Berita Nasional

Alasan Pemerintah Tetapkan Soeharto dan 9 Tokoh Lainnya Jadi Pahlawan Nasional

Pemberian gelar pahlawan nasional ini menjadi topik hangat karena menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat.

ARSIP Kompas/JB Suratno
MANTAN PRESIDEN SOEHARTO: Mantan Presiden atau Presiden RI kedua Soeharto. Gambar diambil pada 15 Januari 1998. Wacana pengusulan Soeharto dapat gelar Pahlawan Nasional diwarnai penolakan 

Beberapa tokoh lain yang juga masuk dalam daftar usulan tersebut antara lain Syaikhona Muhammad Kholil, KH Bisri Syamsuri, KH Muhammad Yusuf Hasyim, Jenderal TNI (Purn) M. Jusuf, dan Jenderal TNI (Purn) Ali Sadikin. Seluruh nama ini disebut telah melalui proses kajian panjang selama beberapa tahun terakhir.

Keterlibatan Presiden dan Tokoh Negara

Mensesneg Prasetyo Hadi juga mengungkapkan bahwa Presiden Prabowo tidak mengambil keputusan secara sepihak.

Dalam proses finalisasi, ia menerima berbagai masukan dari tokoh dan lembaga negara seperti Ketua MPR Ahmad Muzani serta Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad.

“Tadi juga kemudian Bapak Presiden mendapatkan masukan dari Ketua MPR, kemudian juga dari Wakil Ketua DPR. Karena memang cara bekerja beliau, beliau menugaskan beberapa untuk berkomunikasi dengan para tokoh, mendapatkan masukan dari berbagai pihak sehingga diharapkan apa yang nanti diputuskan oleh Bapak Presiden itu sudah melalui berbagai masukan,” ujar Prasetyo.

Penganugerahan gelar pahlawan nasional ini memiliki arti penting bagi pemerintahan Presiden Prabowo.

Selain menjadi penghormatan terhadap jasa para tokoh bangsa, gelar ini juga mencerminkan sikap inklusif pemerintah dalam mengakui kontribusi lintas generasi—baik dari kalangan pemimpin negara, tokoh agama, hingga pejuang sosial.

Kontroversi dan Penolakan Terhadap Soeharto

Meski demikian, keputusan memasukkan nama Soeharto sebagai salah satu penerima gelar menuai reaksi keras dari berbagai kalangan.

Lebih dari 500 aktivis dan akademisi sebelumnya telah menandatangani pernyataan penolakan terhadap rencana pemberian gelar tersebut. 

Mereka menilai masih banyak catatan kelam selama masa pemerintahan Orde Baru yang perlu dikaji secara mendalam sebelum negara memberikan penghargaan tertinggi tersebut.

Salah satu penolakan tegas datang dari KH Ahmad Mustofa Bisri atau Gus Mus, Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan tokoh pesantren asal Rembang, Jawa Tengah. 

Dalam pernyataannya yang dikutip dari NU Online, Gus Mus menegaskan, “Saya ini orang yang paling tidak setuju kalau Soeharto dijadikan Pahlawan Nasional.”

Menurut Gus Mus, banyak peristiwa di masa Orde Baru yang menimbulkan penderitaan bagi kalangan pesantren dan warga Nahdlatul Ulama.

Ia menyebut banyak ulama dan kiai mengalami perlakuan tidak adil, bahkan sebagian menjadi korban kekerasan.

Sumber: Tribunnews
Halaman 2/4
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved