Breaking News

Kecelakaan Bus ALS

Satu Keluarga Korban Kecelakaan Bus ALS Disemayamkan Terpisah, Diratapi Bergantian oleh Kerabat

Kerabat yang datang silih berganti tak kuasa membendung duka, menyentuh peti, seolah ingin meyakinkan diri bahwa mereka benar-benar telah pergi.

|
Penulis: Arjuna Bakkara | Editor: Ayu Prasandi
TRIBUN MEDAN/ARJUNA
Suasana duka menyelimuti kediaman almarhum Saruden Nainggolan di Lingkungan I Uruk Nagodang, Kelurahan Sipolha Kecamatan Pematang Sidamanik, Rabu (7/5/2025). Tangis haru pecah saat jenazah beliau dan sang istri tiba di rumah duka, disambut isak keluarga yang tak kuasa menahan kesedihan.  

TRIBUN-MEDAN.com, SIPOLHA- Suasana di Lingkungan I Uruk Nagodang, Kelurahan Sipolha, berubah menjadi lautan air mata, Rabu (7/5/2025), saat rombongan ambulans yang membawa tiga jenazah dari satu keluarga tiba di rumah duka.

Tangis pilu menyambut kepulangan terakhir mereka Desrita Nainggolan (50), sang ibu, bersama kedua orang tuanya, Saruden Nainggolan (74) dan Romalola Sitanggang (74) yang tewas tragis dalam kecelakaan bus ALS di Padang Panjang, Sumatera Barat.

Jeritan kesedihan menggema begitu peti jenazah diturunkan satu per satu.

Kerabat yang datang silih berganti tak kuasa membendung duka, menyentuh peti, seolah ingin meyakinkan diri bahwa mereka benar-benar telah pergi.

"Oppung Doli... Oppung Doli..." lirih seorang cucu dengan suara pecah, air mata jatuh tanpa henti, memanggil sang kakek yang kini telah membisu dalam keabadian.

Tangis pun makin memuncak saat jenazah dibawa ke dalam rumah. Tidak satu, tapi tiga jenazah yang harus diterima keluarga di hari yang sama.

Namun pilu mereka tak berhenti sampai di situ.

Tiga jenazah tersebut tak disemayamkan bersama dalam satu rumah.

Desrita disemayamkan di rumah miliknya sendiri, sementara kedua orang tuanya disemayamkan di rumah lain, tempat mereka biasa tinggal.

Keputusan ini diambil berdasarkan adat Batak, di mana Desrita yang telah menikah dianggap sebagai bagian dari keluarga suaminya, Damanik.

Perpisahan itu menjadi semakin menyayat karena keluarga harus membagi duka mereka.

Kerabat dan pelayat tak bisa bersama-sama meratapi tiga orang terkasih dalam satu tempat.

Mereka terpaksa bergantian, berpindah dari satu rumah duka ke rumah lainnya, membawa duka yang terbelah, namun tak berkurang dalam kepedihannya.

Hasudungan Damanik, penatua adat setempat, dengan suara berat menyatakan duka yang sangat dalam.

"Kami sangat berduka... ini keluarga kita. Tapi secara adat, memang harus disemayamkan terpisah,” ujar Hasudungan Damanik.

Halaman
123
Sumber: Tribun Medan
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved