Afghanistan Semakin Kacau, ISIS Sudah di Kabul, Mujahidin Bangkit Melawan Taliban: 60 Orang Tewas
AS telah memperingatkan warganya untuk menghindari bandara Kabul. Alasannya ada kekhawatiran tentang potensi serangan oleh cabang ISIS
Pasukan Elite Afghanistan
Para pejuang mujahidin di Afghanistan mulai bertindak
Pejuang mujahidin merupakan istilah bagi umat Muslim yang turut dalam suatu peperangan atau terlibat dalam suatu pergolakan. Dan kehadiran mereka di Afghanistan tidak main-main.
Dilansir dari kompas.com menurut laporan pada Jumat (20/8/2021), bahkan pejuang mujahidin di Afghanistan berhasil merebut kembali tiga daerah di provinsi Baghlan negara itu dari Taliban.
Para pejuang mujahidin juga dibantu penduduk setempat. Sehingga distrik Banu, Pol-e-Hesar dan De Salah di provinsi Baghlan berhasil dikuasai kembali oleh pasukan anti-Taliban.
Dalam pertempuran itu, dilaporkan sekitar 60 militan Taliban tewas atau terluka dalam pertempuran.
Tentu saja itu merupakan kabar baik bagi warga Afghanistan mengingat Taliban sudah bergerak cepat di seluruh negeri. Ini terjadi menjelang batas waktu 31 Agustus penarikan pasukan AS dari Afghanistan.
Kondisi Afghanistan makin kacau balau ketika Taliban sukses memasuki Kabul, ibukota Afghanistan. Hal ini pun membuat warga ketakutan setengah mati dan memilih kabur dari negara itu. Akibatnya warga berbondong-bondong menenuhi bandara Kabul untuk naik pesawat. Padahal mereka tidak punya tiket atau visa ke luar negeri.
Kekacauan di bandara Kabul bertambah mengerikan ketika puluhan orang rela memanjat bagian luar pesawat militer Amerika Serikat (AS). Kejadian mengerikan itu terekam media dan menyebar dengan cepat di sosial media.
Akibatnya sudah jelas. Mereka tak akan sanggup bertahan di atas dan membuat 3 orang jatuh dari pesawat militer AS dari langit.
Di darat, hampir seminggu ketika Afghanistan dikuasai Taliban, pasukan lokal di lapangan tampaknya tidak berdiam diri dan terus melakukan perlawanan terhadap Taliban. Bahkan walau tanpa bantuan pasukan AS sekalipun.
Di media sosial tersebar foto dan video tentang bentrokan nyata antara Taliban dan perlawanan lokal pada Jumat (20/8/2021).
Sebuah akun Twitter yang dinamai Provinsi Panjshir di negara itu—yang merupakan sarang perlawanan terhadap Taliban, melaporkan beberapa hal tentang peristiwa di provinsi tetangga Baghlan pada Jumat (20/8/2021) dalam bahasa Persia dan Inggris.
"Distrik Pul-e-Hesar diambil kembali dari #Taliban dan pertempuran berkecamuk di distrik Deh-e-Salah dan Banu," akun tersebut diunggah pada 8.40 pagi waktu setempat.
"Sumber-sumber lokal mengatakan Taliban telah diserang dari beberapa daerah dan menderita banyak korban," kata mereka.
Tajuden Soroush, koresponden senior untuk Iran International, sebuah stasiun TV Persia yang berbasis di London, Inggris, juga berkicau tentang peristiwa di provinsi Baghlan pada Jumat (20/8/2021).
Dia mengutip mantan pejabat pemerintah Afghanistan. "Seorang mantan pejabat pemerintah Afghanistan memberitahu saya bahwa pasukan perlawanan lokal di provinsi Baghlan telah merebut kembali distrik Banu dan Pol-e-Hesar dari Taliban."
"Mereka maju menuju distrik Deh Salah. Sekitar 60 pejuang Taliban tewas atau terluka," menurut Soroush kicauannya pada Jumat (20/8/2021) pukul 08.53 waktu setempat .
Dia kemudian menambahkan: "Distrik De Salah juga jatuh ke tangan pasukan perlawanan lokal."
Perjuangan pejuang mujahidin masih panjang karena Taliban telah merebut ibu kota dan kota terbesar di provinsi Baghlan, Pul-e-Khumri. Perebutan itu sebagai bagian dari pengambilalihan cepat wilayah di seluruh negeri.

Taliban tembak mati Kepala Polisi Provinsi Badghis Jenderal Haji Mullah Achakzai (mirror)
Taliban Tembak Mati Jenderal Polisi dan Wanita Tak Pakai Burka
Di tengah perlawanan Mujahidin dan Pasukan Khusus Afghanistan, Taliban telah membentuk pemerintahan baru dan terus menyisir lawan-lawan yang selama ini berperang dengan mereka.
Janji Juru Bicara Taliban, Zabihullah Mujahid, yang tidak akan melakukan kekerasan terhadap perempuan dan musuh mereka tampaknya tidak ditepati. Buktinya? Taliban mengeksekusi mati kepala polisi Afghanistan.
Kepala Polisi Provinsi Badghis Jenderal Haji Mullah Achakzai ditembak mati oleh Taliban dalam eksekusi yang mengerikan. Jenderal Haji Mullah Achakzai dianggap sebagai lawan Taliban selama ini.
Jenderal Achakzai ditangkap Taliban setelah mereka mengambil alih Afghanistan. Eksekusi Jenderal Achakzai dilakukan hanya beberapa hari setelah Taliban berjanji tak akan ada aksi balasan terhadap mantan musuh mereka.
Eksekusi mati itu pun viral di media sosial Twitter, di mana sang jenderal terlihat dalam keadaan diikat tangannya dan matanya ditutupi, sambil berlutut. Ia pun kemudian dieksekusi mati dengan berondongan peluru.
Jenderal Achakzai yang berusia 60 tahun, dikenal sebagai salah satu musuh Taliban karena selalu berperang melawan mereka selama lebih dari satu dekade.
Penasihat keamanan dan teman Jenderal Achakzai, Nasser Waziri, mengatakan, Taliban membagikan gambar tersebut melalui jaringannya. Ia mengungkapkan bahwa Jenderal Achakzai terpaksa menyerah terhadap Taliban.
“Ketika itu ia dikepung oleh Taliban dan tak memiliki pilihan lain kecuali menyerah,” tuturnya dikutip dari Mirror.
“Taliban menargetkan Achakzai karena ia merupakan pejabat tinggi intelijen,” tambah Waziri.
Apa yang dilakukan Taliban ini seperti menelan ludahnya sendiri, mengingat mereka berjanji tak akan melakukan kekerasan terhadap perempuan atau mendendam terhadap musuhnya.
“Kami tak menginginkan adanya musuh secara internal atau eksternal,” tutur Juru Bicara Taliban, Zabihullah Mujahid. Namun, menurut laporan, Gubernur dan Kepala Polisi di Provinsi Laghman di dekat Jalalabad, juga telah ditahan oleh Taliban. Nasib mereka pun kabarnya akan ditentukan oleh pemimpin kelompok tersebut.
Tangkap Gubernur Perempuan
Sebelumnya, Taliban menangkap Salima Mazari, salah satu dari sedikit gubernur perempuan Afghanistan.
The Times of India mengatakan laporan itu tidak menunjukkan di mana Mazari berada atau kapan pasukan Taliban menangkapnya. Sebagai gubernur distrik Charkint, dia merekrut dan melatih militan untuk melawan Taliban.
Mazari mengatakan kepada AP pada Sabtu (21/8/2021) jika "tidak akan ada tempat bagi wanita" di bawah pemerintahan Taliban.
"Di provinsi-provinsi yang dikuasai Taliban, tidak ada wanita lagi di sana, bahkan di kota-kota," katanya.
"Mereka semua dipenjara di rumah mereka,” lanjutnya.
Nadia Momand, seorang jurnalis TV di Afghanistan, mentweet pada Rabu (18/8/2021) jika Taliban dilaporkan telah menangkap Salima Mazari.
Nadia Momand pun menyerukan pembebasannya.
The Guardian melaporkan Salima Mazari (40) adalah gubernur distrik Charkint di Afghanistan utara, yang berpenduduk lebih dari 30.000 orang. Dia telah merekrut dan melatih gerilyawan untuk berperang melawan gerilyawan Taliban sejak 2019.
Salima Mazari lahir di Iran pada 1980. Keluarganya telah melarikan diri dari perang Soviet di Afghanistan, dan Mazari kembali ke negara itu beberapa dekade kemudian. Dia diangkat sebagai gubernur pada tahun 2018, menjadikannya salah satu dari sedikit wanita dalam politik Afghanistan.
Salima Mazari (40) adalah gubernur distrik Charkint di Afghanistan utara.
Jurnalis Wanita Dilarang Bekerja
Sebuah laporan dari PBB juga mengungkapkan Taliban saat ini tengah memburu siapa pun yang bekerja dengan Amerika Serikat (AS) dan NATO. Mereka mengancam akan membunuh atau menahan anggota keluarga orang yang dicarinya. Taliban sendiri dikabarkan telah membunuh seorang anggota keluarga jurnalis DW, yang menjadi target buruan mereka.
Sejumlah pembawa acara atau presenter perempuan televisi pemerintah Afghanistan pekan ini menyatakan bahwa gerilyawan Taliban melarang mereka bekerja. Para presenter perempuan itu diperintahkan oleh Taliban untuk keluar kantor.
Shabnam Dawran, seorang presenter berita Radio Televisi Afghanistan (RTA) menyatakan melalui pesan video pada Rabu (18/8/2021) bahwa ia diancam oleh milisi Taliban saat tiba di kantor untuk bekerja.
Taliban telah menduduki gedung RTA di Kabul pada Minggu (15/8/2021), menyusul jatuhnya ibu kota ke tangan kelompok pemberontak itu.
“Saya tak diperbolehkan masuk, meskipun saya membawa lencana identitas saya,” ujar Dawran menyebut upayanya untuk bekerja pekan ini.
“Karyawan lelaki diizinkan (masuk), tapi saya diancam. Mereka bilang pada saya, rezim telah berubah. Hidup kami kini di bawah ancaman serius,” imbuhnya seperti dilansir dari The Washington Post, Jumat (20/8/2021).
Kolega Dawran, Khadija Amin, seorang presenter berita terkemuka, pula menyatakan ia dicegah memasuki kantor RTA pekan ini.
“Saya pergi ke kantor tapi saya tak diizinkan masuk. Kolega yang lain lalu juga dilarang,” tutur Amin seperti dilaporkan media independen Afghanistan ToloNews.
Lebih lanjut Amin menuturkan, dirinya dan sejumlah kolega yang lain lalu berbicara dengan direktur RTA baru yang ditunjuk oleh Taliban.
“Ada perubahan pada program-progam televisi. (Dan) tidak tampak ada presenter atau jurnalis perempuan (bekerja),” terangnya.

Pasukan Taliban (AFP)
Warga Minoritas Jadi Korban
Taliban telah “membantai” dan secara keji menyiksa sejumlah warga minoritas Hazara di Afghanistan. Hal ini diungkap oleh kelompok hak asasi manusia (HAM) Amnesty International.
Melansir BBC pada Jumat (20/8/2021), sejumlah saksi telah memberikan laporan mengerikan tentang pembunuhan keji yang terjadi pada awal Juli lalu di provinsi Ghazni, Afghanistan itu.
Sejak merebut ibu kota Kabul pada Minggu (15/8/2021), Taliban berupaya menampilkan citra yang lebih moderat. Namun, menurut Amnesty International, insiden keji itu merupakan “indikator mengerikan” pemerintahan Taliban.
Komunitas Hazara merupakan kelompok etnik ketiga terbesar di Afghanistan. Mereka terutama mempraktikkan Islam Syiah, dan sejak lama menghadapi diskriminasi dan persekusi di bawah kaum Sunni Afghanistan dan Pakistan.
Dalam laporan yang diterbitkan pada Kamis (19/8/2021) itu, Amnesty International menyatakan, sembilan lelaki Hazara dibunuh antara tanggal 4 hingga 6 Juli di distrik Malistan di provinsi Ghazni di timur Afghanistan. Amnesty International mewawancarai sejumlah saksi mata dan meninjau bukti-bukti fotografis usai pembunuhan itu.
Sejumlah warga desa Mundarakht mengungkap, mereka melarikan diri ke pegunungan saat perang antara pasukan pemerintah dan gerilyawan Taliban meningkat. Saat beberapa warga kembali ke desa untuk mengambil makanan, Taliban telah menjarah rumah mereka dan menanti mereka.
Di tempat terpisah, sejumlah warga yang melintas melalui Mundarakht untuk pulang ke dusun mereka juga diserang. Sebanyak total enam orang diduga ditembak Taliban. Beberapa dari mereka ditembak di bagian kepala, dan tiga warga lainnya disiksa hingga tewas.
Menurut laporan para saksi mata, seorang warga dicekik dengan syalnya miliknya sendiri hingga tewas. Otot lengannya juga dipotong. Mayat warga lainnya bahkan ditembak hingga koyak. Seorang saksi mata mengungkap, warga kemudian bertanya pada Taliban mengapa mereka melakukan kekejian seperti itu pada mereka.
“Saat perang, semua orang mati, tak peduli kamu punya senjata atau tidak. Ini waktunya perang,” tutur seorang warga menirukan jawaban anggota Taliban.
Sekretaris Jenderal Amnesty International Agnes Callamard mengatakan, “Pembunuhan-pembunuhan keji berdarah dingin ini adalah pengingat catatan masa lalu Taliban, dan merupakan indikator mengerikan akan kemungkinan pemerintahan Taliban di masa depan.”
“Pembunuhan yang ditargetkan ini adalah bukti bahwa etnis dan agama minoritas tetap terancam di bawah pemerintahan Taliban di Afghanistan,” imbuhnya.
Laporan itu juga menyebutkan, layanan seluler telah diputus di banyak area yang dikuasai Taliban. Hingga, informasi tentang pembunuhan itu tak bocor sampai saat ini.
Amnesty International mendesak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk menyelidiki dan melindungi mereka yang terancam di Afghanistan.
Baca juga: Potret Gubernur Wanita Pertama Afghanistan Angkat Senjata sebelum Ditangkap Taliban, Kini Nasibnya?
(*/tribun-medan.com/intisari)