Desy Qobra, Jadikan Teater sebagai Rumah

Mungkin itulah sebabnya, setiap ada acara perpisahan kakak kelas, ia selalu maju tanpa menunggu dipanggil,

Penulis: Husna Fadilla Tarigan | Editor: Eti Wahyuni
DOKUMENTASI
Desy Ariani, pertemuan pertamanya dengan teater terjadi pada 2013, saat mengikuti PAMB di Unimed. 

TRIBUN-MEDAN.com, MEDAN - Masa kecil Desy Ariani tidak pernah benar-benar sederhana. Perempuan kelahiran Padangsidimpuan, 20 Desember 1994, itu menghabiskan hari-harinya dengan pola yang nyaris sama, sekolah, pulang, masuk kamar, lalu menunggu pagi berikutnya.

Sebagian besar waktu ia ditemani pengasuh. Dari sanalah, ia justru lebih sering belajar tentang rasa sakit.

Hal-hal kecil yang wajar bagi anak seusianya, baju putih terkena noda, makan terlalu lambat, tidak tidur siang bisa berubah menjadi alasan untuk dimarahi, bahkan dipukul. Saat itu, Desy kecil tidak pandai bercerita. Tidak di rumah, tidak di sekolah. Semua ia simpan sendiri.

Suatu hari, ia disuapi sambil pengasuhnya menonton televisi. Desy hanya menatap ke layar.

Di tengah sunyi, dalam hati kecilnya tumbuh satu kalimat yang tak pernah hilang sampai hari ini, “Suatu saat nanti, aku juga akan ada di televisi. Aku akan punya panggungku sendiri.”

Kalimat itu menempel bertahun-tahun. Mungkin itulah sebabnya, setiap ada acara perpisahan kakak kelas, ia selalu maju tanpa menunggu dipanggil, menari, menyanyi, apa saja yang memberinya sedikit ruang untuk bernapas dan merasa hidup.

Baca juga: Teater GENERASI Akan Gelar Festival Drama Epos di Medan, Catat Tanggalnya

Hari ini, ketika ia menengok ke belakang, Desy menyadari satu hal justru dari masa kecil yang penuh batasan itu, ia belajar berani tampil. Berani berkarya. Berani bersuara. Luka masa kecil itu tidak mematahkannya, justru membentuknya.

Desy tumbuh di antara dua sikap keluarga terhadap dunia seni sebagian pintu terbuka, sebagian lagi tertutup.

Sejak SMP hingga Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1 Padangsidimpuan, ia rutin mengikuti fashion show tingkat kabupaten. Panggung kecil itu menjadi tempat ia merasa hidup. Namun di saat yang sama, sang ibu mulai menunjukkan ketidaksetujuan.

Ucapan itu masih diingat Desy dengan jelas. “Halah, kalau cuma sebatas kabupaten kota, paling begitu-begitu saja,” ujar Desy mengingat.

Bagi ibunya, dunia fashion show hanya menghabiskan biaya. Menang pun belum tentu sanggup menutup pengeluaran. Dari sudut pandang orangtua, mungkin itu ada benarnya. Namun bagi seorang remaja yang jatuh cinta pada panggung, kata-kata itu mengguncang.

Kesempatan besar datang ketika ia ikut ajang Pemilihan Putri Tabagsel (Tapanuli Bagian Selatan). Untuk yang satu ini, ibunya tidak mendukung, tapi juga tidak melarang. Diam. Diam yang terasa seperti izin setengah hati.

Agar tidak membebani siapa pun, Desy memilih berjuang sendiri. Sepulang sekolah, ia dan sahabatnya, Rahmadani Harahap, berjualan rokok dan pembalut di sekolah. Ia juga mengerjakan tugas teman-teman sekelas. Upah kecil dari sana ia kumpulkan sedikit demi sedikit. Uang itu dipakai untuk biaya makeup dan kostum tiketnya menuju panggung impian.

Ajang itu berlangsung selama satu bulan. Panjang, melelahkan, dan penuh keraguan. Malam final tiba, untuk pertama kalinya keluarganya duduk lengkap di kursi penonton: ibu, ayah, adik, dan sahabatnya.

Ketika namanya dipanggil sebagai pemenang, Desy berdiri di panggung dengan perasaan yang sulit digambarkan. Bukan sekadar bahagia atau bangga. Di dalam hati, ada bisikan “Lihat… aku bisa. Aku benar-benar bisa.”

Sumber: Tribun Medan
Halaman 1/3
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved