Desy Qobra, Jadikan Teater sebagai Rumah

Mungkin itulah sebabnya, setiap ada acara perpisahan kakak kelas, ia selalu maju tanpa menunggu dipanggil,

Penulis: Husna Fadilla Tarigan | Editor: Eti Wahyuni
DOKUMENTASI
Desy Ariani, pertemuan pertamanya dengan teater terjadi pada 2013, saat mengikuti PAMB di Unimed. 

Tak ada pelukan dramatis atau air mata di barisan keluarga. Namun bagi Desy, malam itu menandai satu hal penting bahwa mimpi bukan untuk diminta restunya, mimpi diperjuangkan sampai dunia mau memberi ruang.

Desy adalah putri pasangan Ilham dan Rohima. Dari orangtuanya, ia belajar dua hal besar yakni kemandirian dan keteguhan. Dari ibunya, ia belajar bahwa jika benar-benar menginginkan sesuatu, ia harus berjuang sendiri tanpa menunggu orang lain membuka jalan.

Dari ayah dan keluarga, ia belajar bertahan sampai akhir, karena dukungan sering baru datang ketika seseorang tidak berhenti melangkah.

Ia tidak menyimpan dendam pada pilihan atau sikap orangtuanya di masa lalu. Desy memaknainya sebagai bentuk kasih sayang dengan cara yang mereka pahami. Justru dari situ ia tumbuh menjadi pribadi yang berani memperjuangkan mimpi meski langkah pertama harus diambil sendirian.

Jalani Pendidikan untuk Mencapai Kebebasan 

Keinginan kuliah di luar kota tidak pernah berjalan mulus. Sejak kelas 3 Aliyah, orang tua berkali-kali menekankan agar ia kuliah di kampung halaman. Desy memilih diam. Bukan karena setuju, tetapi karena tidak ingin perdebatan itu berubah menjadi luka baru.

Akhirnya, ia memilih Program Studi PGSD Universitas Negeri Medan (Unimed). Bukan karena sejak awal ingin menggabungkan pendidikan dan seni, tetapi karena ia punya satu tujuan sederhana, ia harus lulus agar bisa meraih kebebasan.

Jurusan apa pun tidak terlalu penting baginya saat itu. Orangtua ikut menentukan pilihan, terutama ibu yang berpikir bahwa menjadi guru SD berarti bisa lebih cepat pulang.

Bagi Desy, bukan soal cepat pulang. Ia ingin meraih kebebasan yang selama ini dirasa tidak pernah benar-benar ia punya kebebasan untuk tampil, berkarya, dan menjadi diri sendiri. Di Unimed, ia menemukan ruang itu.

Pertemuan pertama Desy dengan teater terjadi pada 2013, saat mengikuti PAMB di Unimed. Ia duduk di tribun lantai dua Gedung Serbaguna, menyaksikan para senior tampil dengan kostum megah dan peran yang mereka hidupi sepenuh jiwa.

Dari kursi jauh di atas, ada suara dalam diri yang berteriak. “Suatu hari, aku yang akan berdiri di sana. Aku yang akan ditonton ribuan pasang mata itu,” ungkapnya.

Tak lama kemudian, ia mendaftar ke Teater LKK Unimed. Di sana, ia justru langsung dipercayakan menjadi pemeran utama kabaret di hadapan ribuan mahasiswa baru tahun 2014–2015.

Momen itulah yang ia sebut sebagai detik ketika ia benar-benar jatuh cinta pada teater, pada cahaya lampu, energi penonton, dan napas pertunjukan yang bergerak serempak dengan jantungnya.

Sejak saat itu, panggung bukan lagi sekadar tempat tampil. Panggung menjadi rumah.

Lingkungan Unimed ia sebut sebagai salah satu ruang yang paling membentuk dirinya sebagai seniman panggung. Dosen-dosen yang tegas, disiplin, dan menghargai waktu tanpa sadar menanamkan karakter penting dalam dirinya tepat waktu latihan, tepat waktu menghafal naskah, tepat waktu memahami proses.

Sumber: Tribun Medan
Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved