Intelektual Publik, The Lonely Single Fighter Penjaga Tegaknya Demokrasi

Kualifikasi seorang intelektual publik adalah sosok penyuara kebenaran dan kebaikan dengan sangat berani sendirian di ruang publik

|
Editor: iin sholihin
ISTIMEWA
Dr Jannus TH Siahaan 

Oleh: Dr Jannus TH Siahaan

Dosen Pasca Sarjana Ilmu Pemerintahan Universitas Darma Agung

INDONESIA, diakui atau tidak diakui, memang tidak punya banyak intelektual publik sedari dulu. Mungkin hanya bisa dihitung jari, jika memang harus dicarikan siapa saja mereka.

Rocky Gerung adalah satu di antara mereka yang menonjol, terutama sejak sepuluh tahun lalu ketika Jokowi mulai berkuasa. 

Kualifikasi seorang intelektual publik adalah sosok penyuara kebenaran dan kebaikan dengan sangat berani sendirian di ruang publik ; sosok yang merupakan  “lonely single fighter” sebagai antithesis dari pemerintahan yang cenderung anti demokrasi dan berpihak secara buta kepada kekuasaan.

Dalam menyuarakan kebenaran, ia  hanya bermodalkan diksi-diksi keras sekaligus mematikan alias “straight to the point”, tanpa banyak basa-basi di satu sisi dan tanpa menyelipkan kepentingan apapun di balik oposisi kerasnya terhadap kekuasaan di sisi lain.

Baca juga: Sinode Godang ke-67 HKBP, Kembali ke Jalan Ketulusan dan Kesederhanaan

Risikonya, selama sepuluh tahunan masa kepemimpinan Jokowi,  sosok Rocky Gerung misalnya, sebagai satu -satunya intelektual publik berdiri kokoh sendirian dalam
menghadapi pembelaan-pembelaan dan serangan-serangan dari intelektual-intelektual “pelat merah” yang berdiri “arogan” di balik kekuasaan, baik untuk Jokowi secara personal maupun secara organisasional (presidency). 

Konsistensi dan persistensi seperti itulah yang menjadikan Rocky Gerung sebagai “Intelektual Publik” terdepan di Indonesia, yang tidak pernah mengaitkan “serangan-serangannya” dengan kepentingan tertentu, kecuali kepentingan “kontrol orang banyak” terhadap kekuasaan, yang belakangan  memang terasa semakin melemah dan  bahkan sudah mandul di negeri ini.

Baca juga: Menilik Peta Persaingan di Pilkada Sumatera Utara

Sebagaimana sering disampaikan, “oposisi solo” Rocky sejatinya bukan kepada Jokowi secara pribadi, tapi kepada Jokowi sebagai seorang presiden, lengkap dengan segala prestise dan wewenang jumbonya sebagai seorang Presiden Republik Indonesia.

Artinya, ia akan tetap menjalankan tugas “intelektual publiknya” meskipun presiden Indonesia sudah bukan Jokowi lagi. 

Terbukti, sampai perpindahan kekuasaan dari Jokowi ke Prabowo Subianto, Rocky memang tidak mengubah narasi-narasinya terhadap kekuasaan. Hasratnya untuk terus mengawal kekuasaan, siapapun yang memegangnya, nampaknya memang terus “menyala”.

Konsistensi dan persistensi tersebut adalah salah satu indikator sederhana yang menjadikan the lonely single fighter sebagai “intelektual publik” sejati di satu sisi. Dan kekuatan diksi-diksi yang lahir dari perspektif filosofis “kelas dewa” menjadikan “pengganggong kekuasaan”  sebagai elemen demokrasi strategis yang juga mampu membongkar “nalar-nalar naif” kekuasaan dengan sundulan-sundulan keras “nalar dan akal sehat”-nya di sisi lain.  

Serta lebih dari itu, kekuatan sebagai intelektual publik pun ditopang dengan kematangan mental yang patut ditiru oleh para intelektual lainnya. Dalam kasus Rocky Gerung misalnya , ia menerima hinaan dan cacian bahkan serangan fisik dengan sangat tenang, tanpa pernah melakukan pembalasan dengan narasi-narasi dan tindakan serupa. 

Seorang intelektual publik sejati justru membalasnya dengan narasi-narasi teoritik yang memiliki referensi sangat jelas sekaligus dibangun di atas landasan akal sehat yang sulit untuk dibalas oleh lawannya.

Sehingga yang terjadi kemudian adalah bahwa semakin seorang intelektual publik dijatuhkan, maka semakin ia berhasil membongkar kenaifan logika kekuasaan dari para penguasa di satu sisi dan mengekspos cacat-cacat logika lawan bicaranya di sisi lain.

Halaman 1/3
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved