Berita Nasional
Penolakan Soeharto Diberi Gelar Pahlawan Bermunculan, Tokoh NU Gus Mus hingga Usman Hamid tak Setuju
Gelombang penolakan pemberian gelar pahlawan nasional terhadap mantan Predisen RI Soeharto terus bermunculan.
TRIBUN-MEDAN.com - Gelombang penolakan pemberian gelar pahlawan nasional pada mantan Predisen RI Soeharto terus bermunculan.
Sebelumnya, korban atau penyintas tragedi Tanjung Priok 1984, menolak wacana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden kedua RI, Soeharto.
Aktivis korban penyintas tragedi 1965, Bedjo Untung hingga 468 tokoh juga menolak.
Kini wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto, kembali memantik respons dari sejumlah tokoh Islam.
Dua suara penolakan datang dari KH Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus) dan Usman Hamid, masing-masing tokoh dari Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.
Keduanya menyoroti aspek moral, sejarah, dan keadilan dalam penilaian kepahlawanan.
“Saya paling tidak setuju kalau Soeharto dijadikan Pahlawan Nasional," kata Mustasyar Pengurus Nahdaltul Ulama (PBNU), Gus Mus, dalam keterangannya, Rabu (5/11/2025).
Gus Mus mengenang masa Orde Baru sebagai periode yang menyisakan luka bagi banyak ulama dan kiai pesantren.
Ia menyebut papan nama NU dilarang dipasang, bupati-bupati merobohkan simbol organisasi, dan sejumlah tokoh dipaksa masuk Golkar.
“Banyak kiai yang dimasukin sumur. Adik saya, Kiai Adib Bisri, keluar dari PNS karena dipaksa masuk Golkar," ujarnya.
Ia juga mengisahkan pengalaman Kiai Sahal Mahfudh yang menolak menjadi penasehat Golkar Jawa Tengah. Menurut Gus Mus, banyak pejuang bangsa yang tidak pernah mengajukan gelar pahlawan demi menjaga keikhlasan amal.
“Kalau istilahnya, menghindari riya’. Amal kebaikan jangan dikurangi karena gelar,” jelasnya.
Dari Muhammadiyah, kritik datang dari Usman Hamid, pengurus Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Ia juga dikenal sebagai Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia dan mantan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS).
Usman menilai bahwa gelar pahlawan harus diberikan kepada sosok yang memegang nilai kebenaran dan keberanian moral hingga akhir hayatnya.
“Kalau meninggal dalam status tersangka atau terdakwa, apalagi terkait pelanggaran HAM atau korupsi, sulit disebut pahlawan,” ujar Usman Hamid.
“Kalau meninggal dalam status tersangka atau terdakwa, apalagi terkait pelanggaran HAM atau korupsi, sulit disebut pahlawan,” ujar Usman dalam keterangan tertulis, Kamis (6/11/2025).
Usman menyoroti status hukum Soeharto yang tidak pernah tuntas. Ia menyebut Soeharto sebagai salah satu pemimpin paling buruk di Asia Tenggara, menurut sejumlah kajian internasional.
“Bagaimana bisa Soeharto disandingkan dengan Gus Dur atau Marsinah?” imbuhnya.
Pemerintah dan Golkar Usulkan Soeharto
Dukungan terhadap pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto datang dari Fadli Zon, Menteri Kebudayaan sekaligus Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (GTK), serta dari Partai Golkar, partai yang secara historis dibentuk dan dibesarkan oleh Soeharto.
Fadli menyebut Soeharto telah memenuhi syarat dan masuk daftar prioritas tahun ini.
Ia menekankan peran Soeharto dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 sebagai tonggak pengakuan eksistensi Indonesia oleh dunia.
Kontroversi Pelanggaran HAM
Menanggapi kontroversi pelanggaran HAM, Fadli menyatakan bahwa penilaian gelar dilakukan berdasarkan fakta sejarah dan jasa, bukan opini politik.
“Enggak pernah ada buktinya. Pelaku genosida apa? Enggak ada,” ujar Fadli di Istana Negara, Jakarta, Rabu (5/11/2025), usai menyerahkan hasil seleksi nama calon pahlawan kepada Presiden Prabowo Subianto, yang juga merupakan mantan menantu Soeharto.
Ketua Umum Golkar Bahlil Lahadalia menyampaikan dukungan serupa dalam pertemuan resmi di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (3/11/2025).
Ia menyatakan bahwa Soeharto layak diberi gelar atas jasanya dalam pembangunan dan stabilitas nasional.
“Kami sudah mengajukan Pak Harto lewat mekanisme rapat DPP Golkar. Apa yang dilakukan selama 32 tahun itu luar biasa,” kata Bahlil.
Golkar menilai Soeharto bukan hanya tokoh yang dekat dengan partai, tetapi juga arsitek politik Golkar secara struktural, ideologis, dan historis.
Golkar juga menyebut bahwa semua mantan presiden, termasuk Gus Dur dan BJ Habibie, layak dipertimbangkan sebagai pahlawan sebagai bentuk penghargaan terhadap jasa para tokoh bangsa.
Baca juga: Nasib Roy Suryo dkk, Hari Ini Kapolda Metro Umumkan Tersangka Kasus Tudingan Ijazah Palsu Jokowi
486 Tokoh Menolak
Sebelumnya 486 tokoh dari berbagai elemen dan latar belakang mulai dari aktivis, akademisi, pimpinan organisasi masyarakat hingga mantan Jaksa Agung masuk dalam daftar nama yang menolak rencana pemberian gelar pahlawan nasional oleh negara kepada mendiang Presiden ke-2 RI Soeharto.
Mereka menolak pemberian gelar ini karena rekam jejak moral, historis, dan hukum sang 'The Smilling General' jauh dari cermin nilai luhur untuk disebut pahlawan nasional.
Para tokoh ini juga mengirimkan surat penolakan mereka ke Istana Negara dan ditujukan kepada Presiden Prabowo Subianto.
Dalam konferensi pers di Gedung YLBHI, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (4/11/2025), perwakilan para tokoh ini turut membacakan surat tersebut.
Mereka diantaranya Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid, eks Ketua Komnas HAM dan Jaksa Agung periode 1999-2001 Marzuki Darusman, Sejarawan Asvi Warman, Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti, penyintas tragedi 1965 Utati, Romo Franz Magnis Suseno, dan Anggota Dewan Pengurus Amnesty Internasional Indonesia Firda Amalia.
Megawati Kenang Masa Sulit Era Orde Baru
Presiden Kelima Republik Indonesia Megawati Soekarnoputri, mengenang masa sulit yang dialami keluarganya saat berupaya memakamkan sang ayah, Presiden pertama Republik Indonesia Soekarno, di Taman Makam Pahlawan (TMP) setelah wafat pada tahun 1970.
Megawati bercerita bahwa keluarga sempat mengajukan permohonan agar Bung Karno dimakamkan secara layak di TMP, namun permohonan tersebut ditolak oleh pemerintah Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto.
Megawati mengungkapkan bahwa hanya untuk memakamkan Bung Karno saja sangat sulit, sehingga akhirnya beliau dimakamkan di tempat lain yang kini dikenal sebagai makam proklamator bangsa.
“Hanya untuk dimakamkan saja susahnya bukan main. Makanya kenapa beliau tidak seperti biasanya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan, tapi beliau dimakamkan di sini,” ujar Megawati di hadapan para akademisi dan delegasi dari 30 negara dalam seminar internasional peringatan 70 tahun Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Blitar, Jawa Timur, Sabtu (1/11/2025) dikutip dari artikel Kompas.com.
Lokasi makam Bung Karno di Blitar awalnya adalah taman pahlawan bagi para prajurit Pembela Tanah Air (PETA) yang gugur dalam perjuangan melawan penjajah.
“Di sini, supaya sejawat saya yang dari luar negeri tahu, ini sebetulnya dulu taman pahlawan dari banyak prajurit kami, yang disebut PETA. Pada waktu dulu melawan Belanda, tempat ini kecil dan tidak terpelihara,” kata Megawati.
Tempat ini menjadi lokasi pemakaman Bung Karno setelah Presiden Soeharto menolak permintaan keluarga agar sang proklamator dimakamkan di TMP Kalibata.
“Oleh Presiden Soeharto pada waktu itu, ketika keluarga meminta untuk bisa ditempatkan sewajarnya di taman makam pahlawan, beliau tidak setuju. Tapi ditaruh di sini," imbuh dia.
Megawati menyebut keputusan Soeharto tersebut sebagai simbol perjuangan tersendiri bagi dirinya dan keluarganya, serta menegaskan bahwa Bung Karno selalu mengingatkan Megawati untuk terus berjuang menjaga warisan pemikirannya hingga akhir hayatnya.
“Sehingga sampai akhir hayatnya pun beliau menuntut saya tetap berjuang bagi dirinya sendiri,” ucap Megawati.
Meski awalnya melalui proses yang sulit, makam Bung Karno kini menjadi salah satu tempat yang banyak dikunjungi masyarakat dari berbagai daerah dan negara.
Megawati mengajak para peserta seminar untuk tidak sekadar mengenang sejarah, tetapi juga meneguhkan kembali arah peradaban dan nilai-nilai kemerdekaan yang diwariskan Bung Karno.
Sementara itu, usulan pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto, memicu kontroversi dan perdebatan di kalangan elite politik dan masyarakat.
PDI-P mempertanyakan prosedur dan dasar pengusulan gelar pahlawan nasional untuk Soeharto.
Baca juga: Nasib Pelda Christian yang Kehilangan Anaknya Prada Lucky, Kini Diproses Dugaan Langgar Etik Militer
(*/TRIBUN-MEDAN.com)
Sumber: tribunnews.com
Baca berita TRIBUN MEDAN lainnya di Google News
Ikuti juga informasi lainnya di Facebook, Instagram dan Twitter dan WA Channel
Berita viral lainnya di Tribun Medan

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.