Medan Terkini

Guru Tanpa Papan Tulis, Teater Dermaga Menjadi Sekolah Kedua bagi Anak-Anak Belawan

Di kawasan Belawan yang kerap diwarnai konflik antarremaja dan tindak kekerasan, sekelompok anak muda memilih duduk di pinggir dermaga.

|
TRIBUN MEDAN
POTRET PENDIDIKAN - Para anggota Teater Dermaga berlatih gerak dan ekspresi di halaman Ditpolairud Polda Sumut, Belawan. Latihan rutin ini menjadi ruang belajar alternatif bagi anak-anak pesisir untuk mengembangkan disiplin dan kreativitas melalui seni. 

TRIBUN-MEDAN.com, MEDAN – Di kawasan Belawan yang kerap diwarnai konflik antarremaja dan tindak kekerasan, sekelompok anak muda memilih duduk di pinggir dermaga untuk belajar.

Bukan dengan buku pelajaran dan papan tulis, melainkan lewat latihan vokal, olah tubuh, dan dialog teater.

Di Hari Guru Nasional ini, perjalanan Teater Dermaga memperlihatkan bahwa ruang belajar bisa lahir dari tempat yang paling sederhana bahkan dari riuh pelabuhan.

Bukan belajar dengan buku pelajaran atau papan tulis, melainkan lewat latihan vokal, olah tubuh, dan dialog teater.

Di lokasi yang berdekatan dengan Pelabuhan Belawan itu, para anak muda Teater Dermaga melafalkan huruf vokal sekeras mungkin, mempersiapkan diri untuk pementasan berikutnya.

Di bawah sinar sore, mereka bergantian memerankan tokoh dari legenda Datuk Batang Kuis hingga karakter orang gila ataupun debt collector.

Meski memiliki sekretariat kecil, aktivitas mereka tidak pernah terhenti. Poster-poster pementasan memenuhi dinding sekretariat sebagai rekam jejak karya yang pernah mereka garap.

“Sudah banyak pementasan yang kami adakan. Di bulan September kemarin, kami menghelat pertunjukan teater berjudul ‘Doa si Penggali Kubur’. Kami juga pernah mengangkat legenda ‘Datuk Batang Kuis’ dan ‘Datuk Alamsyah’,” kata Danu Pramana, Laksmana Teater Dermaga.

Karena ruang sekretariat terbatas, latihan lebih banyak dilakukan di dermaga dan pelabuhan kapal. “Kami latihan di dermaga, karena keterbatasan tempat. Biasanya ada area yang lumayan luas di pelabuhan, dan kami sering di situ. Latihan malam hari atau sore, seperti Sabtu-Minggu atau menjelang pementasan,” lanjut Danu.

Selain teater, komunitas ini juga memproduksi film pendek yang mengangkat realitas masyarakat pesisir. Danu menyebut sejumlah karya, di antaranya “Suci” dan “Mimpi di Atas Perahu”.

Salah satunya menyoroti tentang human trafficking, sementara lainnya menggambarkan kehidupan anak nelayan yang putus sekolah karena tekanan ekonomi. Seluruh proses mulai dari naskah, produksi, hingga pemeran melibatkan para “Laskar” Teater Dermaga.

Kehadiran Teater Dermaga tidak lepas dari perjalanan panjang pendirinya, Samsul. Ia mengingat awal mula komunitas ini berdiri pada 1986.

Saat itu, banyak anak muda Belawan terjerat narkoba dan tawuran. Samsul melihat potensi seni dari anak-anak yang mampu membaca puisi dan menari, lalu mengajak mereka berlatih bersama. Dari diskusi kecil bersama tujuh pemuda, nama “Teater Dermaga” disepakati, terinspirasi dari tempat latihan mereka.

Awalnya, mereka tampil di panggung kecil kampung nelayan, bahkan pernah mengisi acara Maulid Nabi. Seiring waktu, salah satu karya mereka ditampilkan di TVRI melalui program Drama Remaja tahun 1990-an.

Pengalaman itu memberi dorongan besar bagi para remaja Belawan untuk terus berkarya.

Sumber: Tribun Medan
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved