Catatan Sepak Bola
Bagaimana Kalau Wilhelmus dan Indonesia Raya Berkumandang di Stadion yang Sama?
Laga Jumat malam itu, 6 Juni 2025 di Gelora Bung Karno, berkesudahan 1-0 dan membuat posisi Indonesia relatif aman
Penulis: T. Agus Khaidir | Editor: Ayu Prasandi
Di era dia, PSSI merekrut Shin Tae-yong, mantan pelatih Tim Nasional Korea Selatan, yang kemudian memimpin revolusi di tubuh Tim Nasional Indonesia.
Shin Tae-yong, dengan keberanian luar biasa, cenderung nekat, melakukan pemotongan generasi.
Ia membuang 90 persen anggota tim nasional, yang pada dasarnya masih berada dalam usia matang, lalu menggantinya dengan pemain-pemain belia yang banyak di antaranya bahkan tidak memiliki pengalaman internasional sama sekali.
Kita tahu langkah ini berhasil. Pelan-pelan, peringkat Indonesia naik.
Pelan-pelan, Indonesia beranjak dari tier 4 ke tier 3. Berbagai pencapaian, yang sebelumnya sekadar jauh di angan, bisa dicapai.
Termasuk lolos ke putaran tiga kualifikasi Piala Dunia.
Pencapaian ini berpengaruh sangat besar ketika Erick Thohir, suksesor Iwan Bule, memutuskan melanjutkan proses naturalisasi, secara lebih jor-joran.
Pemain-pemain keturunan Indonesia, tak terkecuali mereka yang termasuk kategori keturunan ‘blijvers’, yakni orang-orang Belanda (hingga batas tiga garis keturunan ke atas atau kakek dan nenek, yang lahir dan tinggal di Indonesia sebelum kemerdekaan atau di bawah tahun 1945), ramai-ramai menyambut ajakan.
Total sampai pekan pertama Juni 2025, sebanyak 19 pemain telah berpindah kewarganegaraan.
Kenyataan ini pulalah, yang di lain sisi, menjadi sasaran tembak orang-orang yang belum juga berhenti menyerang PSSI dan Tim Nasional Indonesia.
Entah yang mendaku memiliki kadar nasionalisme tinggi, atau yang memang sedikit banyak meletakkan dendam pribadi, baik orang-orang yang tersingkir dari struktural organisasi, tertutup “pintu rezeki”, atau yang paling konyol, berangkat dari pilihan politik.
Erick Thohir yang menteri, dipandang sebagai perpanjangan rezim Presiden Joko Widodo dan (kini) Presiden Prabowo Subianto.
Indonesia sudah lolos ke putaran empat, tapi orang-orang ini tidak pernah sedikit pun mengubah pandangannya.
Mereka tetap menyebut Tim Nasional Indonesia sebagai ‘Belanda B’, atau ‘Belanda KW’, atau bahkan menyebutnya ‘Belanda’, sembari dengan sentimen rasisme yang tinggi, tega melontar sebutan ‘inlander’, lantas menyetarakan komposisi pemain di tubuh tim nasional dengan idiom peninggalan menyakitkan dari era kolonialisme masa lalu itu, ‘verboden voor henden en inlander’.
Makin ke sini, sebagian dari kelompok ini kian kelewatan. Kian vulgar.
Namun saya kira biarkan saja! Mungkin dengan begitu mereka merasa paling ekstrem, merasa paling kritis, dan oleh sebab itu merasa paling keren pula.
Mungkin dengan cara begitu mereka merasa hidupnya agak sedikit berguna.
(T Agus Khaidir)
Baca berita TRIBUN MEDAN lainnya di Google News
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.