Inspiratif
Anak Ajaib Asal Surabaya, Lulus SMA 13 Tahun, Umur 14 Tahun TOEFL 670, Kuasai 6 Bahasa Asing
Saat usianya 11 tahun, ia telah hafal di luar kepala kamus Indonesia-Inggris yang tebalnya 650 halaman.
Dia tidak hanya hafal Pancasila. Tp merasuk sekali dlm jiwanya. Saking merasuknya, sampai dia selalu mempersoalkan ini: Mengapa yg tertulis & diajarkan di Pancasila tidak sesuai dgn kenyataan? Dlm kehidupan sehari² di masyarakat. Spt yg dia lihat. Dan yg dia alami sendiri. Sbg pribadi, sbg anak, bahkan sbg anak keluarga Tionghoa.
Dia ngotot ingin selalu ke tempat pemulung, ingin tau arti kehidupan. Tentu ibunya melarang, bahkan memarahinya. Semua ibu mgkn akan spt itu.
Lain waktu, Audrey bikin kejutan lagi. Cita²nya ingin jadi tentara. Agar bisa jadi pejuang. Seperti pahlawan. Yg fotonya dipajang di dinding kelasnya. Heroik. Spt kisah pahlawan dari guru²nya.
Ibunya tentu marah lagi.
Waktu ibunya menikah dulu, bukan anak spt itu yg dia impikan. Begitu lama sang ibu mendambakan segera punya anak. Tidak kunjung hamil. Tiga tahun. Empat tahun. Lima tahun. Lama sekali menanti. Setelah itu barulah hamil.
Begitu besar harapan pada anak itu. Apalagi, Audrey tidak kunjung punya adik. Audrey menjadi satu²nya anaknya. Terlalu bnyk keinginan sang ibu pd masa dpn Audrey kecilnya. Sang ibu mampu utk menyiapkan apa saja. Dia insinyur kimia. Suaminya insinyur mesin. Kedudukan suaminya sangat tinggi di sebuah perusahaan raksasa. Di luar itu msh punya usaha. Bahkan bbrp. Pokoknya, dia ckp kaya. Kurang apa.
Harapan pd anaknya tentu spt umumnya harapan org tua. Apalagi anak tunggal. Yg utk menanti kehadirannya begitu lama. Anaknya hrs pandai, cantik, dan kelak bisa jadi org sukses. Terkemuka. Kaya. Lebih sukses dari org tuanya. Kemudian bisa mendapat suami yg setara.
Tp ternyata anaknya telah membuatnya repot. Malu. Marah. Teman² sang ibu menyarankan agar membawa Audrey ke dokter jiwa. Begitu bnyk yg menyarankan langkah itu. Begitu sering diucapkan. Secara nyata maupun isyarat. Kadang ia dgr sendiri saran ke dokter jiwa itu.
Ada yg mengucapkannya terang²an. Di dpn si anak. Mgkn mengira toh anak ini tidak akan paham apa yg diucapkan org dewasa. Ternyata Audrey lebih dari sekadar paham. Baru mendengar saran itu saja, Audrey sudah kian merasa disakiti hatinya. Apalagi stlh benar² dibawa ke dokter jiwa.
Dasar anak cerdas, dia tau apa yg hrs diperbuat di dokter jiwa. Jawaban apa yg hrs diberikan. Bahkan, dia bisa menilai dokternya. Berkualitas atau tidak. Krn tidak ''sembuh'', Audrey dibawa ke dokter yg lain lagi. Yg berikutnya lagi. Bahkan, Audrey pun bisa membandingkan. Mana dokter yg kurang paham dan mana yg lebih kurang paham. Ketika ada dokter jiwa yg kemudian memberinya obat, Audrey pun kian merasa betapa sulit org lain memahami dirinya. Bahkan dokter jiwa sekalipun.
Ketika kelas tiga SD, Audrey bikin kejutan lagi. Gak mau sklh. Terlalu mudah. Org tuanya mencarikan jalan keluar. Pindah sklh. Memang dia bisa menjawab pertanyaan² utk kelas enam sekalipun. Audrey akhirnya bisa mendapat percepatan. Umur 12 thn sudah kelas tiga SMA. Kesulitan muncul. Tidak ada universitas yg bisa menerima mahasiswa baru yg umurnya baru 13 thn.
Dicarilah berbagai informasi. Di dlm negeri. Di luar negeri. Ketemu. Di Amerika Serikat. Di Negara Bagian Virginia. Di Kota Williamburg. Termasuk kota pertama dlm sejarah AS yg didarati bangsa Eropa.
Audrey tentu hrs dites. Lulus. Dlm tes bhs Inggris, tidak ada masalah. Bahkan, Audrey bisa bahasa Prancis. Rusia. Di William and Marry University ini, Audrey ambil mata kuliah yg wow: fisika murni. Dia pun lulus S-1 fisika murni hanya dlm waktu dua thn. Dgn tingkat kelulusan summa cum laude pula.
Org tuanya tentu gembira. Tp sekaligus sedih. Marah. Sulit. Audrey tetap ingin masuk tentara. Jadi pejuang negara. Seperti pahlawan yg dikenalnya di foto² di dinding taman kanak-kanaknya.
Nasihat org tuanya tidak pernah dia terima. Misalnya, nasihat utk menyadari bhw dirinya itu keluarga Tionghoa. Minoritas. Blm tentu bisa diterima baik oleh lingkungan yg luas. Kok mau masuk tentara. Jadi pejuang bangsa.