Minyak Goreng Langka
Hakim Tolak Tuntutan Jaksa soal Kasus Minyak Goreng Terhadap Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia
Majelis Hakim menolak sejumlah tuntutan Jaksa terhadap Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia, Master Parulian (MP) Tumanggor.
"Saya yakin semua yang saya lakukan selama periode Januari sampai Maret 2022 tidak ada yang layak untuk dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi karena saya bukan mafia," ujar Lin Che Wei dalam pleidoinya.
Lin Che Wei juga menyatakan dirinya tidak pernah memberikan rekomendasi pemberian PE untuk sejumlah perusahaan yang pimpinannya saat ini menjadi tersangka. Perusahaan itu antara lain, PT Musim Mas, PT Wilmar Nabati Indonesia, dan Permata Hijau Group.
"Terbukti bahwa mereka tidak pernah mempunyai kontrak apapun dengan saya menyangkut pengurusan persetujuan ekspor," katanya.
Dalam pembelannya, Lin Che Wwi juga membela sejumlah pimpinan perusahaan yang menjadi tersangka.
Menurutnya, perusahaan-perusahaan itu tidak memiliki jalur distribusi yang bisa menjangkau secara luas. Sebab, meskipun kapasitas produksinya besar, perusahaan-perusahaan itu berorientasi pasar ekspor, bukan lokal.
"Mereka tidak menguasai jalur distribusi dalam negeri, sehingga tidak serta merta barang tersebut tersedia di level retaile," ujarnya.
Tuntutan Jaksa Merupakan Opini
Sebelumnya, Jaksa mengatakan, dalam kasus ini, eks Dirjen Daglu Kemendag dinilai telah melakukan dugaan perbuatan melawan hukum dalam menerbitkan izin ekspor CPO atau minyak sawit mentah.
Menurut Jaksa, perbuatan itu dilakukan secara bersama-sama dengan empat terdakwa lainnya.
Akibatnya, timbul kerugian sekitar Rp 18,3 triliun. Kerugian tersebut merupakan jumlah total dari kerugian perekenomian negara sebesar Rp 6.047.645.700.000 dan kerugian ekonomi sebesar Rp 12.312053.298.925.
“Merugikan keuangan negara sejumlah Rp 6.047.645.700.000 dan merugikan perekonomian negara sejumlah Rp 12.312.053.298.925,” kata Jaksa.
Lebih lanjut, Jaksa menyebut, dari perhitungan kerugian negara sebesar Rp 6 triliun, negara menanggung beban kerugian Rp 2.952.526.912.294,45 atau Rp 2,9 triliun.
Menurut Jaksa, kerugian keuangan negara itu merupakan dampak langsung dari penyalahgunaan fasilitas persetujuan ekspor (PE) produk CPO dan turunannya atas perusahaan yang berada di bawah naungan Grup Wilmar, Grup Permata Hijau, dan Grup Musim Mas.
Jaksa penuntut umum Kejaksaan Agung (Kejagung) menuntut lima terdakwa perkara dugaan korupsi pemberian izin ekspor crude palm oil (CPO) dan turunannya, termasuk minyak goreng (migor) untuk dijatuhi hukuman 7 tahun hingga 12 tahun penjara.
Tim Asistensi Menteri Koordinator bidang Perekonomian, Weibinanto Halimdjati alias Lin Che Wei dituntut dengan hukuman 8 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan.
Jaksa meyakini Lin Che Wei terbukti melakukan korupsi ekspor minyak goreng yang merugikan negara sebesar Rp 18,3 triliun.
"Menuntut supaya majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang mengadili perkara ini memutuskan, menyatakan Lin Che Wei terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah. Menjatuhkan pidana terhadap Lin Che Wei dengan pidana penjara berupa 8 tahun dikurangi selama masa tahanan dan denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan," kata jaksa penuntut saat membacakan surat tuntutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Kamis (22/12/2022).
Selain Lin Che Wei, jaksa juga menuntut agar hakim menjatuhkan hukuman 7 tahun pidana penjara dan denda Rp 1 miliar terhadap mantan Dirjen Perdagangan Luar Negeri (Daglu) Kementerian Perdagangan (Kemendag), Indrasari Wisnu Wardhana.
Sementara General Manager (GM) Bagian General Affair PT Musim Mas, Pierre Togar Sitanggang dituntut 11 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsidair 6 bulan kurungan serta membayar uang pengganti Rp 4,5 triliun paling lama satu bulan setelah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.
Kemudian, Senior Manager Corporate Affair PT Victorindo Alam Lestari, Stanley MA dituntut 10 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan. Stanley juga dituntut untuk membayar uang pengganti sebesar Rp 860 miliar.
Sedangkan Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia, Master Parulian Tumanggor dituntut 12 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan.
MP Tumanggor juga dituntut untuk membayar uang pengganti sebesar Rp 10 triliun paling lama satu bulan setelah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.
Menanggapi tuntutan jaksa tersebut, Juniver Girsang, kuasa hukum Master Parulian Tumanggor menilai tuntutan tersebut tidak berdasarkan fakta di persidangan.
Menurutnya, surat tuntutan hanya memindahkan dari surat dakwaan dan berita acara dengan mengabaikan keterangan para saksi.
“Ini adalah take over dari dakwaan maupun berita acara. Oleh karenanya, kami melihat tuntutan ini adalah tuntutan yang ilusioner yang tidak berdasarkan fakta di persidangan,” kata Juniver.
Juniver mencontohkan, mengenai pemenuhan domestic market obligation (DMO) yang merupakan kewajiban pemenuhan pasar dalam negeri. Dikatakan, dalam persidangan sudah terbukti DMO tersebut sudah terpenuhi.
"Tetapi, jaksa mengartikan tidak terpenuhi dan seakan menjadi tanggung jawab dari produsen sampai ke eceran. Padahal, dalam ketentuan tidak boleh itu produsen sampai ke eceran, kalau pedagang sampai ke eceran itu malah melanggar ketentuan monopoli, nah ini yang kami lihat sengaja tidak diungkap, seakan-akan membentuk opini ini menjadi tanggung jawab,” kata Juniver.
Untuk itu, Juniver menyatakan, pihaknya akan mempersiapkan pembelaan atau pleidoi. Juniver mengeklaim nota pembelaan yang akan disampaikan pihaknya berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan.
Pakar Hukum: Tuntutan Aneh dan Tidak Berdasar
Tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) terkait kasus dugaan korupsi izin persetujuan ekspor (PE) minyak sawit atau CPO kepada para terdakwa, dinilai tidak berdasar terutama penghitungan yang merugikan negara. Sejumlah pakar hukum mempertanyakan tuntutan yang beragam dari 7 hingga 12 tahun dengan uang pengganti hingga puluhan triliun rupiah.
Salah satunya Pakar hukum pidana, Chairul Huda menyebut tuntutan tersebut hal yang aneh. Menurutnya, uang pengganti itu hanya diterapkan bagi orang yang memperoleh pertambahan kekayaan dari tindak pidana korupsi. “Jadi bagaimana mungkin mereka dituntut Rp 10 triliun sementara tidak ada pertambahan kekayaan mereka sebesar itu," ujarnya, Selasa (27/12/2022).
Ia terang menyebut Jaksa melakukan tuntutan tidak berlandaskan hukum. Menurutnya, majelis hakim selayaknya menolak tuntutan tersebut, dan mempertimbangkan semua fakta di persidangan.
Sama halnya dengan Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar yang juga menegaskan, tuntutan uang pengganti itu berbeda dengan ganti rugi.
“Uang pengganti itu didasarkan pada pethitungan fakta yang riil, pemunculan sebuah jumlah harus didukung dengan bukti dan perhitungan yang riil, jadi tidak asal memunculkan nominal saja tanpa rasionalusasi yang jelas,” ujarnya.
Sedangkan ganti rugi itu bisa bersifat subjektif, kata dia. Artinya selain kerugian riil juga bisa ditambah dengan potensi, atau "keuntungan yang diharapkan" atau bunga atau kelebihan jumlah jika uang itu dikelola.
“Sehingga jumlahnya bisa sangat subjektif, yakni pokok kerugian plus bunga, nah jika jumlah tuntutan Rp 10 triliun itu ada perhitungannya, maka itu cukup beralasan, tetapi jika asal sebut jumlah saja tanpa rasionalisasinya, maka itu bisa dikatakan ngawur,” kata Fickar.
Sementara, Guru Besar Ilmu Kebijakan Pajak Universitas Indonesia (UI), Prof. Haula Rosdiana juga mempertanyakan dasar tuntutan dan mengkritisi lebih jauh.
Haula menyebut, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016 pun disebutkan, kerugian yang terjadi dalam tindak pidana korupsi sulit untuk dibuktikan secara akurat.
Di sisi lain, hingga saat ini belum ada aturan yang mengatur metode penghitungan kerugian perekonomian negara.
"Ini bertentangan dengan prinsip perumusan tindak pidana yang seharusnya memenuhi prinsip hukum harus tertulis, harus ditafsirkan seperti yang dibaca, tidak multitafsir. Kalau ini belum diatur bahaya, setiap orang nanti pakai metode berbeda sesuai dengan seleranya, tidak ada kepastian dan standarisasi," ujarnya.
Haula yang juga sempat memberi keterangan di persidangan sebagai saksi ahli kasus minyak goreng menyampaikan bahwa metode menggunakan input-output (I-O) tak tepat. Sebab, metode itu biasanya digunakan untuk perencanaan pembangunan.
"Itu berarti bukan sesuatu yang real. Kita berbicara mengenai tuntutan hukum, berarti harus fakta hukum dong, kalau fakta hukum itu bukan prediksi atau asumsi. Saya sudah sampaikan juga, kok pakai tabel I-O tahun 2016, sekarang aja 2022," ujarnya.
Disampaikan juga padahal pengusaha mengalami kerugian, seperti dipaksa menjual minyak goreng sesuai harga eceran tertinggi (HET) di saat harga CPO melambung.
"Ada yang tidak dijelaskan dalam detil oleh ahli yang digunakan JPU, yaitu pengorbanan produsen berkaitan dengan HET itu, bagaimana dia tetap menjual meskipun sebetulnya itu sudah dibawah harga keekonomisan," jelas Haula.
Hal janggal lainnya adalah terkait tak dipertimbangkannya pemenuhan minyak goreng di pasaran (DMO) dan benefit ekspor yang menjadi pemasukan negara.
"Bagaimana mungkin totalnya sekian, ini kita bicara hukum ya. Saya netral aja, saya prihatin kalau sesuatu tidak jelas itu dipaksakan, pakai metode apalagi nanti, mau bagaimana sementara UU belum pernah ngatur," terang dia.
Oleh karenanya, ia meminta agar ada kejelasan terkait hal ini dengan memberikan kepastian hukum. Jangan tiba-tiba menunjuk orang untuk menghitung kerugian negara tanpa metode yang jelas.
"JPU menuntut sesuatu yang sebetulnya belum jelas dan tidak bisa dihitung. Tidak bisa dihitung. Belum ada dasar hukum untuk menentukan bagaimana dihitung dan siapa yang menghitung. Apakah betul negara hukum berlaku seperti itu, bisa nunjuk siapa aja. Harus kembali ke konstitusi kita bahwa kita ini adalah negara hukum," ujarnya.
Perusahan Minyak Goreng Bantu Pemerintah Atasi Kelangkaan
Sebelumnya, Master Parulian Tumanggor mengatakan perusahan sawit telah berupaya membantu pemerintah mengatasi kelangkaan minyak goreng di Indonesia.
Hal ini dikatakan Tumanggor saat menjalani pemeriksaan sebagai terdakwa kasus dugaan tindak pidana korupsi terkait pemberian fasilitas izin ekspor crude palm oil (CPO) dan turunannya, termasuk minyak goreng, periode 2021-2022.
Ia menceritakan, saat terjadi kelangkaan, Indra Sari Wisnu Wardhana ketika masih menjabat sebagai Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan sempat menggelar pertemuan dengan beberapa perwakilan perusahaan minyak goreng.
Wisnu menyatakan ke beberapa perusahaan minyak goreng soal kelangkaan di sejumlah wilayah. Salah satunya di wilayah Papua.
Mendengar hal itu, Parulian menyatakan diri siap untuk mendukung pemerintah mengatasi kelangkaan ini. Tumanggor meminta pemerintah untuk menyiapkan pesawat hercules milik TNI Angkatan Udara agar distribusi minyak goreng bisa tiba tepat waktu.
Alasannya, bila menggunakan kapal dari Surabaya menuju Papua bisa menghabiskan waktu sekitar 20 hari. “Waktu itu kalau enggak salah Wilmar, Musim Mas sama Sinar Mas kalau tidak salah, ikut partisipasi (atasi kelangkaan, red),” kata Tumanggor di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (15/12/2022).
Menurut Tumanggor, saat itu seluruh perusahaan CPO memang berniat membantu pemerintah secara sukarela. Mereka tidak menghitung rugi atau dampak lainnya dari tindakan tersebut. Artinya seluruh perusahaan sangat peduli dengan kelangkaan minyak goreng di Indonesia. Ini salah satu bukti bahwa para pengusaha berkomitmen untuk mengatasi darurat minyak goreng.
“Karena bagi saya pribadi untuk kepentingan NKRI, ini sangat penting,” ucap Tumanggor.
Atas dasar itu, Tumanggor menegaskan, dirinya tak ada melobi Wisnu untuk mengeluarkan izin persetujuan eksepor untuk Wilmar Nabati. Faktanya, lima dari 16 PE yang diajukan oleh Wilmar Group ditolak. "Artinya gini, kalau urusan ekspor-impor. Paling saya hanya dapat kabar ‘Pak Tumanggor di rollback. Artinya, berarti belum memenuhi syarat. Itu saja,” ujar Tumanggor.
Terkait persidangan ini, kuasa hukum terdakwa Master Parulian Tumanggor, Juniver Girsang, menuturkan penjelasan kliennya itu menegaskan kelangkaan minyak goreng di Indonesia bukan disebabkan oleh ekspor. Melainkan karena penetapan harga eceran tertinggi (HET) yang menyebabkan panic buying di masyarakat. Terlebih, para perusahaan minyak goreng menyediakan 540 juta liter untuk mengatasi kelangkaan. Namun, tetap saja kelangkaan masih terjadi.
“Dan mereka (pengusaha, red) itu menjelaskan selama ini, mereka diminta berpartisipasi sudah dilaksankan dengan baik untuk mengikuti perintah dari menteri maupun pemerintah,” tutur Juniver.
Selain itu, Juniver menegaskan, kliennya telah mengungkap tak ada lobi-melobi urusan PE. Sebab, dalam pertemuan dengan Wisnu, mereka sama sekali tak membahas soal PE.
“Karena apa, PE tidak bisa diubah-ubah mengenai syarat yang sudah ditetapkan oleh departemen keuangan maupun perdagangan, sepanjang syarat itu terpenuhi, PE-nya pasti keluar, dan sudah terbukti tadi,” imbuh Juniver.
(*/tribun-medan.com)
Artikel telah tayang di Tribunnews.com dengan judul: Bantah Tuduhan Jaksa, Terdakwa Kasus Minyak Goreng Klaim Persetujuan Ekspor Sesuai Prosedur
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Terdakwa Kasus Minyak Goreng Bantah Korupsi dan Tegaskan Bukan Mafia"
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Bos PT Wilmar Nabati Indonesia Divonis 1 Tahun 6 Bulan dalam Kasus Korupsi Ekspor CPO"
Master Parulian Tumanggor
kasus minyak goreng
vonis mp tumanggor
putusan mp tumanggor
Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia
Badan Pengawas Konsumen Nasional Sidak ke Pusat Pasar Medan, Minyakita Langka Menjadi Sorotan |
![]() |
---|
MANTAN Menteri Ekonomi Rizal Ramli Soroti Lonjakan Harga Minyak Goreng: 'Jangan Buang Badan' |
![]() |
---|
TIGA Juta Hektare Kebun Sawit di Sumut, Gubernur Edy Sebut Tak Ada Alasan Kekurangan Minyak Goreng |
![]() |
---|
PEMPROV Sumut Sumut Minta Pedagang Tidak Jual Minyak Curah Diatas Rp 14 Ribu |
![]() |
---|
KPPU Kanwil I Medan Peringatkan Pelaku Usaha Tidak Manfaatkan Situasi Harga Minyak Goreng |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.