Pajak E-Commerce yang Berkeadilan Demi Kemajuan Bangsa
Pajak menjadi salah satu tulang punggung keuangan negara, menopang berbagai kebutuhan mulai dari infrastruktur, pendidikan, kesehatan, hingga subsidi.
Oleh: Nofanolo Batee (Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Katolik Santo Thomas Medan)
TANGGAL 17 Agustus berlalu sekali lagi . Hari itu selalu menjadi momen refleksi untuk kemajuan bangsa Indonesia. Perayaan kemerdekaan tidak hanya dimaknai sebagai terbebas dari penjajahan asing, melainkan juga sebagai tanggung jawab bersama dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat. Kemerdekaan erat kaitannya dengan kemampuan bangsa untuk membangun secara mandiri, dan pembangunan itu sendiri tentu membutuhkan sumber daya, salah satunya melalui pajak.
Pajak menjadi salah satu tulang punggung keuangan negara, menopang berbagai kebutuhan mulai dari infrastruktur, pendidikan, kesehatan, hingga subsidi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2024) proporsi pajak menyumbang 82,4 persen dari total pendapatan negara, sisanya dari hasil tambang 7,4 % , BUMN 3,1 % , badan layanan umum 3 % , dan nonpajak 4 % . Hal ini menunjukkan bahwa pajak menjadi sumber utama penghasilan negara. Pemerintah terus menggali opsi-opsi pendapatan dari pajak. Selain pajak penghasilan dan pajak pertambahan nilai, kini ruang digital pun menjadi salah satu sektor yang mulai digarap sebagai sumber penerimaan negara.
Seiring berkembangnya ekonomi digital, pemerintah pada 14 Juli 2025 resmi memberlakukan pajak atas transaksi e-commerce dengan skema PPh final (dihitung dari total omzet). Marketplace diwajibkan memungut, menyetor, sekaligus melaporkan PPh Pasal 22 sebesar 0,5?ri omzet bulanan pedagang (pajak.go.id). Aturan ini dirancang dengan tujuan menciptakan keadilan fiskal antara usaha digital dan konvensional, sekaligus memperluas basis penerimaan negara.
Di satu sisi, langkah ini dapat dipandang positif karena menunjukkan keseriusan negara dalam menyesuaikan regulasi dengan perubahan zaman. Namun, di sisi lain, muncul juga keraguan karena kebijakan ini dirasakan langsung oleh pelaku UMKM yang masih berjuang mengembangkan usahanya, serta konsumen yang berpotensi ikut menanggung dampaknya.
Pro kontra pun tidak bisa dihindari. Bagi pemerintah, kebijakan ini adalah upaya menyeimbangkan kontribusi antara pelaku usaha digital dan tradisional. Sementara bagi sebagian pedagang kecil, tambahan kewajiban pajak justru dikhawatirkan menjadi beban baru di tengah margin keuntungan yang tipis. Situasi ini menjadi tantangan bagaimana agar tujuan mulia pajak e-commerce tidak justru berbalik melemahkan daya saing UMKM.
UMKM Masih Fase Ekspansi
Mayoritas penjual online di Indonesia berasal dari kalangan UMKM yang masih berusaha memperluas skala bisnis. Dengan margin keuntungan yang tipis, tambahan beban pajak justru menjadi ancaman serius. Alih-alih tumbuh, mereka berpotensi tertekan hingga kehilangan daya saing.
Bagi pelaku usaha kecil, urusan administrasi perpajakan sering kali lebih berat daripada keuntungan yang diperoleh. Kompleksitas aturan pajak tidak jarang membuat mereka kewalahan. Jika kondisi ini berlanjut, tidak menutup kemungkinan banyak UMKM memilih kembali ke sektor informal untuk menghindari kerumitan. Situasi ini jelas bertolak belakang dengan agenda pemerintah yang mendorong digitalisasi UMKM sebagai motor pertumbuhan inklusif.
Dampak kebijakan pajak juga dirasakan langsung oleh konsumen. Marketplace dan penjual online cenderung melimpahkan beban pajak ke harga produk. Meski kenaikan harga tampak kecil, efeknya bisa signifikan terhadap daya beli, terutama bagi kelas menengah ke bawah. Jika daya beli melemah, pertumbuhan konsumsi digital yang selama ini menjadi motor baru ekonomi nasional akan ikut tersendat.
Dalam jangka panjang, pelemahan daya beli akan menahan roda konsumsi domestik. Padahal, konsumsi dalam negeri adalah salah satu pilar utama pertumbuhan ekonomi Indonesia. Jika konsumsi digital yang sedang berkembang justru melambat, maka strategi pemerintah untuk mendorong transformasi ekonomi bisa kehilangan momentum.
Perlu dicatat, sektor e-commerce di Indonesia masih berada pada fase ekspansi. Data Kemendag (2024) mencatat penetrasi e-commerce pada 2023 baru 21,56?n diproyeksikan naik menjadi 34,84 % pada 2029. Artinya, pasar digital masih jauh dari titik jenuh. Namun, penerapan pajak yang terlalu menekan dapat mematikan potensi besar ini.
E-commerce seharusnya dipandang sebagai peluang strategis. Selain memperluas akses pasar UMKM, sektor ini mampu menciptakan lapangan kerja baru dan memperkuat kemandirian ekonomi rakyat. Karena itu, kebijakan perpajakan perlu dirancang lebih proporsional dan ramah bagi UMKM. Jika pemerintah tidak hati-hati, alih-alih memperkuat ekonomi digital, pajak justru bisa menjadi penghambat utama transformasi ekonomi nasional.
Baca juga: Agar Pendapatan Daerah Stabil, Bapenda Diminta Permudah Masyarakat Bayar Pajak
Skema Berkeadilan
Dalam penerapan pajak e-commerce ini, pemerintah dapat menerapkan skema berkeadilan. Artinya ada perbedaan besaran pajak antara UMKM dan perusahaan besar. UMKM yang masih dalam tahap merintis usaha sebaiknya diberi keringanan berupa tarif lebih rendah, insentif fiskal, atau bahkan pembebasan pajak sementara hingga mencapai skala tertentu. Kebijakan semacam ini bukan hanya soal keringanan, tetapi juga bentuk keberpihakan pada pelaku usaha kecil agar mereka memiliki ruang tumbuh tanpa terbebani administrasi yang rumit.
Kebijakan pajak harus dirancang agar tidak melemahkan daya beli masyarakat. Subsidi silang ataupun insentif harga bagi produk UMKM menjadi opsi yang dapat diambil. Dengan begitu, konsumen tetap bisa memperoleh barang dengan harga terjangkau, sementara pelaku usaha kecil tetap memiliki peluang bersaing. Tanpa mekanisme pengaman ini, kenaikan harga akibat beban pajak justru akan menjadi pukulan bagi jutaan pengguna e-commerce, khususnya kelas menengah ke bawah.
Memang benar bahwasanya dari perspektif fiskal, pajak e-commerce dapat memperluas basis penerimaan negara. Namun, orientasi tunggal pada penerimaan tidak cukup. Pemerintah harus merancang skema yang lebih berpihak, di mana UMKM dan rakyat kecil tidak terbebani, sementara pemain besar termasuk platform internasional yang selama ini menikmati pasar Indonesia tanpa kontribusi signifikan justru diwajibkan berkontribusi lebih besar.
Selain itu, simplifikasi administrasi perpajakan mutlak diperlukan. Banyak pelaku UMKM digital masih gagap memahami mekanisme perpajakan modern. Mereka membutuhkan literasi, bimbingan, dan dukungan kebijakan, bukan sekadar kewajiban represif. Hal ini menjadi bagian prinsip berkeadilan di mana pengetahuan dan literasi menjadi hak yang harus diberikan oleh pemerintah. Jika negara hanya menghadirkan beban tanpa solusi pendukung, hasilnya bisa kontraproduktif: meningkatnya ketidakpatuhan pajak dan menurunnya kepercayaan publik terhadap pemerintah.
Dalam kerangka pembangunan ekonomi, pajak seharusnya tidak diposisikan sebagai instrumen represi, melainkan katalis transformasi. Instrumen fiskal idealnya menjadi jembatan untuk memperkuat struktur ekonomi, bukan justru melemahkannya. Di titik inilah urgensi evaluasi kritis terhadap pajak e-commerce harus ditegakkan: demi memastikan bahwa kebijakan fiskal tidak sekadar menutup defisit, tetapi juga mendorong keadilan sosial-ekonomi.
Indonesia memang telah merdeka secara politik sejak 1945. Namun, kemerdekaan ekonomi hanya akan terwujud apabila negara benar-benar hadir untuk memberdayakan rakyatnya, bukan membebani mereka. Pajak e-commerce bisa saja adil dalam perspektif keuangan negara, tetapi bila tidak dikelola dengan hati-hati, dampaknya akan merugikan masyarakat luas. Hanya dengan menyeimbangkan kepentingan fiskal dengan keberpihakan pada rakyat kecil, semangat kemerdekaan 17 Agustus akan benar-benar bermakna demi kemajuan bangsa. (*/Tribun-Medan.com)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.