Perpres No 60 dan Urgensi Sosial Ekonomi di Danau Toba
Perpres tersebut juga mengatur pembentukan tim penyelamatan danau prioritas nasional
Selanjutnya, persoalan tenaga kerja. Sudah menjadi pemahaman publik bahwa usaha perikanan KJA di Danau Toba adalah sektor usaha padat karya. Lebih dari 14.000 tenaga kerja lokal terlibat di dalamnya.
Artinya, hingga hari ini, 14.000 tenaga kerja di seputar Toba dan Samosir menggantungkan kehidupan mereka beserta keluarganya pada sektor ini.
Sementara, peralihan yang diharapkan akan diwujudkan pemerintah ke sektor pariwisata, tidak bisa serta merta menggantikan pekerjaan yang hilang, karena transformasi itu jelas membutuhkan waktu yang sangat lama dan proses yang tidak sederhana.
Pemerintah perlu menjamin lonjakan tajam jumlah pengunjung wisata di Toba, memastikan amenitas dan segala macam infrastrukturnya tersedia, dan juga memastikan terjadinya peralihan skill masyarakat setempat, terutama yang selama ini telah menggantungkan hidup mereka pada sektor usaha KJA, ke skill sektor pariwisata.
Jika pun program wisata itu dilaksanakan, boleh jadi hanya sebagian kecil saja dari orang lokal yang akan mampu beradaptasi, karena sektor pariwisata membutuhkan skill dasar dan softskill yang harus dimulai dari umur yang cukup muda.
Dengan kata lain, kehilangan pekerjaaan secara dadakan bagi 14000 tenaga kerja lokal KJA akan menjadi bencana bagi daerah dan masyarakat daerah di Toba dan Samosir.
Jika itu yang justru terjadi, maka intensi dan niat baik di balik Perpres No 60 telah jauh melenceng dari semangat perundang-undangan yang ada, yang semestinya menempatkan kepentingan umum di atas kepentingan sektoral.
Memprioritaskan pariwisata dan lingkungan adalah kebijakan yang masuk akal dan beriringan dengan semangat zaman. Tapi menjaga daya tahan ekonomi dan penghidupan masyarakat yang terkait dengan KJA secara fundamental sesungguhnya jauh lebih utama.
Belajar dari banyak tempat, lingkungan akan sulit untuk dijaga jika kehidupan ekonomi masyarakat berantakan.
Justru kondisi lingkungan akan sangat berpeluang menjadi semakin buruk ketika berhadapan dengan kondisi ekonomi masyarakat yang juga buruk, dimana masyarakat akan melakukan apa saja untuk bertahan hidup, termasuk dengan jalan merusak lingkungan, seperti melakukan ekploitasi berlebihan hutan, ikan, galian C, dan lainnya.
Bahkan kondisi ekonomi yang buruk juga menjadi salah satu sumber masalah sampah dan patologi sosial diantaranya kriminalitas, miras, prostitusi dan narkoba. Nyaris sulit mengharapkan adanya tatanan sosial ekonomi yang stabil jika kondisi ekonomi masyarakat buruk.
Jadi, perintah Perpres No 60 yang mengharuskan pengusaha besar KJA di Danau Toba untuk mendadak mengerem produksi lebih dari setengah, tentu akan menjadi pukulan telak bagi perekonomian daerah dan tenaga kerja daerah.
Untuk itu, pemerintah benar-benar harus mengkaji ulang secara teliti dan komprehensif persoalan yang ada di lapangan dan solusi yang tepat untuk menanganinya, agar memaksa penerapan Perpres itu tidak berbalik arah yang justru menimbulkan persoalan baru secara lokal, regional bahkan nasional.
Dan terakhir soal komoditas ekspor andalan, baik daerah maupun nasional. Sebagian besar hasil ikan Tilapia dari Danau Toba menjadi komoditas ekspor Indonesia ke Amerika dan Eropa. Boleh jadi jumlahnya secara nominal jauh dibanding komoditas pertanian-perkebunan (CPO), tapi ekspor ikan Tilapia adalah salah satu pahlawan devisa negara yang saat ini justru sangat dibutuhkan untuk memperkuat daya tahan ekonomi nasional.
Tak diragukan lagi, gonjang ganjing mata uang dalam negeri sangat terkait dengan dinamika devisa negara. Semakin banyak devisa negara yang kembali ke luar negeri, baik untuk impor maupun untuk membayar cicilan utang, maka akan semakin menekan mata uang nasional.
