Berita Nasional

2 Kali Bantuan Gubernur Dedy Mulyadi Ditolak Ayah Anak yang Tinggal di Rumah 1x2 Meter di Bandung

 Inilah alasan ayah dan anak di Bandung tolak bantuan Dedi Mulyadi. Mereka memilih tinggal di rumah 1x2 meter. Rumah tersebut ada di pinggiran sungai.

Instagram @dedimulyadi
TOLAK BANTUAN: Ayah dan Anak di Bandung tinggal di rumah 1x2 meter yang didatangi Dedi Mulyadi. Mereka menolak bantuan Dedi Mulyadi yang ingin mengontrakkan rumah untuk mereka. 

TRIBUN-MEDAN.com - Inilah alasan ayah dan anak di Bandung tolak bantuan Dedi Mulyadi.

Mereka memilih tinggal di rumah 1x2 meter.

Rumah tersebut ada di pinggiran sungai Cikapundung.

Rumah ini tampak nyempil di antara beton sungai, seakan menjadi saksi bisu dari perjuangan hidup dua penghuninya, seorang ayah dan anak.

Tempat tinggal ini terkuak ketika Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, melakukan peninjauan ke lokasi banjir di kawasan tersebut. Betapa terkejutnya Dedi saat mendapati rumah mungil yang jauh dari kata layak dihuni oleh dua generasi.

“Bapak teh nyelepet di dieu? (Bapak tinggal di tempat sempit ini?)” tanya Dedi, ketika menuruni pembatas sungai dan mendekati rumah kolong tersebut. Momen itu diabadikan dalam unggahan akun YouTube Dedi, Jumat (21/3/2025).

Untuk masuk ke rumah tersebut, Dedi harus membungkuk lantaran pintunya yang sangat pendek.

Di dalamnya, hanya ada sebuah kasur yang menempel di lantai dan sebuah televisi tabung tua.

Tidak jauh dari situ, terdapat sumur kecil yang digunakan sebagai tempat mandi dan keperluan sehari-hari.

Kondisi ini menggambarkan betapa sempitnya ruang gerak mereka di rumah yang menjadi tempat bertahan hidup.

ALASAN Ayah dan Anak di Bandung Tolak Bantuan Dedi Mulyadi, Pilih Tinggal di Rumah 1x2 Meter
TOLAK BANTUAN: Ayah dan Anak di Bandung tinggal di rumah 1x2 meter yang didatangi Dedi Mulyadi. Mereka menolak bantuan Dedi Mulyadi yang ingin mengontrakkan rumah untuk mereka.


Sang ayah menghidupi dirinya dan anak laki-lakinya yang masih berusia 14 tahun dengan bekerja sebagai tukang servis payung.

Sementara itu, sang anak, yang telah putus sekolah setelah lulus SD, bercita-cita sederhana: ia ingin segera menyusul kakak perempuannya di Jakarta untuk bekerja.

Keadaan ini makin sulit dengan absennya sang ibu yang telah lama meninggalkan mereka, membuat dua penghuni ini hanya bisa saling mengandalkan di bawah atap seadanya.

Rumah kolong ini juga menghadirkan ancaman besar ketika hujan deras tiba. Air sungai yang meluap sering kali menyebabkan banjir hingga menggenangi tempat tinggal mereka.

Namun, dinding rumah yang seadanya tidak mampu memberikan perlindungan yang memadai.

“Lamun banjir kumaha? (Kalau banjir gimana?)” tanya Dedi dengan nada khawatir. “Lumpat kaitu (lari ke arah sumur),” jawab sang ayah dengan pasrah.

Tawaran Bantuan yang Ditolak

Dedi Mulyadi, yang prihatin dengan kondisi tersebut, menawarkan solusi berupa bantuan pindah ke tempat tinggal yang lebih layak.

Namun, tawaran tersebut ditolak oleh sang ayah. Menurutnya, mereka tidak memiliki cukup uang untuk melanjutkan hidup di tempat baru.

Menanggapi hal ini, Dedi kemudian menawarkan bantuan biaya kontrakan sementara untuk melewati musim hujan yang rawan banjir.

Namun, bantuan itu kembali ditolak. Sang ayah beralasan bahwa air sungai selama ini hanya naik setinggi betisnya, sehingga ia merasa masih nyaman tinggal di sana.

Baginya, yang lebih dibutuhkan adalah perbaikan bagian depan rumah dengan dinding pengaman agar rumah mereka lebih kokoh menghadapi banjir.

Sebagai bentuk kepedulian, Dedi akhirnya memberikan sejumlah uang untuk memperkuat struktur rumah tersebut.

Meskipun tidak bisa memberikan kenyamanan sepenuhnya, setidaknya bantuan itu dapat mengurangi risiko rumah mereka hanyut saat banjir besar melanda.

Kawasan di sekitar sungai Cikapundung memang tak jarang dilanda banjir akibat meluapnya air sungai. Beberapa rumah di pinggir sungai bahkan telah habis tergerus arus deras. 

Kondisi ini menjadi pemandangan yang kontras dengan suasana kawasan Braga, yang berada tidak jauh dari lokasi tersebut.

Sebagai salah satu pusat wisata Kota Bandung, Braga menawarkan kemewahan dan daya tarik modern yang bertolak belakang dengan potret kehidupan kumuh di pinggir sungai.

Kisah dua generasi ini tidak hanya menggambarkan kerasnya perjuangan hidup, tetapi juga menjadi pengingat bahwa masih banyak sudut kota yang luput dari perhatian. 

(*/TRIBUN-MEDAN.COM)

Baca berita TRIBUN MEDAN lainnya di Google News

Ikuti juga informasi lainnya di Facebook, Instagram dan Twitter   dan WA Channel

Berita viral lainnya di Tribun Medan 

Artikel ini telah tayang di TribunJabar.id 

 

 

Sumber: Tribun Medan
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved