Menilik Peta Persaingan di Pilkada Sumatera Utara

Kekuatan mayoritas di dalam kubu KIM juga lebih cenderung membentuk satu kekuatan besar provinsial.

Editor: iin sholihin
ISTIMEWA
Dr Jannus TH Siahaan 

Oleh: Dr Jannus TH Siahaan

Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran

JELANG Pilkada serentak November 2024 nanti, Koalisi Indonesia Maju (KIM), sebagai koalisi pemenang pemilihan presiden tempo hari, sudah menjelma menjadi kekuatan yang nyaris berkategori “supermajority” di tingkat lokal.

Dengan kata lain, konfigurasi persaingan politik yang melatari pemilihan presiden tahun 2024 menular ke daerah. Bukan saja karena sebagian kekuatan politik daerah menginginkannya, tapi juga karena keinginan kekuatan di pusat, terutama kekuatan baru pemenang pemilihan nasional untuk menyuntikkan model persaingan politik di tingkat pusat ke daerah.

Jakarta adalah salah satu contoh yang paling ekstrim, di mana satu paslon memborong nyaris semua partai yang ada, atas dorongan kuat dari pusat kekuasaan. Di daerah-daerah lain, seperti di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB, termasuk Sumut, dan banyak lainnya, meskipun tidak semuanya melahirkan kompetisi dua paslon, kekuatan mayoritas di dalam kubu KIM juga lebih cenderung membentuk satu kekuatan besar provinsial.

Baca juga: Update Pilkada Sumut: Calon Gubernur Bobby Nasution Nomor Urut 1, Edy Rahmayadi Nomor Urut 2

Repetisi model kompetisi pusat di daerah ini memang cukup mengkhawatirkan, karena pada kasus-kasus tertentu justru berisiko membungkam aspirasi publik, yang  secara nominal jumlahnya tidak sedikit.

Sebut saja misalnya di Jakarta. Hasil survei sebelum pencalonan resmi yang menempatkan Anies Baswedan di posisi teratas, dengan elektabilitas di atas 40 persenan, justru harus “gugur’ begitu saja di tengah jalan sebagai akibat dari model kompetisi pusat yang merembes ke daerah. Karena pemenang di pusat tak mengingingkan Anies Baswedan berkuasa di Jakarta, maka peluang Anies untuk maju di kontestasi pilkada juga ditutup sedemikian rupa.

Di Sumut pun nampaknya tak terlalu jauh berbeda. Dari sisi peta politik, kekuatan politik KIM yang mengerucut di belakang Bobby Nasution, membuat lawannya yang kebetulan adalah juga petahana, harus menerima kenyataan hanya didukung oleh beberapa partai politik.

Tentu secara kasat mata, Bobby adalah pihak yang paling diuntungkan, karena mendadak mendapatkan mesin politik dengan kapasitas yang sangat besar, meskipun tanpa harus melalui proses “kaderisasi” kepemimpinan daerah yang selayaknya harus dilalui oleh seorang calon Gubernur.

Dikatakan demikian karena hanya bermodalkan pengalaman satu periode menjadi kepala daerah di tingkat dua (Walikota Medan), pun tanpa memperlihatkan keunggulan yang menonjol, baik dari sisi program, kebijakan maupun dari sisi model kepemimpinan (keteladanan, kebijaksanaan, dan sejenisnya, misalnya), beliau berani langsung menaikkan tawaran politiknya menjadi calon kepala daerah untuk level provinsial. Hal itu bisa terjadi tentu karena salah satunya Bobby berhasil memindahkan model kompetisi politik di tingkat nasional ke tingkat daerah, Sumut.

Terdapat beberapa alasan yang bisa menjelaskan hal tersebut. Pertama, dengan statusnya sebagai menantu Jokowi, Bobby secara pukul rata diasumsikan oleh nyaris semua pihak, baik di Sumut maupun di Jakarta, sudah layak untuk menjadi pemimpin di level provinsi, meskipun tak banyak menorehkan prestasi di Kota di mana sebelumnya ia menjabat di satu sisi dan belum terlalu mampu memperlihatkan kematangan kepemimpinan di sisi lain.

Dan kedua, karena faktor pertama tersebut, akhirnya Bobby juga diasumsikan layak mendapatkan dukungan politik secara masif sebagaimana Gibran Rakabuming Raka yang pernah mendapatkan dukungan politik untuk menjadi calon wakil presiden pada Pilpres tempo hari. 

Baca juga: DAFTAR Lengkap Paslon di Pilkada Sumut, Jagoan PDIP Terdepak di Labura, Masinton Melangkah Mulus

Baca juga: MAPING Kerawanan Pada Pilkada Sumut, KPU Rapat Koordinasi dengan KIPP

Artinya, terjadi semacam “political framing” di Sumatera Utara bahwa dari kubu besar KIM, yang notabene sebenarnya terdiri dari banyak partai dan diduduki oleh banyak orang hebat (senior) di KIM tingkat Sumut, akhirnya hanya melahirkan Bobby sebagai satu-satunya yang dianggap layak mewakili KIM untuk maju sebagai calon gubernur di satu sisi dan satu-satunya tokoh yang layak berhadapan dengan petahana dengan dukungan pusat secara masif di sisi lain.

Namun demikian, pada tataran teknis, berdasarkan perkembangan dan dinamika politik Sumut terkini, asumsi tersebut akhirnya mendapat afirmasi dari hasil-hasil survei Pilkada Sumut yang ada, terlepas apapun pandangan kita terhadap hasil-hasil survei tersebut.

Bobby nyatanya memang mendapatkan angka elektabilitas yang sangat dominan. Survei Pilkada Sumut 2024 yang dirilis Katadata Telco Survey oleh Katadata Insight Center (KIC) belum lama ini menunjukkan bahwa elektabilitas Bobby tercatat dua kali lipat lebih sedikit dibanding elektabilitas Edy Rahmayadi, yakni 35 persen berbanding 17 persen, meskipun popularitas keduanya terpaut tipis, 67 persen berbanding 63 persen.

Sumber: Tribun Medan
Halaman 1/3
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved