Catatan Sepak Bola
Angkat Kepalamu, Tegakkan Harga Dirimu!
Spanduk raksasa kreasi kelompok suporter La Grande Indonesia, bergambar burung garuda, dengan tulisan ‘show your dignity’.
Penulis: T. Agus Khaidir | Editor: Ayu Prasandi
Kekalahan ini, seperti yang telah menjadi adat kebiasaan di negeri terkasih ini, segera melesatkan huru-hara kata. Jempol-jempol bergerak liar di kolom-kolom komentar berbagai macam unggahan di media sosial.
Sasaran tembak: Diks yang gagal penalti, Hilgers yang bermain serba canggung, Nathan Tjoe A-on yang kebingungan, dan –sudah barang tentu– Kluivert.
Wajah Kluivert yang datar, juga yang menunjukkan senyum tipis kala VAR memutuskan Indonesia mendapatkan penalti, menjadi komoditi-komoditi utama penghujatan.
Tak tanggung pula, sudah ada yang menyuarakan pendepakan. Tanda pagar (#) PatrickOut sempat menjadi trending.
Diakui atau tidak, Kluivert dan para asistennya; Alex Pastoor, Denny Landzaat, dan Gerald Vanenburg, memang membuat kesalahan.
Mereka mengambil resiko besar, mengubah skema permainan dari tiga bek sentral menjadi empat bek sejajar, dengan dua defensive midfielder (DM).
Padahal, sejak era STY, skema empat bek sejajar, dengan dua bek tengah, hampir-hampir tidak pernah digunakan.
STY, hingga laga terakhirnya kontra Arab Saudi, tetap setia dengan formasi tiga bek. Termasuk kala menurunkan komposisi “aneh” melawan China. STY menempatkan Idzes diapit Hilgers dan Verdonk.
Lantas sekonyong-konyong, Kluivert mengubahnya menjadi empat bek sejajar. Idzes berduet dengan Hilgers.
Ini duet bernilai pasar 13,2 juta euro atau setara Rp 236,38 miliar (nilai tukar Rp 17.908). Hampir empat kali lipat lebih tinggi dari trio bek tengah Australia; Cameron Burgess, Kye Rowles, dan Jason Geria.
Total nilai mereka “hanya” 3,8 juta euro atawa Rp 68 miliar. Persoalannya, harga, ternyata tidak berbanding lurus dengan kualitas.
Dalam hal ini khususnya korelasi dan soliditas. Kebiasaan bermain di klub yang menerapkan pola berbeda, Venezia dengan tiga bek tengah dan Twente dengan dua bek, membuat Idzes dan Hilgers tak gampang padu.
Langkah keputusan yang mereka ambil nyaris selalu berujung pada ancaman yang membahayakan gawang Paes.
Belum lagi ruang-ruang antara, ruang kosong yang tercipta lantaran keduanya kerap berada di posisi yang saling berjauhan [atau sebaliknya kelewat rapat], berulangkali membawa petaka.
Pertanyaan pun melesat berseliweran, apakah Kluivert, dan para asistennya, tidak dapat menangkap sisi lemah ini sebelumnya? Apakah ia tidak menjadikan pola-pola terapan STY sebagai referensi analisis? Atau pertanyaan-pertanyaan dengan tendensi kecurigaan semacam apakah ia terlalu tinggi gengsi untuk meneruskan kerja pendahulunya (?), atau jangan-jangan memang ada yang berupaya merusak tim dari dalam (?)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.