Sinode Godang ke-67 HKBP, Kembali ke Jalan Ketulusan dan Kesederhanaan

Sinode kali ini berkemungkinan akan diikuti oleh beberapa kandidat calon Ephorus, yang tentu bukan kandidat sembarangan

Editor: iin sholihin
ISTIMEWA
Dr Jannus TH Siahaan 

Oleh: Jannus TH Siahaan
Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran

“In my opinion, most organized religion does neither agentic service nor relational nurturance very well”
(Richard Rohr)

ORGANISASI Keagamaan idealnya menjadi instrumen institusional dan sosial suatu agama untuk membumikan diri di tengah-tengah umatnya dengan menghadirkan berbagai jenis pelayanan keagamaan berbasiskan semangat profetik teologis di satu sisi (ketulusan dan keikhlasan berbasiskan spirit kegembalaan) dan tetap humanis di sisi lain. 

Idealitas ini, bagaimanapun juga berlaku bagi Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), sebagai salah satu organisasi keagamaan terkemuka sekaligus berpengaruh di Indonesia dengan jumlah umat mencapai 6 juta.

Namun beberapa waktu ke belakang, idealitas tersebut mulai terkalahkan oleh penampakan praktik-praktik olah laku yang sangat berorientasi duniawi dari para pesohor organisasi yang berimbas kepada hilangnya praktik-praktik profetik yang diharapkan dari organisasi keagamaan seperti HKBP. 

Baca juga: Lirik Lagu Tapsel Ube Arias Na Poso Dipopulerkan oleh Dedy Gunawan ft Ovhi Firsty

Orientasi kemewahan berkedok pelayanan, praktik-praktik transaksional finansial berkedok prosedur dan aturan main organisasi,  pertunjukan “internal politicking” yang tak lagi berbasiskan spirit teologis-profetis, ketundukan kepada kekuasaan “orang besar”, dan berbagai anomali behavioral dan hidden moral hazard lainya, kerapkali menjadi penampakan sehari-hari dari organisasi HKBP.

Sehingga asumsi Richard Rohr yang saya kutip di awal tulisan semakin nyata terasa keberadaaannya di tengah-tengah dinamika organisasional dan sosial HKBP.  

Organisasi keagamaan seperti HKBP terlihat mulai abai atas misi pelayanan yang berbasiskan keihklasan dan ketulusan di satu sisi, pun sudah kurang fokus lagi kepada tujuan perubahan akhlak dan perilaku umat agar menjadi jauh lebih baik dibanding waktu-waktu sebelumnya sesuai dengan ajaran-ajaran Kristen yang hakiki yang ingin diwujudkan oleh HKBP

Oleh karena itu, Sinode Godang ke-67 HKBP di Simenarium, Sipoholon, Tarutung, Tapanuli Utara pada bulan Desember 2024 nanti, semestinya tidak saja menjadi ajang “internal electoral” untuk terpenuhinya kewajiban untuk suksesi kepemimpinan HKBP, tapi juga sebagai ajang “introspeksi” atas segala perubahan orientasi yang telah terlanjur terjadi selama ini di satu sisi dan sebagai ajang untuk menampung calon-calon yang mampu membawa organisasi kembali kepada khitahnya sebagai “agen pelayanan’ dan “agen perubahan” di sisi lain.

Baca juga: Anggota Komisi X DPR RI Sindir Proses Naturalisasi Timnas, Kenapa Harus Ambil dari Luar Terus?

Sinode kali ini berkemungkinan akan diikuti oleh beberapa kandidat calon Ephorus, yang tentu bukan kandidat sembarangan, sehingga harapan-harapan besar perubahan pada HKBP juga layak disematkan kepada mereka, terlepas siapapun nanti yang akan memenangkan pemilihan.

Untuk itu, beberapa catatan tentu perlu disematkan di sini, sebagai bagian dari ekspresi naratif atas Sinode yang sebentar lagi akan dilangsungkan tersebut. 

Pertama, semakin hari pemilihan pimpinan HKBP semakin mirip dengan kontestasi elektoral di arena politik praktis. Atau dalam bahasa yang sederhana bisa dikatakan, pemilihan pimpinan HKBP sudah tidak jauh berbeda dengan pemilihan kepala daerah, bahkan pemilihan presiden, di mana praktek-praktek “buruk” perpolitikan Indonesia ikut di dalamnya

Sehingga perubahan fundamental pertama yang harus dilakukan adalah perubahan pada praktek pemilihan pimpinan HKBP, yakni mengembalikan model pemilihan kepemimpinan HKBP kepada model pemilihan pimpinan keagamaan, yang tidak saja bergantung kepada proses transaksional untuk mencapai kemenangan, tapi juga pengedepanan nilai-nilai kepemimpinan teologis-profetis Kristen yang dianut dan ditunjukkan oleh para calon selama ini. 

Artinya, kandidat yang selama ini memang kurang mampu menunjukkan olah laku dan sikap profetis alias lebih mengedepankan kemewahan duniawi dan kepentingan politik jangka pendek, semestinya tidak diberi ruang untuk ikut bersaing, karena berpotensi untuk meneruskan tren kurang baik untuk masa kepemimpinan selanjutnya. Dalam hal ini, track record, integritas, dan moralitas kandidat harus menjadi pertimbangan utama dalam memajukan sebuah nama.

Memang hal ini sulit dilakukan dalam waktu singkat, mengingat waktu pemilihan pimpinan sebentar lagi dilangsungkan. Pasalnya, untuk mewujudkan itu secara teknis, prosedur di dalam HKBP tentu perlu diubah, misalnya dengan cara perubahan sistem nominasi dan pemilihan yang membutuhkan waktu lama. 

Perubahan aturan atau amandemen aturan main akan berpotensi menunda proses pemilihan, yang tentu sangat tidak diinginkan oleh banyak pihak di dalam HKBP, terutama pihak petinggi organisasi.

Jalan terbaik saat ini adalah dengan menambahkan spirit baru yang berorientasi perubahan di dalam proses pemilihan pimpinan HKBP, yang disampaikan dan diramaikan oleh tokoh-tokoh besar HKBP, baik kepada umat di dalam setiap khotbahnya maupun kepada seluruh anggota organisasi HKBP di ruang-ruang non konvensional (seperti forum-forum publik Kristen, forum akademis di lembaga-lembaga pendidikan Kristen, atau di laman-laman media sosial para tokoh-tokoh besar HKBP, dan lainnya).

Penyuaraan perubahan ini sangat krusial sifatnya, agar semua pihak yang terkait dengan HKBP dan dengan masa depan HKBP “aware” atas eksistensi praktek-praktek yang kurang pantas di dalam dinamika sehari-hari HKBP selama ini. Karena bagaimanapun, “awareness” semacam ini akan menjadi modal awal untuk melakukan perubahan di tubuh HKBP. 

Dengan kata lain, adanya “awareness” dan pengakuan dari umat dan tokoh-tokoh besar HKBP atas keberadaan praktek-praktek transaksional atau jenis praktek tak etis lainnya akan memotivasi tokoh-tokoh dan umat untuk terlibat aktif dalam mempengaruhi proses pemilihan, dengan harapan agar muncul kandidat yang benar-benar berniat dan mampu melakukan perubahan di waktu mendatang.

Misalnya, jika ada kandidat yang berani mengatakan secara tegas bahwa ia akan berjuang sekuat tenaga untuk membasmi model transaksional / jual beli jabatan Pendeta untuk posisi serta lokasi pelayanan yang menjanjikan banyak uang dan fasilitas di HKBP; isu yang masih sering terdengar, maka secara sederhana bisa disimpulkan bahwa kandidat ini adalah kandidat yang sangat layak untuk dikedepankan dan diberi kesempatan untuk memimpin HKBP ke depan. 

Mengapa? Karena praktek semacam ini kabarnya sudah menjadi “rahasia” umum di dalam  dinamika penempatan pendeta-pendeta HKBP selama ini, “rahasia umum” yang sangat mengkhawatirkan di satu sisi dan sangat tidak layak untuk terjadi di dalam organisasi semulia HKBP di sisi lain.

Masalah lainnya, misalnya, kecenderungan perilaku (oknum) para pendeta dan penatua gereja yang acapkali terlihat sangat hedonistik di dalam praktek kehidupan sehari-harinya, yang nampaknya sudah tidak berbeda dengan pendeta atau pimpinan/ gembala jemaat dari jenis gereja kharismatik. 

Padahal gereja-gereja yang bernaung di bawah Persekutuan Gereja -Gereja di Indonesia (PGI) masuk kategori gereja dogmatik yang tidak menonjolkan simbol-simbol, ritual/seremoni. 

Intinya, adanya kecenderungan hidup yang sangat hedon dari sebagian oknum pendeta HKBP perlu diperingatkan di satu sisi dan perlu diubah di sisi lain, karena sudah tak mewakili spirit teologis Kekristenan di satu sisi dan bukanlah gaya hidup pendeta yang ideal untuk organisasi HKBP di sisi lain. 

Hedonisme semacam ini hanya akan memperburuk kecenderungan perilaku dari generasi muda Indonesia, terutama Gen Z yang jumlahnya sangat dominan, pada umumnya dan generasi muda HKBP pada khususnya, yang cenderung sangat materialistik, kurang beretika, dan tercerabut dari ajaran-jaran moral kekristenan.

Masalah selanjutnya yang harus diperhatikan oleh kandidat dan semestinya dilakukan segera adalah mengeliminasi pengaruh kekuasaan dan penguasa di dalam pemilihan pimpinan HKBP. Sudah menjadi rahasia umum bahwa dalam beberapa waktu belakangan, pengaruh “orang kuat” sangat terasa di dalam gerak-gerik pimpinan-pimpinan HKBP, seolah-olah HKBP sudah “menghamba” kepada kekuasaan. 

Sehingga secara off the record acap kali beredar informasi “transaksi” tak layak di dalam pemilihan pimpinan HKBP yang melibatkan jumlah uang tak sedikit. Jika benar maka hal ini perlu dihilangkan, atau setidaknya diminimalisasi, agar setelah pimpinan baru terpilih, kesan bahwa HKBP justru mengabdi kepada kekuasaan bisa dihilangkan. Karena idealnya tentu tidak demikian. HKBP semestinya mengabdi kepada Tuhan di satu sisi dan melayani umat HKBP di sisi lain, bukan kepada kekuasaan atau penguasa.

Kemudian, beberapa masalah lainnya yang juga sangat perlu diangkat dan perlu diselesaikan oleh pimpinan baru nanti diantaranya adalah masih banyak warga HKBP yang hidup di bawah garis kemiskinan dan bahkan kekurangan gizi, namun cenderung tak tersentuh oleh pengurus HKBP. 

Lalu masalah Yayasan-Yayasan di bawah HKBP, termasuk Yayasan  Universitas HKBP Nomensen, misalnya, yang dikabarkan cenderung menjadi sapi perah oknum pengurus Yayasan yang didalamnya juga ada pimpinan pusat HKBP. Sarat korupsi. Sehingga cukup bisa diwajari mengapa Universitas HKBP  cenderung  kurang berkembang dalam kurun waktu 10 tahun terakhir dan cenderung sepi peminat. Padahal di masa lalu Universitas HKBP Nomensen di  Medan pernah diakui lebih baik dari Universitas Sumatra Utara (USU). 

Jadi secara ideologis spritual,  persoalan HKBP yang harus segera dibenahi oleh pemimpin baru adalah bahwa HKBP  hari ini telah menjadi organisasi yang dikelola dengan spirit profane-duniawiah - materialisme yang penampakannya semakin kentara dari tahun ke tahun. Sehingga upaya untuk memperkuat dan menggali kembali spirit Sakralitas dalam teologia yang  dianut HKBP menjadi sangat urgen hari ini untuk diturunkan ke dalam agenda-agenda perubahan HKBP ke depan.

Lalu secara organisasional-managerial, dalam beberapa tahun terakhir ini HKBP sibuk dan sangat intens mengurusi masalah sentralisasi keuangan dengan semua kontroversinya dibanding memperdalam merumuskan Teologia yang bisa menjawab tantangan zaman. 

Tentu keberhasilan kepemimpinan HKBP dalam memperbaiki tata kelola keuangan organisasi sangat layak diapresiasi. Namun demikan, upaya penyempurnaan pengelolaan keuangan Organisasi selayaknya tidak mengubah spirit teologia yang sedari awal telah menjadi “inti jiwa” dari HKBP.

Masalah lainnya yang tak kalah urgennya adalah soal adaptasi kontekstual Teologia HKBP terhadap perkembangan zaman dan berbagai persoalan yang ikut bersamanya. Nyatanya, Teologia HKBP nyaris tidak berubah dalam beberapa dekade ke belakang, sementara tantangan baru akibat perubahan zaman dan pergeseran peradaban dalam satu dekade terakhir luar biasa dahsyatnya. 

Secara teknis bisa dikatakan bahwa Teologia HKBP belum merumuskan bagaimana jawaban teologis-operasional yang bisa dijadikan petunjuk teknis bagi organisasi untuk menyelesaikan masalah kemiskinan yang masih menimpa warga HKBP, masalah pengangguran anak muda, masalah dekadensi moral dan penipisan etika generasi muda, rendahnya SDM sebagian generasi muda, korupsi yang semakin menggila, ketimpangan ekonomi yang kian menebal, dan penipisan solidaritas sosial antar sesama warga HKBP, termasuk masalah tendensi kekuasaan yang mulai menjauh dari nilai-nilai demokrasi, dan seterusnya. 

Namun faktanya selama ini, kesannya yang lebih dipedulikan oleh pimpinan HKBP adalah sentralisasi keuangan, pembangunan fasilitas fisik, dan sejenisnya. Pokoknya  aspek materialisme menjadi pengutamaan dibanding aspek Theologis-spritual.  

Itulah yang terjadi di HKBP sekarang, dan itulah yang menampakkan diri dalam pemilihan pimpinan apakah Ephorus kali ini, Sekjen, Kadep, Pareses dalam Sinode yang akan datang. Jika tidak ada yang menyuarakan masalah-masalah ini, maka jangan heran kalau dalam pemilihan kali ini masing-masing calon untuk posisi apapun, punya tim sukses layaknya Pilpres-Pileg-Pilkada, yang lebih mementingkan sisi elektoral ketimbang sisi strategis perbaikan dan pembenahan kehidupan organisasi ke depan. 

Pendeknya, untuk menutup tulisan ini, saya ingin mengatakan bahwa pemilihan pimpinan HKBP kali ini sejatinya dan seharusnya menjadi pemilihan yang memberikan harapan baru bagi HKBP secara organisasional dan bagi warga HKBP secara umum. 

Karena sejatinya HKBP tidak saja hadir untuk menjawab berbagai persoalan yang dihadapi oleh warga HKBP, tapi juga menjadi bagian dari kebanggaan orang-orang Kristen Batak yang melekat di dalam diri di mana pun mereka berada. 

Untuk mencapai itu, tentu perubahan signifikan harus dilakukan. Dan jalan tercepat serta terbaik untuk itu adalah dengan terpilihnya pimpinan HKBP yang “aware” terhadap persoalan-persoalan di atas di satu sisi dan beritikad kuat untuk melakukan perubahan di sisi lain. Semoga!

Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved