Sepanjang Tahun 2024, Konsorsium PERMAMPU Jangkau Ribuan Penerima Manfaat di 8 Provinsi di Sumatra

Konsorium PERMAMPU melalui dukungan program Inklusi (program kemitraan Australia-Indonesia) menjangkau ribuan penerima manfaat lembaga dan individu.

|
TRIBUN MEDAN/HO
RIBUAN PENERIMA MANFAAT - Konsorsium PERMAMPU melaksanakan kegiatan Perayaan Hari Perempuan Pedesaan di Pangurursan, Samosir, Sumatra Utara, 22-24 Oktober 2024 lalu. Selama 2024, Konsorsium PERMAMPU telah menjangkau ribuan penerima manfaat baik lembaga maupun individu di delapan provinsi di Pulau Sumatra. 

“Ini juga memungkinkan perbaikan berkelanjutan, meningkatkan akuntabilitas dan transparansi, serta memotivasi tim untuk bekerja lebih efektif. Selain itu, monitoring memastikan bahwa program tetap selaras dengan tujuan yang ditetapkan dan membantu penguatan kapasitas tim dengan umpan balik yang konstruktif,” kata Dina. 

Adapun delapan anggota Konsorsium Permampu adalah: Flower Aceh di Aceh, Perkumpulan Sada Ahmo (PESADA) di Sumatera Utara, Lembaga Pemberdayaan Pengkajian dan Masyarakat (LP2M) di Sumatrra Barat, Pusat Pengembangan Sumberdaya Wanita Sumatera (PPSW) di Riau, Aliansi Perempuan Merangin (APM) di Jambi, WCC Cahaya Perempuan di Bengkulu, WCC Palembang di Sumatra Selatan, dan Damar Perempuan di Lampung. Saat ini, PESADA menjadi host Permampu dengan Dina Lumbantobing sebagai koordinator dibantu ooleh 2 asisten dari Bengkulu dan Lampung.

Perubahan Positif Penerima Manfaat

SEJUMLAH penerima manfaat menyampaikan perubahan positif yang dirasakan setelah ikut terlibat dalam Program Inklusi yang dilaksanakan Konsorsium PERMAMPU. Siti Nurjanah misalnya. Perempuan berusia 20 tahun yang berdomisili di Jambi ini merupakan penyandang disabilitas fisik bawaan yang disebabkan adanya kelainan bawaan yakni bibir sumbing. Awalnya Siti mengaku minder dan malu dengan keadaan fisiknya. 

Namun, karena adanya dorongan dari orang tua, Siti melatih diri untuk bisa berbaur dengan lingkungan. Bahkan, Siti mencoba mengasah kemampuannya yang ada pada dirinya agar masyarakat bisa melihat dirinya tidak dari kekuranganku, tetapi dari karyaku. “Saat ini aku merupakan atlet voli yang cukup dikenal di Kabupaten Merangin. Aku juga bekerja online dari rumah untuk menunjang ekonomi keluarga,” katanya. 

Siti mengatakan, dirinya juga bergabung sebagai perempuan muda di Aliansi Perempuan Merangin (APM). APM ini menjadi wadah baginya untuk bertukar pikiran serta selalu membimbing dan tidak lupa juga sering mengajak untuk berdiskusi saat adanya pertemuan pada forum-forum tertentu.

Perubahan positif lainnya disampaikan A, seorang korban kekerasan berulang yang dilakukan suaminya. Sejak 1995, A berjuang memutus pola kekerasan yang dialaminya melalui proses hukum yang pelik. Korban awalnya tidak cukup berani melawan pelaku karena merasa masih kurang memahami hukum, dan aparat hukum yang dijumpainya tidak berpihak pada perempuan korban KDRT. Korban beberapa kali melaporkan penganiayaan yang dialaminya ke Kepolisian (Polsek Medan Sunggal, Polsek Medan Baru, Polrestabes Medan), namun tidak diproses dengan alasan tidak memiliki bukti yang cukup.

A akhirnya bertemu PESADA yang ia dengar dari seorang anggota CU Kesadanta. PESADA kemudian mendampingi korban. Selama proses hukum yang panjang dan pelik, PESADA terus mendampingi dan menguatkan melalui pertemuan supporting group.

“Aku sekarang sudah lega, sudah tenang. Aku sudah sah janda, tapi bukan karena aku mau mencari pasangan lain. Tapi suatu waktu dia datang mau menganiaya aku lagi, aku bisa teriak dan bilang dia penjahat yang mau berbuat jahat dan dia nggak punya alasan lagi bilang ini urusan rumah tangganya, karena aku bukan istrinya lagi,” katanya. 

A berharap dengan selesainya pendampingan kasus tersebut, tidak membuat hubungannya dengan PESADA selesai pula la ingin terus terlibat dalam kegiatan penguatan perempuan korban kekerasan melalui kegiatan seperti supporting group. 

Dina Lumbantobing menambahkan, testimoni ini menjadi contoh nyata dari ratusan perempuan yang mengalami perubahan yang dirasa signifikan, sehingga mereka tidak hanya belajar mandiri secara ekonomi dan memperoleh layanan HKSR.

 “Tetapi ada kesadaran baru untuk lebih berani berbicara, menyampaikan pendapat, dan berjuang untuk mengadvokasi dari tingkat akar rumput untuk mencegah maraknya pekawinan usia anak dan di bawah usia 19 tahun, sesuai UU No 16 tahun 2019,” pungkas Dina. (top/Tribun-Medan.com)

Sumber: Tribun Medan
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved