Badai PHK Januari sampai September 2024 Mencapai 52.993 Orang, Ini 3 Besar Provinsi Tertinggi

Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) mencatat sejak awal 2024 hingga 26 September 2024, pekerja yang terkena PHK sebanyak 52.993 orang.

Editor: Juang Naibaho
TRIBUN MEDAN
Buruh di Sumut melakukan aksi unjuk rasa menolak pemutusan hubungan kerja (PHK) dan upah murah beberapa waktu lalu. 

Alasan bangkrutnya pabrik tekstil dan berujung pada PHK di dalam negeri ini pun diungkap oleh Presiden Asosiasi Serikat Pekerja (ASPEK) Indonesia Mirah Sumirat. 

Menurutnya, industri tekstil domestik mulai tertekan setelah konflik antara Rusia dan Ukraina.

Industri tekstil dalam negeri yang rata-rata merupakan eksportir, terkena dampak dari peristiwa global tersebut. 

Sebagian besar industri tekstil di Indonesia bergantung pada pasar internasional, dan kondisi global ini berdampak signifikan terhadap mereka.

"Ini kan tekstil sudah mulai trennya itu turun gitu ya karena waktu itu alasan mereka adalah terjadi perang Ukraina dan Rusia," kata Mirah kepada Tribunnews, dikutip Kamis (26/9/2024). 

"Mereka kemudian mengalami penurunan terus karena faktor luar negeri itu mempengaruhi kuat, sangat kuat," lanjutnya. 

Idealnya, saat pasar internasional tidak menentu, industri tekstil semestinya bisa memindahkan pasar mereka ke dalam negeri. Namun, itu tidak dapat terjadi. 

Mirah menyebut ada regulasi yang membebaskan produk impor tekstil masuk, yaitu Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024 Tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Menteri Perdagangan 36/2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor.

Peraturan tersebut dianggap menjadi puncak dari merosotnya industri tekstil dalam negeri, sehingga menyebabkan PHK masif. 

"Pemerintah Indonesia itu mengeluarkan regulasi Permendag Nomor 8 Tahun 2024, di mana keran impor itu dibuka dengan bebas, dan salah satunya masuk itu tekstil dari luar negeri, terutama dari China. Mereka harganya murah, kualitas hampir sama, itu yang terjadi," ujar Mirah. 

"Sehingga ketika pasar internasional, sektor industri tekstil dan alas kaki itu digeser ke domestik, mereka tidak akan mengalami penjualan yang bagus karena sudah dihajar oleh produk atau serbuan barang-barang dari China itu, tekstil dari China," lanjutnya.

Banyak perusahaan tekstil dan alas kaki domestik yang mengalami kolaps dan menutup pabrik.

Mereka tidak bisa bersaing dengan produk tekstil dari China dari sisi harga, meskipun secara kualitas lebih baik. 

Mirah memberikan contoh, di salah satu mal besar di Jakarta Pusat, produk tekstil impor dijual dengan harga antara Rp 15 ribu hingga Rp 30 ribu. 

Masyarakat pun disebut lebih memilih produk tersebut karena harga yang terjangkau.

Halaman
123
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved