Berita Viral
Hasto Kristiyanto: PDIP Menolak Keras Rencana Pemberian Gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto
Hasto Kristiyanto, menegaskan PDIP menolak keras rencana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden Soeharto.
TRIBUN-MEDAN.COM - Sekretaris Jenderal PDIP, Hasto Kristiyanto, menegaskan partainya menolak keras rencana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden Soeharto.
Sikap ini sejalan dengan suara masyarakat sipil dan perguruan tinggi yang menyoroti pelanggaran HAM masa lalu yang belum terselesaikan.
Hasto menyatakan, "Gelar pahlawan nasional harus diberikan kepada sosok yang memperjuangkan nilai kemanusiaan, bukan yang membungkam rakyatnya sendiri."
Pernyataan ini disampaikan usai mendampingi Megawati Soekarnoputri berziarah di Makam Presiden Soekarno, Blitar.
“Kami mendengarkan masukan dari kalangan civil society, dari perguruan tinggi, banyak yang memberikan catatan terkait pelanggaran hak asasi manusia yang belum ada penyelesaiannya,” ujar Hasto.
Hasto juga mengacu pada upaya yang dilakukan Mahfud MD saat menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan HAM untuk memfasilitasi rekonsiliasi nasional terkait pelanggaran HAM pada masa pemerintahan Presiden Soeharto.
Namun, upaya tersebut dinyatakan tidak membuahkan hasil. “Tentu saja ini menjadi bagian dari sikap PDIP yang tadi disampaikan oleh Ibu Megawati Soekarnoputri, jangan begitu mudah untuk memberikan gelar pahlawan,” imbuh Hasto.
Lebih lanjut, Hasto menekankan bahwa gelar pahlawan nasional seharusnya diberikan kepada figur yang memiliki rekam jejak dalam memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan, bukan kepada sosok yang justru mengkhianati nilai-nilai tersebut.
“Apalagi kemudian (figur itu) punya catatan dalam upaya untuk membungkam rakyatnya sendiri yang seharusnya dilindunginya,” kata Hasto.
Hasto menegaskan bahwa gelar pahlawan nasional seharusnya disematkan kepada sosok ideal yang bisa menjadi teladan bagi seluruh rakyat Indonesia.
“Kemudian melihat masa depan bahwa sosok pahlawan betul-betul menjadi contoh perjuangan anak bangsa di masa datang,” tuturnya.
Megawati juga mengingatkan pemerintah agar berhati-hati dalam memberikan gelar pahlawan, menegaskan bahwa Bung Karno adalah pahlawan sejati yang pernah diisolasi saat Soeharto berkuasa.
“Kalau Bung Karno benar pahlawan. Saya berani bertanggung jawab. Dia diisolasi saja,” tegas Megawati merujuk pada masa di mana Presiden Soekarno menjalani “tahanan rumah” setelah Soeharto mengambil alih kekuasaan.
Sebelumnya, Menteri Sosial (Mensos) mengusulkan 40 nama tokoh untuk gelar pahlawan nasional, termasuk Soeharto dan Gus Dur, namun PDIP menolak keras usulan tersebut.
Sikap PDIP ini menegaskan pentingnya rekonsiliasi dan keadilan dalam pemberian gelar pahlawan nasional, agar tidak mengabaikan sejarah kelam dan nilai-nilai kemanusiaan.
Megawati Kenang Ayahnya Ditolak Dimakamkan di TMP
Megawati Soekarnoputri juga mengenang masa sulit yang dialami keluarganya saat berupaya memakamkan sang ayah, Presiden pertama Republik Indonesia Soekarno, di Taman Makam Pahlawan (TMP) setelah wafat pada tahun 1970.
Megawati bercerita bahwa keluarga sempat mengajukan permohonan agar Bung Karno dimakamkan secara layak di TMP, namun permohonan tersebut ditolak oleh pemerintah Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto.
Megawati mengungkapkan bahwa hanya untuk memakamkan Bung Karno saja sangat sulit, sehingga akhirnya beliau dimakamkan di tempat lain yang kini dikenal sebagai makam proklamator bangsa.
“Hanya untuk dimakamkan saja susahnya bukan main. Makanya kenapa beliau tidak seperti biasanya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan, tapi beliau dimakamkan di sini,” ujar Megawati di hadapan para akademisi dan delegasi dari 30 negara dalam seminar internasional peringatan 70 tahun Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Blitar, Jawa Timur, Sabtu (1/11/2025) dikutip dari artikel Kompas.com.
Lokasi makam Bung Karno di Blitar awalnya adalah taman pahlawan bagi para prajurit Pembela Tanah Air (PETA) yang gugur dalam perjuangan melawan penjajah.
“Di sini, supaya sejawat saya yang dari luar negeri tahu, ini sebetulnya dulu taman pahlawan dari banyak prajurit kami, yang disebut PETA. Pada waktu dulu melawan Belanda, tempat ini kecil dan tidak terpelihara,” kata Megawati.
Tempat ini menjadi lokasi pemakaman Bung Karno setelah Presiden Soeharto menolak permintaan keluarga agar sang proklamator dimakamkan di TMP Kalibata.
“Oleh Presiden Soeharto pada waktu itu, ketika keluarga meminta untuk bisa ditempatkan sewajarnya di taman makam pahlawan, beliau tidak setuju. Tapi ditaruh di sini," imbuh dia.
Megawati menyebut keputusan Soeharto tersebut sebagai simbol perjuangan tersendiri bagi dirinya dan keluarganya, serta menegaskan bahwa Bung Karno selalu mengingatkan Megawati untuk terus berjuang menjaga warisan pemikirannya hingga akhir hayatnya. “Sehingga sampai akhir hayatnya pun beliau menuntut saya tetap berjuang bagi dirinya sendiri,” ucap Megawati.
Meski awalnya melalui proses yang sulit, makam Bung Karno kini menjadi salah satu tempat yang banyak dikunjungi masyarakat dari berbagai daerah dan negara.
Megawati mengajak para peserta seminar untuk tidak sekadar mengenang sejarah, tetapi juga meneguhkan kembali arah peradaban dan nilai-nilai kemerdekaan yang diwariskan Bung Karno.
Kontroversi Usulan Gelar Pahlawan untuk Soeharto
Sementara itu, usulan pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto, memicu kontroversi dan perdebatan di kalangan elite politik dan masyarakat.
Diskursus ini melibatkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang dipimpin oleh Megawati Soekarnoputri dan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang diketuai oleh Kaesang Pangarep.
PDI-P mempertanyakan prosedur dan dasar pengusulan gelar pahlawan nasional untuk Soeharto.
MY Esti Wijayanti, Ketua DPP PDI-P sekaligus Wakil Ketua Komisi X DPR, menyebutkan bahwa usulan tersebut merupakan sebuah kontradiksi yang dapat menimbulkan pemahaman bahwa aktivis reformasi 1998 yang menggulingkan Soeharto dianggap melawan pahlawan nasional.
Esti juga menyoroti status korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) pada masa Orde Baru, seperti Marsinah, aktivis buruh yang juga diusulkan menjadi pahlawan nasional.
Menurutnya, pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto harus melalui verifikasi yang ketat dan tidak bisa disetujui begitu saja tanpa mempertimbangkan aspek historis dan moral.
Pandangan PSI yang Mendukung Soeharto
Berbeda dengan PDI-P, PSI menilai Soeharto layak menerima gelar pahlawan nasional karena keberhasilannya dalam memimpin Indonesia selama masa Orde Baru.
Bestari Barus, politikus PSI, menyoroti pencapaian Soeharto seperti swasembada pangan, stabilitas ekonomi, dan pembangunan infrastruktur besar-besaran.
Ia mengkritik penolakan dari beberapa elite PDI-P yang dianggapnya subjektif dan tidak objektif dalam menilai sejarah.
