Berita Nasional

Ahmad Khozinudin: Anggapan Eksekusi Silfester Sudah Kedaluwarsa Membodohi Masyarakat

Ahmad menilai, dalih daluarsa dan restorative justice dalam perkara Silfester Matutina ini justru membodohi masyarakat.

|
Tribun Tangerang
EKSEKUSI SILFESTER MATUTINA - Kolase foto: Koordinator Tim Advokasi Antikriminalisasi Akademisi Ahmad Khozinudin (kiri) dan Ketua Umum Relawan Solidaritas Merah Putih (Solmet) Silfester Matutina (kanan). Ahmad Kozinuddin, mengkritisi proses eksekusi relawan pendukung Mantan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi), Silfester Matutina, yang tak kunjung dilaksanakan. 

TRIBUN-MEDAN.com - Ahmad Khozinudin yang juga pengacara pakar telematika Roy Suryo, menilai alasan daluarsa dan restorative justice tidak bisa diterapkan dalam proses eksekusi terhadap Silfester Matutina, dinilai membodohi publik.

Koordinator Tim Advokasi Antikriminalisasi Akademisi, Ahmad Kozinuddin, mengkritisi proses eksekusi relawan pendukung Mantan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi), Silfester Matutina, yang tak kunjung dilaksanakan.

Ia pun mengingatkan, ada perbedaan antara yurisprudensi dan preseden.

Menurutnya, suatu proses hukum bisa disebut yurisprudensi jika sudah ada putusan, kalau belum ada putusan, itu baru preseden saja.

Ahmad menilai, dalih daluarsa dan restorative justice dalam perkara Silfester Matutina ini justru membodohi masyarakat.

Baca juga: KPK Ungkap 2 Jalan Investigasi Dugaan Korupsi Kereta Cepat Whoosh, Makanya Baru Sekarang Dibeberkan

"Jadi saya ingin luruskan ya. Janganlah masyarakat dibikin bodoh dengan statement yang menambah bencana dua kali," kata Ahmad, dalam program Kompas Petang, Senin.

"Bencana pertama, kita lihat negara kita tuh kalah dengan seorang terpidana. Bencana yang kedua, masyarakat menjadi bodoh karena seolah-olah tindakan jaksa mengeksekusi itu keliru karena dianggap sudah daluarsa lah, ada restorative justice lah, dan seterusnya," tegasnya.

"Dan harus dibedakan namanya yurisprudensi dengan preseden. Kalau presedennya ada, iya tapi belum sampai putusan, belum menjadi yurisprudensi," paparnya.

"Jadi, ada perbedaan nomenklatur antara preseden dan itu juga perlu dipertanyakan presedennya seperti apa, kasusnya seperti apa," katanya.

Baca juga: Upacara Hari Sumpah Pemuda di Polres Sibolga Berlangsung Khidmat, Penuh Semangat Kebangsaan

Menurut Ahmad, Jaksa sudah lalai karena tidak kunjung melakukan eksekusi terhadap Silfester Matutina padahal putusan sudah inkrah, dan restorative justice hanya berlaku saat sebelum penuntutan di level kejaksaan.

Ia pun merasa iba terhadap negara Indonesia yang terkesan lemah terkait proses hukum terhadap Silfester.

"Dan yang jelas, kalau bicara tentang restorative justice, itu pra-penuntutan kalau di jaksa, kalau di polisi pra-penyidikan. Jadi, tidak bisa itu, ini sudah vonis, sudah inkrah. Jaksa lalai," papar Ahmad.

Baca juga: Alasan Jokowi Ogah Tempati Rumah Pensiun dari Negara, Padahal Sudah Hampir Jadi: Sudah Punya Rumah

Tak Dieksekusi karena Kedaluwarsa

Ketua Umum Relawan Solidaritas Merah Putih (Solmet) Silfester Matutina terjerat kasus dugaan pencemaran nama baik terhadap Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI, Jusuf Kalla.

Akan tetapi, meski putusan pidana 1,5 tahun penjara yang dijatuhkan terhadapnya sudah inkrah sejak enam tahun lalu, Silfester masih belum juga dieksekusi atau ditahan hingga saat ini.

Adapun Silfester yang tak kunjung dieksekusi mendapat pembelaan dari kuasa hukumnya, Lechumanan, dan sesama koloni relawan Jokowi, yakni Wakil Ketua Umum Bara JP, David Pajung.

Halaman 1/3
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved