TRIBUN-MEDAN.COM,- Sidang Sengketa Pilpres 2024 sudah diputus oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Dalam putusan tersebut, ada tiga hakim MK yang menyatakan beda pendapat atau dissenting opinion.
Adapun ketiga hakim MK itu diantaranya Saldi Isra, Arief Hidayat dan Enny Nurbaningsih.
Saat memberikan pertimbangan putusan terhadap gugatan kubu 01, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, dan kubu 03, Ganjar Pranowo-Mahfud MD, ada hakim yang menyinggung soal bansos.
Baca juga: LINK LIVE STREAMING Sidang Putusan MK Sengketa Pilpres 2024 Hari Ini
Hakim yang menyinggung masalah pembagian bansos (bantuan sosial) mendekati momen Pemilu tak lain Saldi Isra.
Saldi Isra menyoroti politisasi bansos dan keterlibatan pejabat negara.
Secara umum, kata Saldi, ia melihat adanya pengelolaan anggaran negara yang berdekatan dengan penyelenggaran pemilu.
Tak hanya itu, Saldi juga memberikan komentar soal penyaluran bansos seiring dengan kunjungan kerja Presiden.
"Berdasarkan pertimbangan hukum dan fakta tersebut, pembagian bansos atau nama lainnya untuk kepentingan elektoral menjadi tidak mungkin untuk dinafikan sama sekali."
Baca juga: PUTUSAN Sengketa Pilpres 2024 Hari Ini, Berikut Kemungkinan Hasilnya, Diterima atau Ditolak?
"Oleh karena itu, saya mengemban kewajiban moral (moral obligation) untuk mengingatkan guna mengantisipasi dan mencegah terjadinya pengulangan atas keadaan serupa dalam setiap kontestasi pemilu," tutur Saldi.
"Dengan menyatakan dalil a quo terbukti, maka akan menjadi pesan jelas dan efek kejut (deterrent effect) kepada semua calon kontestan dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah bulan November 2024 yang akan datang untuk tidak melakukan hal serupa."
"Dengan demikian, saya berkeyakinan bahwa dalil Pemohon terkait dengan politisasi bansos beralasan menurut hukum," imbuhnya.
Profil Saldi Isra
Saldi Isra lahir di Solok, Sumatera Barat pada 20 Agustus 1968.
Ia merupakan lulusan Fakultas Hukum Universitas Andalas.
Dikutip dari situs resmi MKRI, Saldi menghabiskan masa kuliahnya belajar sambil bekerja.
Baca juga: Dibacakan Hari Ini, Prediksi 3 Kemungkinan Putusan Sidang Sengketa Pilpres 2024 dan Dampaknya
Lantaran, keputusannya bekerja kala itu mendapat tentangan dari keluarga yang meminta Saldi agar tetap bekerja menyokong perekonomian.
Karena itu, Saldi pun memutuskan kuliah sambil mengajar di Madrasah Aliyah dekat rumahnya.
Meski demikian, ia berhasil lulus S1 FH Unand tahun 1995 dengan meraih predikat summa cumlaude karena Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) mencapai 3,86.
Menjadi lulusan terbaik FH Unand membuat Saldi langsung diminta mengajar di Universitas Bung Hatta hingga akhirnya kembali ke Unand.
Selagi menjadi dosen di Unand, Saldi juga melanjutkan studi S2 di Universitas Malaya, Malaysia dan lulus tahun 2001.
Baca juga: BEGINI Hasil Putusan Sengketa Pilpres 2024 Jika Komposisi Hakim MK 4 Mengabulkan dan 4 Lagi Menolak
Pada 2009, ia menamatkan pendidikan Doktor di Universitas Gadjah Mada (UGM) dengan predikat cumlaude, menurut database dosen Unand.
Setahun setelahnya, tepatnya pada 2010, Saldi dikukuhkan menjadi Guru Besar Hukum Tata Negara Unand.
Ia kemudian dilantik menjadi Hakim MK pada 11 April 2017, menggantikan Patrialis Akbar yang terjerat kasus korupsi.
Saat ini, Saldi menjabat sebagai Wakil Ketua MK periode 2023-2028.
Sementara itu, Arief Hidayat dalam dissenting opinion-nya, meyakini bahwa rezim Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah berpihak pada satu pasangan Pilpres 2024.
Baca juga: Sosok Ini Beri Bocoran Bunyi Putusan Sidang Sengketa Pilpres 2024 di MK: Permonohan Ditolak
Ia menilai apa yang dilakukan Presiden dan jajarannya terkesan menyuburkan politik dinasti.
"Apa yang dilakukan Presiden seolah mencoba menyuburkan spirit politik dinasti yang dibungkus oleh virus nepotisme sempit dan berpotensi mengancam tata nilai demokrasi ke depan," ungkap Arief, Senin, dikutip dari Kompas.com.
Lebih lanjut, Arif memperjelas bahwa sejak Pilpres 2004 hingga 2019, belum pernah ditemukan keterlibatan pemerintah dalam urusan pilpres.
Tetapi, menurutnya, pada gelaran Pilpres 2024, Presiden dan jajarannya terang-terangan menunjukkan dukungan kepada satu pasangan.
Profil Arief Hidayat
Prof Dr Arief Hidayat SH, MS lahir pada 3 Februari 1956.
Ia adalah ahli hukum Indonesia yang terpilih menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) periode 2015-2017.
Ketika itu, ia menggantikan Hamdan Zoelva yang sudah berakhir masa jabatannya.
Baca juga: MK Panggil 4 Menteri ke Sidang Sengketa Pilpres 2024, Kapolri hingga Kepala BIN Turut Diminta Hadir
Dilansir situs resmi Mahkamah Konstitusi, Arief menikah dengan Tundjung Herning Sitabuana dan dikaruniai empat orang anak.
Mereka adalah Adya Paramita Prabandari, Kurnia Sadewa, Airlangga Surya Nagara, dan Elizabeth Ayu Puspita Adi.
Arief juga telah memiliki tiga cucu. Mereka adalah Indrasta Alif Yudistira, Diandra Paramita Surya Nagara, dan Darajatun Herjendra Surya Nagara
Sementara itu, Enny Nurbainingsih berpendapat, MK semestinya memerintahkan pemungutan suara ulang (PSU) di beberapa daerah demi memastikan pemilu berjalan jujur dan adil.
Baca juga: PANAS! Ketua MK Suhartoyo Panggil 4 Menteri Jokowi Untuk Hadir di Sidang Sengketa Pilpres 2024
"Untuk menjamin terselenggaranya pemilu yang jujur dan adil sebagaimana dijamin oleh UUD 1945, seharusnya Mahkamah memerintahkan untuk dilakukan pemungutan suara ulang untuk beberapa daerah," kata Enny
Enny berpandangan, dalil yang diajukan Anies-Muhaimin dalam permohonannya beralasan menurut hukum untuk sebagian.
"Diyakini telah terjadi ketidaknetralan yang sebagian berkelindan dengan pemberian bansos yang terjadi pada beberapa daerah," kata Enny.
Profil Enny Nurbainingsih
Enny Nurbainingsih adalah guru besar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada (UGM).
Enny Nurbaningsih dilantik menjadi hakim Mahkamah Konstitusi (MK) di Istana Negara, Jakarta, Senin (13/8/2018).
Hakim Enny menggantikan hakim MK Maria Farida Indrati yang memasuki masa pensiun.
Pengambilan sumpah jabatan terhadap Enny disaksikan langsung oleh Presiden Joko Widodo
Enny lahir di Pangkal Pinang pada 27 Juni 1962.
Adapun latar belakang pendidikannya, Enny merupakan sarjana dari Fakultas Hukum UGM Yogyakarta pada tahun 1981.
Kemudian ia menamatkan program Pascasarjana di Universitas Padjajaran Bandung pada tahun 1995.
Enny juga berhasil meraih gelar doktor pada program Pascasarjana Fakultas Hukum UGM dengan tesis berjudul "Aktualisasi Pengaturan Wewenang Mengatur Urusan Daerah dalam Peraturan Daerah".
Selain itu, Enny juga memiliki rekam jejak karier yang beragam di bidang hukum.
Beberapa di antaranya seperti, Staf Ahli Hukum DPRD Kota Yogyakarta, Kepala Bidang Hukum dan Tata Laksana UGM, Sekretaris Umum Asosiasi Pengajar HTN-HAN Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Legal consultant di Swisscontact hingga menjadi penasihat pada Pusat Kajian Dampak Regulasi dan Otonomi Daerah.
Ia juga berkarier sebagai Ketua Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Enny juga pernah meraih penghargaan tanda kehormatan Satyalancana Karya Satya 10 tahun.
Penghargaan ini diberikan kepada pegawai negeri sipil yang telah mengabdi selama 10 tahun dengan menunjukkan kesetiaan, kedisiplinan, pengabdian dan keteladanan bagi pegawai lainnya.
Nama Enny pada akhirnya dipilih Presiden Joko Widodo di antara dua nama lainnya, yaitu Profesor Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia Ni'matul Huda dan Dosen Senior Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Susi Dwi Harijanti.(tribun-medan.com)
Baca berita TRIBUN MEDAN lainnya di Google News
Ikuti juga informasi lainnya di Facebook, Instagram dan Twitter
Berita viral lainnya di Tribun Medan