Berita Viral

Polemik Gapura Gedung Sate Rp 3,9 Miliar, Pelestarian Situs Budaya Justru Cuma Rp 156 Juta

Renovasi Gapura Gedung Sate di Bandung menuai polemik. DPRD Jawa Barat menilai proyek tersebut bentuk pemborosan anggaran.

Editor: Array A Argus
Facebook Adi M Paham
JADI POLEMIK- Pembangunan Gapura Gedung Sate di Bandung, Jawa Barat kini jadi polemik. Selain anggarannya yang besar, desainnya juga jadi sorotan masyarakat. 
Ringkasan Berita:
  • Renovasi Gapura Gedung Sate berbiaya Rp 3,9 miliar menuai polemik
  • Polemik muncul soal besarnya anggaran hingga gaya arsitektur bangunan
  • Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi memastikan bahwa desain ini sudah melalui berbagai kajian
  • Dedi mengatakan renovasi ini bukanlah proyek yang dibuat-buat

 

TRIBUN-MEDAN.COM,- Renovasi Gapura Gedung Sate berbiaya Rp 3,9 miliar menuai polemik.

Gedung Sate adalah sebuah bangunan bersejarah dan simbol kota Bandung, Jawa Barat, Indonesia.

Gedung ini mulai dibangun pada tahun 1920 dan selesai pada tahun 1924 pada masa pemerintahan Hindia Belanda.

Pembangunan Gedung Sate bertujuan sebagai kantor pemerintahan Belanda, khususnya untuk Departemen Pekerjaan Umum dan Pengairan.

Baca juga: Fakta-fakta Konflik PBNU, Gus Yahya Pernah Bertemu Netanyahu, Mengaku Datang Demi Palestina

Nama Gedung Sate berasal dari ornamen tusuk sate yang unik di puncak menaranya.

Saat ini, Gedung Sate menjadi kantor Gubernur Jawa Barat.

Ketika Gapura Gedung Sate direnovasi pada November 2025, muncul beragam kritikan dari berbagai pihak termasuk DPRD Jawa Barat.

Kritikan itu diantaranya soal desain gapura yang mirip dengan desain Candi Bentar.

Baca juga: Profil Gus Yahya, Juru Bicara Gusdur yang Mulai Didesak Mundur dari Jabatan Ketua PBNU

Candi Bentar adalah jenis gapura khas dari arsitektur Jawa dan Bali yang berupa dua bangunan serupa dan simetris yang berdiri berhadapan tanpa atap penghubung di bagian atas, sehingga terlihat seperti candi yang terbelah menjadi dua secara sempurna.

Gapura ini berfungsi sebagai pintu masuk pembatas antara ruang luar dengan ruang dalam area seperti pura, istana, atau kompleks bangunan tradisional.

Selain soal desain, biaya renovasi Gapura Gedung Sate juga ikut disorot.

Dengan biaya yang begitu besar, DPRD Jawa Barat justru membandingkannya dengan perbaikan fasilitas publik, hingga perawatan cagar budaya Sunda yang nilainya tidak sebesar itu.

Baca juga: Harga Emas Antam Logam Mulia 24 November 2025 Jeblok di Awal Pekan

Gaji Pegawai Dipotong, Tapi Proyek Gapura Telan Anggaran Fantastis

Anggota DPRD Jawa Barat, Maulana Yusuf Erwinsyah membeberkan pemandangan kontras terkait proyek Gapura Gedung Sate.

Ia mengatakan, anggaran gapura gedung sate yang bernilai Rp3,9 miliar memang disepakati dalam APBD Perubahan 2025.

Namun, Maulana mempertanyakan konsistensi pemerintah daerah.

Menurutnya, anggaran belanja mengalami banyak pemotongan, termasuk gaji pegawai.

Baca juga: Sosok Peter Berkowitz yang Membuat Gus Yahya Nyaris Dicopot, Aksi Teriakan Zionis di UI Jadi Pemicu

Di sisi lain, pemerintah daerah justru menghabiskan anggaran dengan nilai fantastis untuk pembangunan gapura.

"Tapi satu sisi, kita bisa lihat bahwa anggaran membangun gapura Gedung Sate itu menghabiskan Rp3,9 miliar," kata dia, dikutip dari Tribun Jabar.

Dikatakannya, anggaran tahun 2026 yang disebutnya muncul lebih cepat. Banyak usulan proyek yang dianggap tidak sesuai aspirasi masyarakat, termasuk rencana pembangunan gerbang batas provinsi maupun kota/kabupaten dengan gaya arsitektur Sunda.

Ia mencontohkan, anggaran lebih dari Rp10 miliar diproyeksikan pembangunan gerbang batas provinsi maupun batas kota/kabupaten didesain bergaya Sunda.

Baca juga: Fakta Seputar Polemik Lift Kaca Pantai Kelingking Senilai Rp 60 M yang Bakal Dibongkar Gubernur Bali

“Bahkan dicita-citakan oleh pak gubernur hingga gerbang tol, kita menolak," imbuhnya.

Yusuf pun membandingkan alokasi tersebut dengan anggaran pelestarian lebih dari 50 situs kebudayaan asli Sunda di Jawa Barat, yang pada 2026 hanya mendapat Rp156 juta.

"Saya pikir mengurus situs cagar budaya peninggalan orang Sunda zaman dahulu lebih wajib ketimbang membuat bangunan-bangunan baru, sekalipun niatnya memperlihatkan simbol-simbol Sunda," tutur Yusuf.

Lebih lanjut, dia mempertanyakan dasar pemilihan Candi Bentar sebagai desain gapura.

Baca juga: SOSOK Irene Sokoy, Ibu Hamil di Papua Meninggal Bersama Bayi di Kandungan Akibat Ditolak 4 RS

Menurutnya, bentuk gapura tidak memiliki keterkaitan dengan identitas budaya Sunda yang seharusnya menjadi acuan.

"Saya hanya bertanya bahwa Candi Bentar itu kalau kita telusuri sama sekali nggak ada sangkut pautnya dengan kasundaan," kata Yusuf.

Baik, berikut versi penulisan ulang yang lebih mengalir namun tetap mempertahankan makna asli:

Yusuf menambahkan,  bahwa pembangunan gapura tidaklah mendesak, selain persoalan desain yang dipersoalkan.

Dia mencontohkan, kondisi jalan provinsi yang menghubungkan Cisarua–Padalarang menuju Lembang, Kabupaten Bandung Barat, semakin memprihatinkan.

Baca juga: Hasan Nasbi Bela Jokowi Kasus Ijazah, Pidanakan Roy Suryo cs Demi Jaga Nama Baik: Yakin Bisa Menang

Selain itu, jalan tersebut dipenuhi lubang dan minim penerangan, sehingga menimbulkan risiko besar bagi para pengguna, khususnya pada malam hari.

Jawa Barat, kata dia, masih memiliki urgensi di sektor sosial maupun infrastruktur yang seharusnya lebih diprioritaskan dibandingkan proyek gapura Gedung Sate. 

Komentar Dedi Mulyadi

Dedi Mulyadi kini buka suara usai gapura Gedung Sate jadi kontroversi.

Dalam video yang diunggah di kanal YouTube miliknya, Dedi Mulyadi atau KDM terlihat berbincang dengan Sigit, arsitek ITB sambil meninjau pembangunan gerbang dan gapura yang tengah ramai diperbincangkan publik.

Dedi Mulyadi menjelaskan bahwa banyak warganet mengira desain gapura dan pagar tersebut merupakan ide pribadinya.

Padahal, sebelum dibangun, arsitek terlebih dahulu melakukan riset dan merancang desainnya melalui proses Detail Engineering Design (DED).

"Jadi ini (Gapura Gedung Sate) yang gambar bukan saya. Kalau di Lembur Pakuan yang gambar saya. Kalau di lembur Pakuan itu karena itu pribadi, cuek saya, karena tidak perlu lelang. Kalau di sini harus karena harus ada namanya DED." kata Dedi Mulyadi yang meninjau Gedung Sate, Sabtu (22/11/2025) dikutip dari Grid.id.

Renovasi gerbang dengan anggaran sekitar Rp 3,9 miliar itu, kata Dedi, bersumber dari efisiensi berbagai pos anggaran, termasuk biaya perjalanan dinas dan pengadaan seragam gubernur.

Pada kesempatan yang sama, Sigit membenarkan penjelasan tersebut dan menambahkan bahwa tidak banyak yang mengetahui Gedung Sate dibangun dengan perpaduan berbagai kebudayaan.

Menurutnya, Pemerintah Kolonial Belanda pada masa itu menggabungkan unsur arsitektur Eropa dengan budaya Nusantara, termasuk Sunda.

Namun, mayoritas masyarakat hanya melihat Gedung Sate sebagai bangunan bergaya Eropa.

Sigit mencontohkan penggunaan gaya candi yang tampak pada dinding bawah, pintu gerbang utama, hingga ornamen berbentuk candi di bagian depan Gedung Sate tepat di atas gerbang.

Semua elemen tersebut sudah ada sejak awal pembangunan lebih dari satu abad lalu.

Gaya arsitektur candi pada jendela itulah yang kemudian menjadi inspirasi pembuatan gerbang baru Gedung Sate.

Menurut Sigit, tidak perlu mencari referensi jauh-jauh karena unsur tersebut sudah melekat pada bangunan induknya.

"Jadi Gedung Sate ini banyak unsur-unsur arsitektur Eropa, tapi juga banyak arsitektur lokalnya, Seperti mungkin kita lihat di pintu masuk itu dengan model-model candi seperti itu.

Bahkan di tengah-tengahnya itu (jendela), ada relief seperti candi begitu.

Nah, kemudian itu menjadi salah satu referensi lah ya, bahwa bagaimana kita membentuk suasana kompleks Gedung Sate," kata Sigit.

Sigit pun menegaskan bahwa gapura itu bukanlah Candi Bentar khas Majapahit atau Demak, karena bentuknya tidak terbelah dua. Gapura Gedung Sate dibuat menyatu, meniru bentuk jendela tengah bangunan itu sendiri.

Dedi Mulyadi memahami bahwa pembangunan gerbang ini bukan sesuatu yang dibuat-buat.

Justru elemen-elemen Gedung Sate dibawa ke bagian paling luar kawasan bangunan tersebut.

"Sesuatu yang bernilai tinggi kemudian berasal dari nilai-nilai kebudayaan kita, pasti ribut," kata Dedi Mulyadi mengkritik kebiasaan sebagian warganet yang tampak alergi terhadap budaya sendiri.

Gapura ini dibangun menggunakan bata produksi Madura karena membutuhkan bentuk khusus.

Tanpa semen, bangunan ini tetap kokoh karena menggunakan teknik pengunci seperti pada pembangunan Candi Jiwa di Indramayu dan Candi Cangkuang di Garut.

Sigit menambahkan bahwa nantinya gapura tersebut akan dicat putih agar serasi dengan bangunan utama Gedung Sate.

Tidak menutup kemungkinan pembangunan gerbang serupa di Jawa Barat kelak akan menggunakan tanah dari Plered Purwakarta atau Jatiwangi Majalengka, tentu setelah melalui penelitian dan uji teknis yang memadai.(tribun-medan.com)

Baca berita TRIBUN MEDAN lainnya di Google News

Ikuti juga informasi lainnya di FacebookInstagram dan Twitter dan WA Channel

Berita viral lainnya di Tribun Medan 

Sumber: Tribun Jabar
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved