Ramai-ramai Ekonom Beber Kejanggalan demi Kejanggalan Data BPS soal Pertumbuhan Ekonomi 5,12 Persen

Data BPS pertumbuhan ekonomi kuartal II-2025 mencapai 5,12 persen menuai sorotan publik karena dianggap tidak mencerminkan kondisi di lapangan

|
Editor: Juang Naibaho
Tribunnews.com
Ilustrasi pertumbuhan ekonomi. Sejumlah ekonom membeberkan kejanggalan demi kejanggalan data BPS pada Kuartal II-2025 lantaran dipandang bertentangan dengan indikator ekonomi utama yang sudah dirilis sebelumnya. 

 TRIBUN-MEDAN.com - Badan Pusat Statistik (BPS) merilis pertumbuhan ekonomi pada kuartal II-2025 mencapai 5,12 persen secara tahunan (year-on-year/yoy), jauh melampaui ekspektasi pasar yang sebelumnya memproyeksikan hanya 4,50 persen. Capaian itu juga lebih tinggi dibandingkan kuartal I-2025 yang tumbuh 4,87 persen.

Namun, data BPS ini menuai sorotan dari publik karena dianggap tidak mencerminkan kondisi riil di lapangan.

Sejumlah ekonom pun membeberkan kejanggalan demi kejanggalan dari data BPS. Lantaran dipandang bertentangan dengan indikator ekonomi utama yang sudah dirilis sebelumnya.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad, menyebut capaian tersebut sebagai kejutan yang janggal, karena tidak sejalan dengan berbagai indikator ekonomi utama lainnya.

Aspek paling mencolok adalah data pembentukan modal tetap bruto (PMTB) yang tumbuh 6,97 persen.

Tauhid memandang di tengah kondisi pasar yang tidak stabil dan indeks manajer pembelian (PMI) manufaktur yang berada di bawah level 50 selama tiga bulan berturut-turut, sangat tidak lazim terjadi lonjakan investasi, terutama pembelian mesin, yang disebut naik hingga 25,3 persen.

Ia merujuk pada penjelasan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang menyebut bahwa pertumbuhan PMTB sebesar 6,97 persen didorong terutama oleh belanja mesin dan peralatan, yang disebut naik hingga 25,3 persen. 

Artinya, banyak pelaku usaha yang disebut melakukan pembelian mesin dalam jumlah besar. 

Namun, hal ini tidak masuk akal mengingat situasi industri sedang lesu. 

Indeks Manufaktur (PMI) selama tiga bulan di kuartal tersebut berada di bawah level 50, yang menunjukkan kontraksi aktivitas manufaktur. 

Dalam kondisi seperti itu, biasanya pelaku usaha bersikap hati-hati dan menunda belanja modal atau menerapkan strategi “wait and see”, bukan justru melakukan pembelian besar-besaran. 

“Para pelaku usaha kalau dari kondisi PMI turun atau katakanlah pasar bergenjolak, mereka itu wait and see, benar nggak? Kuartal kedua, apalagi PMI turun tiga bulan kan di bawah 50, terus juga pasar bergenjolak dan sebagainya,” ujar Tauhid, Rabu (6/8/2025). 

Ia juga mencatat bahwa penyaluran kredit investasi dari perbankan justru tercatat menurun pada periode yang sama, yang juga memperkuat keraguan terhadap lonjakan investasi mesin tersebut.

Dengan indikator kontraksi PMI, penurunan kredit investasi, dan ketidakpastian pasar, kenaikan investasi mesin yang tajam dinilai tidak konsisten. 

Bahkan menimbulkan pertanyaan terhadap keakuratan atau cara penghitungan data investasi dalam laporan pertumbuhan ekonomi nasional. 

“Dan kalau lihat datanya, kredit untuk investasi kan turun juga,” paparnya. 

Lebih jauh, Tauhid menyoroti sektor transportasi yang biasanya tercermin dari penjualan kendaraan bermotor. 

Menurutnya, data penjualan kendaraan justru mengalami kontraksi sebesar 0,4 persen, sementara sektor bangunan yang tumbuh 4,89 persen tidak sesuai dengan realisasi konsumsi semen yang tercatat menurun. 

“Kemudian yang kedua, juga kalau kendaraan kan memang turun. Itu kan clear di 0,4. Kemudian bangunan, kuartal kedua itu 4,89. Coba lihat pembelian semen, itu kan bahkan drop. Di bawah itu masih tumbuh 4,89. Itu artinya, itu yang menurut saya harus dijelaskan kenap data ini bertentangan dengan data-data yang sudah muncul sebelumnya,” bebernya. 

Selain itu, sektor industri pengolahan yang disebut melonjak 5,7 persen juga dinilai tidak konsisten. 

Ia mempertanyakan jenis industri apa yang sebenarnya mendorong pertumbuhan tersebut, mengingat program hilirisasi belum menunjukkan aktivitas besar karena pembiayaan proyek belum sepenuhnya berjalan. 

Sektor pertanian yang mengalami kontraksi 1,7 persen juga menjadi perhatian. 

Tauhid menilai aneh bila sektor ini justru tercatat sebagai kontributor kedua terbesar setelah industri pengolahan, sementara pertumbuhannya negatif. 