Menurut Bestari, pemerintah memiliki mekanisme dan tim penilai yang komprehensif untuk menentukan siapa yang layak menerima gelar pahlawan nasional.
Proses dan Keputusan Pemerintah
Di sisi lain, Presiden Prabowo Subianto saat ini tengah mempelajari daftar 40 nama yang diusulkan untuk menerima gelar pahlawan nasional, termasuk nama Soeharto.
Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi menyatakan bahwa keputusan akan diumumkan pada waktunya setelah melalui proses penilaian yang matang oleh Dewan Gelar dan Tanda Jasa.
Selain Soeharto, beberapa nama lain yang diusulkan antara lain Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur), aktivis buruh Marsinah, dan sejumlah tokoh dari berbagai daerah dan latar belakang.
Usulan ini mencakup nama-nama yang telah diajukan sejak tahun-tahun sebelumnya dan masih dalam proses peninjauan.
Penolakan Terhadap Usulan Soeharto Jadi Pahlawan Nasional
Berbagai pihak menolak keras usulan pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto dengan alasan pelanggaran HAM, korupsi, dan otoritarianisme selama masa pemerintahannya.
Dikutip dari Tribunsumsel.com, berikut tujuh pihak yang menolak usulan tersebut:
1. Ribka Tjiptaning: Menolak keras usulan tersebut dan mempertanyakan jasa Soeharto sebagai pahlawan, mengingat banyak pelanggaran HAM dan pembunuhan rakyat selama masa pemerintahannya.
2. Esti Wijayati: Mempertanyakan kontradiksi historis dan moral dalam pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto, terutama terkait nasib aktivis reformasi dan korban pelanggaran HAM.
3. Amnesty International Indonesia: Menganggap usulan tersebut mencederai amanat reformasi dan mengabaikan keadilan bagi korban pelanggaran HAM berat masa lalu.
4. Direktur IPO, Dedi Kurnia Syah: Menilai usulan tersebut tidak memiliki urgensi dan menandai minimnya gagasan kementerian sosial dalam menyejahterakan masyarakat.
5. Komnas HAM, Anis Hidayah: Menilai wacana pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto bertentangan dengan semangat reformasi dan nilai-nilai konstitusi.
6. KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan): Menolak usulan tersebut karena rekam jejak Soeharto dalam pelanggaran HAM, korupsi, dan gaya kepemimpinan otoriter.
7. Ganjar Pranowo: Menilai Marsinah lebih layak dianugerahi gelar pahlawan nasional dan mengingatkan agar masyarakat tidak melupakan semangat reformasi 1998.
Hingga kini, usulan pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto memicu perdebatan yang tajam antara pihak yang menilai jasa dan keberhasilan Soeharto dalam pembangunan nasional dan pihak yang menolak dengan alasan pelanggaran HAM dan otoritarianisme.
(*/Tribun-medan.com)
Baca berita TRIBUN MEDAN lainnya di Google News
Ikuti juga informasi lainnya di Facebook, Instagram dan Twitter dan WA Channel
Berita viral lainnya di Tribun Medan
| KETIKA Soeharto Diusulkan jadi Pahlawan Nasional, Megawati Kenang Ayahnya Ditolak Dimakamkan di TMP |
|
|---|
| PELAKU Penculikan Siswi SMP di Palembang Pakai Jasa Mobil Online, Terekam CCTV, Sopir Diperiksa |
|
|---|
| TRANSFORMASI PROJO: Kongres Tak Dihadiri Jokowi, Ganti Logo, dan Pastikan Bergabung Gerindra |
|
|---|
| ISTRI Onad Leonardo Dipulangkan, Tak Terbukti Terlibat Narkoba, Polisi: Hasil Cek Urine Negatif |
|
|---|
| KISAH Pilu di Balik Pembunuhan di Siak, Istri Dipaksa Layani Korban Hingga Hubungan Sesama Jenis |
|
|---|

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.