Catatan Sepak Bola
Bagaimana Kalau Wilhelmus dan Indonesia Raya Berkumandang di Stadion yang Sama?
Laga Jumat malam itu, 6 Juni 2025 di Gelora Bung Karno, berkesudahan 1-0 dan membuat posisi Indonesia relatif aman
Penulis: T. Agus Khaidir | Editor: Ayu Prasandi
Untuk ‘Wilhelmus’, dipilih bait pertama dan keenam. Bait yang dianggap “paling mewakili” Belanda, atau Netherland, sebagai bangsa.
Jadi kenapa ‘Wilhelmus’? Kenapa bukan ‘Kimigayo’, misalnya. Atau ‘A Portugesa’, ‘La Marseillaise’, atau ‘Himno Nacional Espanol’ yang tidak memiliki lirik itu? Jawabannya terang benderang. Ini perkara kedekatan.
Historis tentu saja, yang rasa-rasanya memang tidak perlu berpanjang-panjang dijelaskan di sini. Silakan diperiksa sendiri lembar-lembar catatan sejarah, entah yang dikeluarkan pemerintah atau ditulis pihak-pihak lain, baik yang independen maupun yang bersponsor.
Belakangan, historisitas ini berkaitpaut erat pula dengan sepak bola. Sejak mendarat di Banten pada 1596, Belanda, lewat perusahaan dagang yang kemudian membonceng tentara, menyebar dan bertahan di daerah-daerah di seluruh pelosok nusantara sampai 1942.
Sepanjang waktu itu, baik secara halus maupun kasar, terjadi akulturasi. Terutama lewat perkawinan. Akulturasi juga mengental lewat migrasi.
Di tahun-tahun itu, ratusan tahun, entah berapa banyak penduduk asli nusantara yang dibawa pergi, diboyong ke Negeri Belanda –antara lain sebagai pekerja di lahan pertanian, perkebunan, perkapalan, atau masuk barisan tentara.
Akulturasi ini, yang bahkan terus berlangsung sampai sekarang, melahirkan produk-produk budaya campuran.
Tidak hanya produk budaya, seni, atau bahasa, tetapi sekaligus manusianya.
Di bidang sepak bola, seturut regulasi FIFA, Indonesia memungkinkan untuk melakukan naturalisasi terhadap para pesepak bola Belanda yang memiliki darah Indonesia (hingga batas tiga garis keturunan ke atas atau kakek dan nenek).
Kementerian Olahraga memiliki catatan, terdapat lebih dari 2.000 nama yang memungkinkan untuk dinaturalisasi.
Mereka tersebar di semua jenjang kompetisi profesional, dari Eredivisi sampai Derde Divisie alias Topklasse, kompetisi kasta keempat.
Indonesia, dalam hal ini PSSI, tak menyia-nyiakan kesempatan. Naturalisasi memang bukan barang baru.
Di belahan dunia lain sudah terjadi sejak beberapa dekade lalu. Alfredo di Stefano bahkan berpindah kewarganegaraan dua kali dan bermain untuk tiga negara: Argentina, Kolombia, dan Spanyol.
Di Indonesia, sjak era kepemimpian Nurdin Halid yang riuh rendah oleh kontroversi dan gejolak, jalan naturalisasi sudah dimulai, dan berlanjut di masa Djohar Arifin.
Kala itu, sasaran naturalisasi lebih banyak pemain-pemain asing yang berlaga di liga domestik.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.