Sumut Terkini
AKBP Ronald Sipayung : Keterbukaan Informasi Pemberitaan dan Penegakkan Hukum
Pada dasarnya, proses saling mempengaruhi akibat interaksi adalah gejala yang wajar dalam kehidupan berbangsa.
Penulis: Alija Magribi | Editor: Ayu Prasandi
Di pihak lain, disepakati bahwa seorang hanya dapat dinyatakan kesalahannya setelah diperiksa di pengadilan, dan dinyatakan bersalah oleh hakim yang memeriksanya.
Dalam menjaga tidak terjadi penghakiman oleh media massa, dulu dalam Pasal 3 ayat (7) Kode Etik Jurnalistik PWI, menyebutkan: “Pemberitaan tentang jalannya pemeriksaan perkara pidana di dalam sidang-sidang pengadilan harus dijiwai oleh prinsip praduga tak bersalah, yaitu bahwa seseorang tersangka baru dianggap bersalah telah melakukan sesuatu tindak pidana apabila ia telah dinyatakan terbukti bersalah dalam keputusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan tetap”.Yang disambung oleh ayat (8) yang berbunyi: “Penyiaran nama secara lengkap, identitas dan gambar dari seorang tersangka dilakukan dengan penuh kebijaksanaan dan dihindarkan dalam perkara-perkara yang menyangkut kesusilaan atau menyangkut anak-anak yang belum dewasa.
Pemberitaan harus selalu berimbang antara tuduhan dan pembelaan dan dihindarkan terjadinya trial by the press”. Kode Etik Jurnalistik PWI ini telah ditetapkan oleh Dewan Pers pada tanggal 24 Maret 2006 sesuai dengan amanat UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Baca juga: Kapolres Simalungun Cek Pos PAM dan Pos Yan Operasi Lilin Toba 2022
Asas Praduga Tak Bersalah
AKBP Ronald, dalam penelitiannya diketahui Pengertian asas praduga tak bersalah (“presumption of innocent”) mengartikan bahwa seseorang yang diduga, disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di sidang pengadilan wajib hukumnya dianggap tidak bersalah bagi siapapun.
Asas ini wajib diterapkan sebelum adanya putusan pengadilan yang inkracht.
Asas ini terdapat pada Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Penjelasan Umum KUHAP.
Dalam menjaga agar jangan sampai terjadi “trial by the press” oleh para jurnalis di Indonesia telah sepakat menggunakan asas praduga tak bersalah sebagai kesepakatan profesinya dalam suatu pemberitaan.
Dilema antara kebebasan keterbukaan informasi dalam pemberitaan media elektronik dengan “trial by the press” selalu menjadi hal yang dapat didiskusikan lebih lanjut.
Di satu pihak, kebebasan pers merupakan mahkota yang harus dijunjung tinggi, di lain pihak suatu peradilan tidak boleh dilakukan kecuali oleh kekuasaan yang telah ditentukan dalam konstitusi, yaitu badan peradilan yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Dalam ketentuannya, media massa/elektronik tidak mempunyai hak melakukan peradilan.
Konklusi
Dengan derasnya arus globalisasi terhadap pemberitaan media elektronik, maka asas praduga tak bersalah ditempatkan di Kode Etik Jurnalistik dengan harapan agar media elektronik dalam pemberitaannya tidak terjebak dalam ‘trial by the press’, yaitu pemberitaan yang menjurus ‘menghakimi’ yang merupakan pelanggaran suatu peradilan yang adil.
“Pemberitaan yang cenderung memberikan opini terhadap bersalahnya seorang tersangka, disamping telah melanggar asas utama dari negara hukum, yakni kebebasan kehakiman, juga merupakan pelanggaran hak asasi seseorang, yakni mengurangi hak untuk membela diri secara hukum,” kata Ronald.
(Alj/tribun-medan.com)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.