Deflasi 5 Bulan Beruntun Indikasi Masyarakat Tak Punya Uang Lagi Untuk Berbelanja, Ini Kata Mendag

Menurut sejumlah kalangan ekonom, kondisi deflasi secara beruntun ini memperlihatkan kondisi ekonomi kelas menengah yang kian melemah.

Editor: Juang Naibaho
HO
ILUSTRASI pertumbuhan ekonomi. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan Indonesia mengalami deflasi selama lima bulan berturut-turut pada Mei sampai September 2024.  

TRIBUN-MEDAN.com - Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan Indonesia mengalami deflasi selama lima bulan berturut-turut pada Mei sampai September 2024. 

Terpaut dengan kondisi perekonomian kekinian, badai pemutusan hubungan kerja (PHK) terus meningkat. Kementerian Ketenagakerjaan mencatat sejak awal 2024 hingga 26 September 2024, sebanyak 52.993 pekerja kena PHK. Pada bulan September saja, korban PHK mencapai 6.753 pekerja.

Menurut sejumlah kalangan ekonom, kondisi deflasi secara beruntun ini memperlihatkan kondisi ekonomi kelas menengah yang kian melemah. Kelas menengah tidak punya uang lagi untuk berbelanja.

Untuk diketahui, deflasi adalah penurunan harga-harga barang dan jasa. Sepintas deflasi terlihat menguntungkan konsumen karena adanya penurunan harga. Tapi, di sisi lain mencerminkan melemahnya aktivitas ekonomi dan daya beli masyarakat.

Padahal, kelas menengah Indonesia berperan penting dalam menunjang pertumbuhan ekonomi nasional. Namun, sebagian besar golongan ini relatif masih rentan ”turun kelas” jika terjadi guncangan ekonomi.

Di sisi pemerintah, deflasi 5 bulan beruntun ini belum bisa diartikan sebagai penurunan daya beli masyarakat.

Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan menilai deflasi terjadi karena pasokan di pasar yang meningkat, melebihi jumlah permintaan yang ada secara normal.

"Apakah ini terkait daya beli? Saya kira kalau saya keliling ke pasar-pasar memang yang nampak itu karena peralihan musim, dulu kan hujan ya habis itu nggak gitu, sehingga panennya sempurna. Bawang, cabai kalau hujan terlalu banyak dia busuk, sehingga suplainya banyak," kata Zulhas di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Jumat (4/10/2024).

Kata Zulhas, jika daya beli masyarakat menurun, hal itu perlu kajian lebih lanjut. "Apa karena suplainya banyak sekali sehingga harganya terlalu murah, atau daya beli yang turun nanti kita lihat, kita kaji lebih lanjut," ujar Zulhas.

Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan, terjadi deflasi sebesar 0,12 persen secara bulanan atau terjadi penurunan Indeks Harga Konsumen (IHK) dari 106,06 pada Agustus menjadi 105,93 pada September 2024.

Plt Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan, deflasi bulan ini lebih dalam dibandingkan bulan sebelumnya yakni 0,03 persen.

"Deflasi pada bulan September 2024 ini terlihat lebih dalam dibandingkan bulan Agustus 2024 dan ini merupakan deflasi kelima pada tahun 2024 secara bulanan," kata Amalia dalam Rilis BPS, Selasa (1/10/2024).

Dikutip dari BBC, ekonom dari Bright Institute, Muhammad Andri Perdana menyebutkan deflasi yang terjadi selama lima bulan berturut-turut sejak Mei hingga September 2024 memperlihatkan dengan jelas bahwa masyarakat kelas pekerja sudah tidak punya uang lagi untuk berbelanja.

Karena itu, permintaan bank sentral Indonesia agar masyarakat lebih banyak belanja untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen mustahil terwujud. 

Pasalnya, hampir semua sektor industri melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK), yang bakal berimbas pada anjloknya daya beli.

Baca juga: Badai PHK Januari sampai September 2024 Mencapai 52.993 Orang, Ini 3 Besar Provinsi Tertinggi

Senada, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan, deflasi yang terjadi selama lima bulan berturut-turut ini tidak normal.

Sebab dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 5 persen, seharusnya Indonesia mencatat inflasi.

"Deflasi lima bulan berturut-turut itu mengkhawatirkan menurut saya, karena kalau dalam kondisi normal itu tidak terjadi," ujarnya, Selasa (1/10/2024), dikutip dari Kompas.com.

"Biasanya ya inflasi. Tapi yang terjadi malah bukan hanya inflasi yang rendah tapi malah deflasi dan lima bulan berturut-turut, ini menyerupai kondisi krisis," imbuhnya. 

Menurutnya, deflasi ini merupakan efek dari lemahnya daya beli masyarakat akibat pertumbuhan penghasilan yang tidak signifikan serta turunnya pendapatan masyarakat dibanding sebelum pandemi Covid-19. 

Dia menjelaskan, saat pandemi Covid-19 banyak pekerja Indonesia yang kehilangan pekerjaannya tapi sampai saat ini masih banyak yang belum mendapatkan pekerjaan baru.

"Ini mempengaruhi dari tingkat spending mereka sehingga spending itu relatif melemah, terutama untuk kalangan yang menengah dan bawah," ucapnya. 

Sementara itu, Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan, deflasi selama lima bulan berturut-turut ini tidak serta-merta disimpulkan ada penurunan daya beli masyarakat.

Namun, ia tak menampik deflasi kali ini diiringi dengan meningkatnya tren pemutusan hubungan kerja (PHK) selama 2022 hingga Agustus 2024 dan penurunan rasio disposible income terhadap PDB nasional dalam 10 tahun terakhir sehingga memang ada penurunan daya beli masyarakat.

"Memang terdapat tren penurunan daya beli khususnya kelas menengah," ujarnya, Selasa (1/10/2024).

Oleh karenanya, dia meminta pemerintah untuk menjaga stabilitas harga, baik harga bergejolak maupun harga yang diatur pemerintah agar tidak memberikan tekanan kepada masyarakat. 

Pasalnya, saat ini pendapatan riil masyarakat cenderung menurun karena adanya tren PHK yang tengah melonjak.

"Pemerintah juga perlu meningkatan produktivitas belanja pemerintah agar dapat mendorong peningkatan fiscal multiplier effect pada perekonomian dan pendapatan masyarakat," tuturnya.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, deflasi yang terjadi terus-menerus bisa menjadi alarm bagi perekonomian di Indonesia. 

Menurut dia, deflasi terjadi karena pendapatan masyarakat untuk berbelanja berkurang. 

Masyarakat kehabisan uang karena situasi perekonomian Indonesia yang memburuk, akibat kenaikan upah pekerja terlalu kecil, efek suku bunga tinggi, serta lapangan kerja terbatas di sektor formal. 

Di sisi lain, Indonesia juga mengalami gelombang PHK massal dan peningkatan tarif PPN 11 persen yang dinilai menurunkan daya beli masyarakat.

"Ini alarm bagi perekonomian karena indonesia adalah negara berkembang dengan populasi usia produktif yang tinggi, sementara kita juga sedang berada pada bonus demografi," kata dia, saat dihubungi Kompas.com, Rabu.

Artinya, kata Bhima, masyarakat Indonesia idealnya banyak belanja, banyak konsumsi sehingga ada dorongan kenaikan inflasi pada sisi permintaan. Namun, yang terjadi adalah sebaliknya.

Menurut Bhima, deflasi yang terus terjadi akan menimbulkan efek buruk bagi perekonomian di Indonesia, yaitu resesi. 

Hal ini karena daya beli masyarakat sangat erat kaitannya dengan ekspansi manufaktur dan dunia usaha. 

Jika permintaan meningkat, dunia usaha bisa meningkatkan belanja bahan bakunya dan produksinya. Saat industri bergairah, produksi akan meningkat, serapan tenaga kerja bertambah, dan ujungnya adalah peningkatan pertumbuhan ekonomi.

Sebaliknya, jika daya beli masyarakat turun, maka pertumbuhan ekonomi juga melemah. Dampak deflasi akan paling dirasakan pelaku usaha terutama industri makanan dan minuman, pakaian jadi, alas kaki, dan pelaku usaha properti yang perlu mengubah bisnisnya.

"Jika situasi permintaan tidak membaik dalam dua kuartal ke depan maka 2025 awal akan terjadi indikasi resesi ekonomi," kata Bhima.

Ia menerangkan, resesi tidak berarti pertumbuhan ekonomi negatif, tetapi terjadi pelambatan dalam 2-3 bulan berturut-turut. Ditambah pula, meningkatnya angka pengangguran sudah bisa disebut sebagai resesi ekonomi. (*)

Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved