Ironi Kaldera Toba: Pembangunan demi Status Geopark UNESCO

Kaldera Toba lemah dalam community-based development. Padahal, itu adalah inti dari konsep geopark UNESCO. 

Editor: iin sholihin
TRIBUN MEDAN/M ANIL
KEINDAHAN Danau Toba dari Bukit Singgolom di Desa Nihuta, Kabupaten Toba Samosir, Kamis (19/3/2020). 

Pemerintah provinsi merasa tersingkir dari skema strategis nasional. Pemerintah kabupaten lebih fokus menyerap anggaran lewat proyek-proyek asal jadi, tanpa visi jangka panjang. 

Aparatur Sipil Negara (ASN) tidak diberdayakan untuk membangun nilai budaya terhadap geodiversity. Akibatnya adalah keterputusan antara rakyat dan kawasan. 

Kaldera Toba dikelola bukan oleh komunitas yang hidup dari dan bersama lanskap itu, tapi oleh birokrat yang menjadikannya proyek, bukan rumah.

Masyarakat Kaldera Toba tidak diberdayakan, hanya dijadikan tontonan turis dan objek kebijakan. Mereka bukan mitra pembangunan, melainkan pelengkap laporan kegiatan. 

Tidak ada satu pun program besar yang melibatkan masyarakat sejak tahap perencanaan. Narasi pembangunan dirancang dari atas, penuh dengan retorika dan visualisasi teknologi, tanpa meninggalkan jejak keberlanjutan.

Kondisi ini kontras dengan pendekatan Geopark Steirische Eisenwurzen di Austria. Di sana, keterlibatan komunitas lokal dimulai sejak perencanaan. 

Studi UNESCO menyebut bahwa keberhasilan geopark terletak pada mutual trust-building antara aktor ilmiah dan masyarakat lokal melalui tata kelola bersama. 

Di Indonesia, prinsip ini diabaikan. Negara masih melihat geopark sebagai trofi, bukan sebagai lanskap hidup yang perlu negosiasi dan adaptasi berkelanjutan.

Derajat politik dan bisnis di Kaldera Toba lebih tinggi dari nilai kemanusiaan. Pemerintah menjadi alat elite proyek, bukan pelindung rakyat. Jabatan strategis diberikan kepada mereka yang dekat kekuasaan, bukan yang memahami konteks budaya Toba. 

Proyek-proyek tidak lahir dari kebutuhan masyarakat, melainkan dari kalkulasi politik dan logika rente. Proposal masyarakat lokal sering ditolak karena tidak cocok dengan selera para perancang proyek di Jakarta.

Situasi di Kaldera Toba bukan satu-satunya. Taman Nasional Komodo yang juga situs UNESCO saat ini menghadapi risiko pencabutan status akibat proyek wisata elit yang mengabaikan keberlanjutan. 
Pada Agustus 2025, UNESCO mengecam konsesi besar kepada PT Komodo Wildlife Ecotourism di Pulau Padar. Mereka mendesak penghentian proyek hingga evaluasi AMDAL diselesaikan dan ruang partisipasi masyarakat dibuka. 

Kasus Komodo mempertegas bahwa Indonesia gagal menjadikan masyarakat sebagai subjek kebijakan konservasi dan wisata, dan ini bukan kasus terpencil.

Di Kaldera Toba, proyek food estate yang dicanangkan pada 2021 menjadi simbol kehancuran ekologis. Janji ketahanan pangan berubah menjadi bencana banjir, longsor, konflik lahan dan frustrasi orang lokal akan masa depan mereka. 

Penebangan massif dilakukan tanpa transparansi publik. Tidak ada catatan keuangan dari hasil penjualan kayu. Yang ada hanya luka sosial dan ekologis. 

Negara bukan saja absen dalam perlindungan, tapi aktif menciptakan kerusakan dan menyuburkan konflik agraria. Masyarakat hanya dianggap penghambat proyek, bukan penjaga lanskap.

Sumber: Tribun Medan
Halaman 2 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved