Jadi Korban Perdagangan Orang, Konferensi Nasional FH USU Bahas Perlindungan Hak Perempuan dan Anak
Ketua Umum ASPERHUPIKI, Fachrizal Afandi, PhD, menekankan pentingnya RKUHAP menutup celah diskriminasi terhadap perempuan dan anak.
Penulis: Husna Fadilla Tarigan | Editor: Eti Wahyuni
TRIBUN-MEDAN.com, MEDAN - Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) 2025 kini jadi sorotan. Pasalnya, aturan baru ini digadang-gadang akan menggantikan KUHAP 1981 yang sudah puluhan tahun menjadi acuan.
Tapi, apakah RKUHAP yang baru ini benar-benar bisa melindungi perempuan dan anak? Pertanyaan inilah yang coba dijawab dalam Konferensi Nasional ‘Jaminan Perlindungan Hak Perempuan dan Anak dalam RKUHAP 2025' yang digelar di Gedung Peradilan Semu, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (FH USU), Selasa (23/9/2025).
Konferensi ini mempertemukan akademisi, praktisi hukum, hingga aktivis perlindungan anak. Mereka ingin memastikan bahwa RKUHAP 2025 tidak hanya sebatas aturan prosedural, tapi juga responsif terhadap kelompok rentan, terutama perempuan dan anak.
Data Komnas Perempuan mencatat ada 2.078 kasus kekerasan seksual sepanjang 2023. Sementara itu, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mengungkap 70 persen korban perdagangan orang adalah perempuan dan anak.
Baca juga: Smart Mompreneur: Digitalisasi UMKM Perempuan untuk Keberlanjutan Keluarga
Angka ini jadi tamparan keras bahwa perlindungan hukum selama ini masih jauh dari kata cukup.
Direktur Eksekutif PKPA, Keumala Dewi, menuturkan, pihaknya bahkan sudah mengajak anak-anak dampingan untuk memberi testimoni. Menurutnya, banyak anak kehilangan hak-hak dasar ketika orang tua mereka terjerat kasus hukum.
“Sayangnya, negara belum hadir penuh untuk memastikan ada pengasuhan alternatif dan perlindungan. Forum ini harus mendorong pemerintah lebih serius melindungi anak-anak dalam situasi rentan,” katanya.
Sementara itu, Dekan FH USU, Dr Mahmul, SH, MHum, menegaskan hukum bukan hanya soal aturan yang mengikat, tapi juga harus menghadirkan keadilan yang humanis.
Ketua Umum ASPERHUPIKI, Fachrizal Afandi, PhD, menekankan pentingnya RKUHAP menutup celah diskriminasi terhadap perempuan dan anak.
“Selama ini hukum acara pidana masih bias laki-laki. RKUHAP harus hadir untuk menyeimbangkan dan melindungi kelompok rentan,” ujarnya.
Hal senada juga disampaikan Dr Beniharmoni Harefa, yang menyebut RKUHAP sudah mulai mengakomodasi prinsip restorative justice, tapi perlu penyempurnaan agar lebih berpihak pada korban.
Sedangkan Dr Nathalina Naibaho mengingatkan bahwa perlindungan perempuan dan anak jangan hanya jadi jargon, tetapi benar-benar diwujudkan dalam praktik hukum.
Tak hanya diskusi, acara ini juga diwarnai dengan penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) antara ASPERHUPIKI, FH USU, PKPA, dan Persada Academy. Tujuannya memperkuat kolaborasi perlindungan perempuan dan anak dalam konteks hukum pidana.
Uniknya, ada juga Kompetisi Call for Poster yang melibatkan generasi muda, akademisi, dan masyarakat umum untuk menyuarakan gagasan visual tentang perlindungan kelompok rentan.
Lewat konferensi ini, para pihak berharap RKUHAP 2025 tidak hanya menjadi aturan baru di atas kertas, tetapi juga benar-benar membawa perubahan dalam sistem peradilan pidana Indonesia lebih adil, humanis, dan responsif pada kebutuhan perempuan dan anak.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.