Adat Batak
Eksistensi Orang Batak di Toba, Mombang Boru Sipitu Sundut Jadi Pengingat Sejarah Masyarakat Adat
Masyarakat adat batak di Toba mengadakan upacara Mombang Boru Sipitu Sundut, yang merupakan bagian dari warisan budaya leluhur
Penulis: Alija Magribi | Editor: Array A Argus
TRIBUN-MEDAN.COM, SIANTAR--Masyarakat dari Lembaga Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas (Lamtoras) menyelenggarakan acara tradisi dan ritual bernama Mombang Boru Sipitu Sundut di dekat gerbang masuk-keluar Desa/Nagori Sihaporas.
Tradisi adat Mombang Boru Sipitu Sundut ini merupakan ritual atau doa kepada Debata Mulajadi Nabolon, Tuhan Yang Maha Esa untuk memohon kesehatan, sekaligus doa meminta keberhasilan bagi para pekerja atau pegawai, semakin larisnya barang jualan pedagang, serta kesuburan pertanian dan peternakan para petani.
"Kita berdoa terutama agar terhindar dari tertularnya sakit-penyakit virus Corona yang sedang terjadi di seluruh dunia,” ujar tetua adat Lamtoras Sihaporas yang memimpin acara dan merangkap Wakil Ketua Umum Lamtoras, Mangitua Ompu Morris Ambarita (65).
Baca juga: BREAKING NEWS Hari Ini Guru SD di Toba yang Tewas Dibantai Dimakamkan Secara Adat
Mombang Mombang Boru Sipitu Sundut ini adalah satu dari tujuh tradisi adat batak yang diwariskan Ompung Mamongtang Laut Ambarita di Sihaporas. Tradisi ini mirip dengan Manganjab.
"Bedanya, Mombang Boru Sipitu Sundut dilaksnaakan di harbangan (gerbang) masuk ke kampung, Adapun Manganjab diadakan di ladang,” kata Mangitua, yang menjabat vorhanger gereja Stasi Santo Yohanes Pembaptis saat dikriminalisasi PT TPL pada 6 September 2004, dan vonis kurungan/penjara dua tahun.
Warisan budaya ini memperlihatkan dua ibu tua, duduk di hadapan tetua adat.
Keduanya, menurut Mangitua, menjadi media hasoropan, kesurupan atau trance, mirip kerauhan dalam budaya adat Bali.
Baca juga: Rondang, Popcorn Batak Sebagai Oleh-oleh Wajib dari Pesta Adat Sejak Zaman Kolonial Belanda
Mereka adalah Nai Noveana br Ambarita (72) medium untuk Raja Sisimangaraja, dan Ompu Rosna Br Bakkara raga hasoropan Ompu Mamontang Laut Ambarita.
Tampak di lokasi acara, Ketua Umum Lamtoras Judin Ambarita (Ompu Sampe Ambarita), kakek 76 tahun.
Juga hadir Tenaga Ahli Kementeri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi untuk Wilayah Kabupaten Simalungun Royani br Harahap dan Kapolsek Sidamanik AKP Ely Nababan bersama tim dan pegiat adat dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).
Kemudian ada pula puluhan aktivis mahasiswa dari Kelompok Cipayung antara lain perwakilan GMKI, GMNI, dan PMII menghadiri acara tradisi adat batak yang diselenggarakan Lamtoras di Dusun Lumban Ambarita Sihaporas, Desa/Nagori Sihaporas, Kecamatan Pamatang Sidamanik, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara.
Baca juga: Desa Batu Moror, Kampung Asli Masyarakat Batak, Ada Kumpulan Rumah Adat
“Kita patur dukung dan lestarikan acara Mombang Boru Sipitu Sundut, tradisi adat yang dilaksanakan Lamtoras. Ini adalah kearifan lokal masyarakat, doa kepada Allah SWT, Tuhan yang Mahakuasa,” ujar Royani br Harahap.
Potong Hewan dan Menumbuk Beras
Tradisi Mombang Boru Sipitu Sundut tampak dipersiapkan warga sejak pagi.
Mereka antara lain menumbuk beras untuk menghasilkan tepung, selanjutnya diolah menjadi itak, berbahas beras campur kelapa dan gula.
Tampak juga ‘parhobas’ atau petugas memotong seekor kambing bulu warna putih, ayam jantan beberapa ekor seperti bulu putih, mirah/meras dan jaumbosi (warna-warni/lurik).
Dedaunan dari alam seperti daun sirih, daun pisang, bebungaan, bambu, jeruk purut, tebu serta buah-buahan.
Lalu janur enau atau aren, diikatkan di pagar, seputar lokasi di tepi jalan ketibaan di kampung.
Baca juga: KETUA Aman Tano Batak Roganda Angkat Bicara soal Banjir Parapat, Singgung Tanaman Eucalyptus
Wadah anyaman bambu berhias janur dan dedanunan sirih yang digunakan warga sebagai perlengkapan doa, disematkan pada pilinan ijuk.
Wadah itulah yang dinamai mombang, kemudian dikerek ke ujung bambu, setinggi kurang lebih 5 meter.
“Kita panjatkan doa-doa kita kepada Debata Mulajadi Nabolon, Tuhan Yang Maha Kuasa, semoga kira sehat-sehat dan panjang umur. Jauh sial dan sakit penyakit, berhasil segala pertanian dan urusan. Horas… Horas… Horas…” ujar Mangitua Ambarita.
Masyarakat Sihaporas rutin menjalankan 7 tradisi Batak warisan Ompu Mamontang Laut Ambarita.
Pertama, Patarias Debata Mulajadi Nabolon, yaitu tradisi berupa pesta adat untuk memuliakan dan menyampaikan puji-pujian Debata Mulajadi Nabolon, Tuhan Yang Maha Esa.
Baca juga: Goa Pinapan, Lorong Waktu Manusia Batak Masa Lalu, Dipercaya Menyempurnakan Ilmu Kebathinan
Ritual ditandai menyampaikan persembahan sesembelih hewan kambing, dekke ihan atau ihan Batak (Latin: Neolissochilus thienemanni), ayam kampung, serta rudang (bebungaan dan tumbuhan), yang diiringi musik tradisional berupa gondang Batak. Acara berlangsung tiga hari dua malam, diselenggarakan empat tahun sekali.
Kedua - Raga-Raga Na Bolak Parsilaonan, yaitu doa permohonan dan persembahan kepada Debata Mulajadi Nabolon melalui leluhur, yakni Ompu Mamontang Laut Ambarita. Ritual ditandai menyampaikan persembahan yang diiringi musik tradisional berupa gondang Batak.
Acara berlangsung dua hari satu malam, diselenggarakan empat tahun sekali. Pesta adat Patarias Debata Mulajadi Nabolon diselenggarakan berselang-seling dua tahun dengan Raga-raga Na Bolak Parsilaonan.
Ketiga - Mombang Boru Sipitu Suddut, yaitu doa permohonan kepada Debata Mulajadi Nabolon melalui leluhur, yakni Raja Uti alias Raja Nasumurung dan Raja Sisimangaraja.
Ada persamaan atau kemirian tradisi Mombang Boru Parorot dengan Manganjab.
Baca juga: Marthin Frans Sianipar, Pebalap yang Juga Pengarang Lagu Batak, Pecinta Koleksi Benda Klasik
Perbedannya, Mombang Boru Parorot diselenggarakan di baba harbanganni huta (di dekat gapura desa/kampung), sedangkan Manganjad dilaksanakan diladang/perhumaan. Ritual berlangsung satu hari, dan tanpa gondang.
Keempat - Manganjab, adalah doa memohon kesuburan tanah dan keberhasilan pertanian, sekaligus tolak bala dari hama dan penyakit tanaman.
Diselenggarakan di ladang/perhumaan setiap tahun, dulu, lazim saat boltok eme (padi bunting).
Ritual berlangsung satu hari, dan tanpa gondang.
Setelah manganjab, lanjut tradisi robujuma atau panjang bekerja ke ladang selama 3 hari, lanjut robu harangan (larangan bepergian ke hutan) selama 3 hari.
Kemudian, hari ke-7 diselenggarakan manangsang robu, yaitu membatalkan atau mengakhiri masa pantang, dengan mengadakan ritual doa di hutan.
Kelima - Ulaon Habonaran, doa kepada Debata Mulajadi Nabolon melalui Habonaran Ni Huta dan sampai pada Raja Sisimangaraja.
Keenam, Pangulu Balang Parorot ialah doa kepada Debata Mulajadi Nabolon, melalui penjaga kampung dan sahala hadatuaon.
Dan ketujuh - Manjuluk suatu ritual doa kepada Debata Mulajadi Nabolon memohon perlindungan ata keberhasilan tanaman, melalui ritual di gubuk atau ladang. Diselenggarakan sesaat sebelum memulai bercocok tanam.
Tujuh ragam tradisi Batak Toba ini dilakukan Martua Boni Raja atau Ompu Mamontang Laut Ambarita sejak awal tahun 1800-an.
Hingga saat ini, keturununannya, generasi ke-8 hingga 11 yang turun-temurun mendiami Desa/Nagori Sihaporas, Kecamatan Pamartang Sidamanik, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, tetap melanjutkan tradisi Ompu Mamontang Laut Ambarita.
Tentang Sihaporas
Desa/nagori Sihaporas, terletak di kawasan Danau Toba, berjarak kurang lebih 7 kilometer dari tepi danau, garis lurus dari Dolokmauli, dekat Sipolha.
Sihaporas berjarak sekitar 6 kilometer dari Jalan Raya Lintas Sumatera, tepatnya dari Simpang Aek Nauli - Sihaporas, sekitar 9 kilometer sebelum Kota Parapat dari arah Pematang Siantar.
Dahulu, desa Sihaporas masuk Kecamatan Siantar. Kemudian tahun 1980-an pindah wilayah administrasi Kecamatan Sidamanik. Lalu setelah reformasi, terjadi pemekaran menjadi desa sendiri, Nagori/Desa Sihaporas dan masuk Kecamatan Pamatang Sidamanik.
Baca juga: Yuni Shara Trending di Twitter, Pakai Ulos Batak Dikira Pakaian Terbuka, Banjir Hujatan dan Dukungan
Nagori Sihaporas terdapat 5 kampung, yakni Lumban Ambarita Sihaporas, Sihaporas Bayu, Sihaporas Bolon dan Sihaporas Aek Batu serta Gunung Pariama.
Penduduk empat kampung yang terdapat nama Sihaporas umumnya adalah keturunan Martua Boni Raja Ambarita atau Ompu Mamontang Laut Ambarita yang menyeberangi Danau Toba, sekitar tahun 1800-an. Keturunannya kini sudah 11 generasi berada di Sihaporas. Mereka melestarikan adat Batak Toba.
Tanah adat Sihaporas dijajah Belanda, awal tahun 1913 untuk ditanami pinus. Penjajah mencaplok tanah dari keturunan generasi kelima Ompu Mamontang Laut, antara lain Ompu Lemok Ambarita, dan Ompu Ni Handur Ambarita.
Kemudian pada tahun 1916, penjajah Belanda menerbitkan peta enclave Sihaporas, dimana terpampang tiga nama areal yakni Sihaporas, Sihaporas Bolon dan Sihaporas Negeri Dolok.
Baca juga: Makna Singkap Rere dalam Budaya Batak Toba
Pada 9 Agustus 2019, Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) telah mendata, memverifikasi dan memberi sertifikat huta Sihaporas seluas 2.050 hektare.
Kontur tanahnya yang berada di jajaran pegunungan bukit barisan, cocok ditanami palawija seperti jagung, cabai, tomat, jahe, sayur mayur, hingga tanaman keras seperti enau, kopi, tuak, pinus, durian dan lainnya.
Selama masa Perjuangan Kemerdekaan Indonesia, Perlawanan terhadap penjajah turut juga melibatkan masyarakat Sihaporas.
Terdapat enam warga yang meraih piagam dan tanda jasa pejuang sebagai Legiun Veteran RI, antara lain, Jahya Ambarita, Firman Ambarita, Ranto Ambarita, Gabuk Ambarita, Victoria Br Bakkara.
Jahya Ambarita, yang juga pengulu/kepala desa Sihaporas tahun 1947-1952, mendapat piagam Legiun Veteran Republik Indonesia sesuai dengan Petikan Surat Keputusan Nomor: Skep 299/III/1990 tentang Pengakuan, Pengesahan dan Penganugerahan Gelar Kehormatan Veteran Pejuang Kemerdekaan Republik Indonesia sesuai Pasal 1 Ayat 1 UU Nomor 7 Tahun 1967.
Kemudian pada 30 Maret 1990, Pemerintah Indonesia melalui Menteri Pertahanan LB Mordani mengeluarkan Skep nomor pokok veteran (NPV) 2.043.074 kepada Jahya Ambarita. (alj/tribun-medan.com)