi ketua umum.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.