Ironi Kaldera Toba: Pembangunan demi Status Geopark UNESCO
Kaldera Toba lemah dalam community-based development. Padahal, itu adalah inti dari konsep geopark UNESCO.
Pemerintah pusat dan daerah hanya fokus pada pembangunan fisik, bukan pembangunan jiwa kolektif dan masa depan yang sesungguhnya dari orang lokal.
Pelatihan berhenti di pelatihan. Tidak ada dukungan pasca program. Negara tidak pernah hadir dalam proses pemasaran hasil pertanian organik warga. Semua program berakhir pada laporan administrasi, bukan pada perubahan struktural.
Masyarakat diposisikan sebagai pemohon anggaran, bukan sebagai pemilik wilayah. Negara tampil seolah raja penyelamat, padahal itu tugasnya sebagai penyelenggara keadilan publik.
Pemerintah tidak menggandeng lembaga yang bekerja langsung dengan masyarakat. Salah satu contoh saja, Lembaga seperti Yayasan Lentera Pertiwi Sumatera yang punya pengalaman dalam mendampingi warga Toba sering kali dipinggirkan.
Padahal, hanya melalui pendekatan akar rumput dan kesabaran dialogis, pembangunan bisa mengakar kuat dan inklusif. Namun dalam logika pembangunan negara, proyek tetap lebih penting daripada proses.
Untuk mengatasi semua kegagalan struktural ini, pendekatan Pentahelix layak diajukan. Kolaborasi antara akademisi, pelaku usaha, komunitas, pemerintah, dan media (ABCGM) bukan sekadar jargon.
Ia adalah kerangka praktis yang memungkinkan fragmentasi birokrasi dan sosial bisa dijembatani. Model ini menekankan bahwa semua pihak harus duduk setara, bukan bertumpu pada dominasi negara atau investor besar.
Hanya dengan cara inilah Kaldera Toba bisa dikelola sebagai ruang hidup bersama, bukan objek eksploitasi semata.
Pertanyaannya kini bukan lagi apakah Kaldera Toba bisa mempertahankan status geopark dunia. Pertanyaannya adalah untuk siapa status itu dikejar?
Jika jawaban jujurnya adalah demi pengakuan elite politik dan pencitraan negara, maka yang sedang kita perjuangkan bukanlah keberlanjutan, melainkan ilusi.
Kaldera Toba tidak membutuhkan pengakuan global jika pengakuan itu dibangun di atas ketimpangan, pengkhianatan, dan pengabaian nilai lokal.
Yang dibutuhkan adalah keadilan ekologis, keadilan sosial, dan partisipasi otentik dari masyarakat sebagai pemilik sejarah dan penjaga lanskap.
Tanpa itu, status UNESCO tak lebih dari bedak tipis yang menutupi wajah pembangunan yang penuh borok, timpang, eksploitatif, dan tidak demokratis. (*)
Geowisata Kaldera Toba Unesco Global Geopark 2025
Revalidasi Geopark Danau Toba
air Danau Toba keruh
Dr Jannus TH Siahaan
Air Danau Toba Diduga Mengeluarkan Gelembung Bak Air Panas, Ikan Mati Mendadak |
![]() |
---|
JAWABAN BOBBY NASUTION Soal Air Danau Toba Tiba-tiba Menjadi Keruh, Karena? |
![]() |
---|
Air Danau Toba Keruh Viral di Sosmed, Bobby: Hasil Diskusi Para Ahli karena Menurunnya Permukaan Air |
![]() |
---|
5 Fakta Air Danau Toba Keruh Hingga Picu Kerugian Rp 10 Miliar |
![]() |
---|
Revalidasi Geopark Danau Toba Berakhir, Gubsu Bobby: Ada Beberapa Catatan dari Tim Asesor |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.