Seharusnya penurunan tajam di sektor pertanian memberikan dampak negatif terhadap total pertumbuhan ekonomi, mengingat bobot kontribusinya terhadap PDB cukup besar.

Namun, hal itu tidak terlalu terlihat dalam angka pertumbuhan ekonomi nasional yang justru tercatat naik signifikan. 

Ia menduga ada kemungkinan sektor industri pengolahan dihitung terlalu tinggi pertumbuhannya, sehingga seolah mampu menutup pelemahan dari sektor pertanian. 

Di sisi konsumsi, ia mempertanyakan angka pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang tercatat sebesar 4,9 persen pada kuartal II-2025. 

Menurutnya, angka ini terlihat tidak konsisten jika dibandingkan dengan berbagai indikator konsumsi lainnya yang menunjukkan tren pelemahan. 

Tauhid mengungkapkan indeks keyakinan konsumen tercatat di bawah 120, sebuah angka yang menunjukkan kehati-hatian masyarakat dalam melakukan belanja. 

Selain itu, indeks penjualan riil pun masih di bawah target, yang menunjukkan aktivitas konsumsi belum sepenuhnya pulih. 

Kenaikan konsumsi di kuartal II diduga mungkin didorong oleh faktor musiman, seperti pencairan Tunjangan Hari Raya (THR) atau tambahan gaji menjelang Lebaran. 

Namun, faktor tersebut hanya berdampak di bulan pertama kuartal, dan tidak cukup menjelaskan kenaikan konsumsi selama tiga bulan penuh. 

Fenomena Rohana-Rojali

Ia juga menyinggung soal fenomena Rohana dan Ronjali,istilah populer untuk menggambarkan kondisi ekonomi masyarakat yang mulai berhati-hati dan menunda belanja karena ketidakpastian. 

Hal ini semakin menunjukkan bahwa konsumsi seharusnya tidak mencatat pertumbuhan setinggi itu. 

“Konsumen di bawah 120. Kemudian indeks penjualan real juga masih di bawah target. Jadi konsumsi masih tetap bertahan 4,9. Apalagi ada fenomena Rohana, Ronjali, dan sebagainya. Nah ini yang saya kira memang perlu dilihat,” lanjutnya. 

“Dugaan saya kan ya mungkin alasannya ada gaji, THR juga mungkin di kuartal kedua ini masuk suasana lebaran, justifikasinya itu. Tapi kan itu di bulan pertama,” ucap Tauhid. 

Senada, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, menilai laporan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,12 persen pada kuartal II-2025 yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tidak sepenuhnya mencerminkan kondisi riil di lapangan. 

Menurutnya, terdapat sejumlah kejanggalan data, terutama pada sektor industri pengolahan, yang dalam laporan BPS disebut tumbuh sebesar 5,68 persen secara tahunan. 

Pertumbuhan ini, kata Bhima, sangat bertolak belakang dengan indeks PMI Manufaktur, yang justru mengalami penurunan dari 47,4 menjadi 46,9 pada akhir Juni 2025. 

Indeks ini menunjukkan bahwa sektor manufaktur mengalami kontraksi selama tiga bulan berturut-turut. 

“BPS menghitung adanya pertumbuhan 5,68 persen yoy untuk industri pengolahan, sementara akhir Juni 2025, PMI Manufaktur turun dari 47,4 menjadi 46,9,” katanya. 

Bhima juga menyoroti angka konsumsi rumah tangga yang tumbuh hanya 4,97 persen, padahal kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai 54,2 persen. 

Ia menilai angka ini tidak cukup untuk mendorong pertumbuhan ekonomi ke level 5,12 persen. 

Keanehan lainnya, lanjut Bhima, fakta bahwa pertumbuhan ekonomi kuartal II justru lebih tinggi dari kuartal I, padahal tidak ada momen musiman seperti Ramadan atau Lebaran di kuartal II.

Biasanya, kuartal pertama mencatatkan lonjakan aktivitas ekonomi akibat tingginya konsumsi masyarakat saat hari besar keagamaan.

Bhima pun mengingatkan bahwa keraguan terhadap data resmi pemerintah bisa berdampak luas, mulai dari kepercayaan investor, kredibilitas lembaga statistik, hingga efektivitas kebijakan ekonomi yang dirumuskan berdasarkan data tersebut.

Ia mendorong BPS untuk memberikan penjelasan yang lebih terbuka dan rinci kepada publik mengenai metode dan asumsi perhitungan yang digunakan. 

“Ada indikasi yang membuat masyarakat meragukan akurasi data BPS,” ungkap Bhima. 

Baca juga: BPS Catat Kemiskinan di Sumut Turun Drastis, Berikut Datanya

Merespons hal tersebut, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto membantah adanya manipulasi data dalam perhitungan pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal II-2025. 

"Mana ada," jawabnya singkat saat ditanya wartawan soal adanya manipulasi data dalam perhitungan pertumbuhan ekonomi Indonesia di kantornya, Jakarta, Selasa (5/8/2025). 

Menurutnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia Kuartal 2 dapat melesat di atas 5 persen karena terjadi perbaikan daya beli masyarakat. (*/tribunmedan.com)

Artikel ini telah tayang di Kompas.com

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved