Pengamat Nilai Pemberian Gelar Pahlawan kepada Soeharto Jadi Alat Pencuci Luka
Pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden Soeharto telah menjadi perdebatan dalam memori kolektif bangsa.
TRIBUN-MEDAN.com, MEDAN - Pegiat HAM dan Demokrasi, Kristian Redison Simarmata mengatakan, pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden Soeharto telah menjadi perdebatan dalam memori kolektif bangsa. Bagi sebagian masyarakat sebagai “Bapak Pembangunan” yang membawa stabilitas dan pertumbuhan ekonomi, namun bagi korban kekerasan politik, aktivis dan keluarga korban pelanggaran HAM identik dengan represi, penjara dan pembungkaman.
Secara hukum, pemberian gelar Pahlawan Nasional diatur dalam UU Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan yang mana syaratnya adalah seseorang harus memiliki jasa luar biasa bagi negara, tidak pernah berkhianat, berkelakuan baik dan tidak tercela secara moral.
"Gelar yang bukan hadiah politik, melainkan simbol moral tertinggi yang mewakili keberanian, pengorbanan dan integritas, namun dalam praktiknya, penghargaan negara semakin kehilangan makna," kata Kristison dalam keterangan persnya yang diterima Tribun-Medan.com, Minggu (9/11/2025).
"Ketika seorang penguasa yang otoriter diusulkan menjadi pahlawan, masyarakat berhak bertanya: apakah negara masih memahami arti “kehormatan”? gelar pahlawan tidak seharusnya menjadi proyek politik untuk memutihkan masa lalu. Pemberian penghargaan yang mengabaikan luka korban justru memperdalam ketidakadilan, dalam banyak kasus, penghargaan negara tampak berjarak dari rasa keadilan dan lebih sering menjadi instrumen melupakan daripada mengingat," ujarnya.
Menurut Kristison, mengukuhkan Soeharto sebagai pahlawan berarti menempatkan sejarah dari perspektif penguasa, bukan rakyat. Di balik stabilitas yang dibanggakan, terdapat penjarahan sumber daya, pembungkaman oposisi dan hilangnya ribuan nyawa, yang menjadi ingatan kolektif bentuk kekerasan atas nama negara.
Tak dapat disangkal, Presiden Soeharto meninggalkan catatan pembangunan ekonomi yang mengesankan, dengan mencatat pertumbuhan ekonomi 7 persen pada 1970-1996, swasembada beras dan modernisasi birokrasi, sayangnya harus dibayar masyarakat dengan kebebasan sipil yang tercekik, korupsi sistemik dan ketimpangan sosial yang melebar
"Proyek “pembangunan nasional” dijalankan dengan gaya komando militer, demokrasi dipersempit menjadi loyalitas kepada kekuasaan, partai politik dibonsai, kebebasan pers dibatasi dan oposisi politik disingkirkan
Di balik statistik keberhasilan, tersimpan berbagai cerita penderitaan yang jarang masuk buku sejarah, Tanjung Priok 1984, Talangsari 1989, pembunuhan misterius (Petrus) awal 1980-an, serta kekerasan menjelang kejatuhan Soeharto pada Mei 1998," katanya.
"Hingga kini, korban pelanggaran HAM belum mendapatkan pemulihan yang layak, keluarga korban penculikan aktivis 1997-1998 masih menuntut kebenaran, Korban Tanjung Priok, Talangsari dan Petrus masih menunggu pengakuan negara, sementara konflik agraria akibat perampasan lahan pasca tragedi 1965 masih jadi problema," lanjutnya.
Dikatakan Kristison, pemberian gelar pahlawan kepada figur yang menyisakan catatan pelanggaran berat adalah bentuk impunitas simbolik, yang memberi pesan berbahaya bahwa kekuasaan dapat menebus dosa dengan prestasi. Ketika kejahatan negara tidak pernah diadili, ketika pelaku justru dijadikan teladan, bangsa kehilangan kompas moral, praktek Impunitas yang tidak hanya melindungi pelaku masa lalu, tetapi juga menciptakan iklim permisif bagi penyalahgunaan kekuasaan," ujarnya.
Baca juga: SOSOK dan Profil 10 Tokoh Bergelar Pahlawan Nasional 2025, Marsinah Kisahnya Tragis di Era Soeharto
Kristison menjelaskan, menolak pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto bukan berarti menolak rekonsiliasi. Justru sebaliknya, itu adalah langkah untuk memastikan rekonsiliasi berdiri di atas kebenaran, bangsa ini tidak akan pernah pulih jika terus menghindar dari masa lalunya, karena pengakuan atas kesalahan adalah awal dari penyembuhan.
Pemerintah seharusnya membuka dokumen sejarah, mengakui pelanggaran dan memberi ruang bagi korban untuk bersuara, pendidikan sejarah harus diperbaiki agar generasi muda memahami kompleksitas masa lalu, bukan hanya narasi tunggal tentang pembangunan, sehingga penghargaan negara mengajarkan integritas dan teladan moral
"Keadilan bukan sekadar hukum, melainkan keberanian moral untuk berkata jujur tentang masa lalu, dan kejujuran itulah yang menjadi fondasi kepahlawanan sejati, bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati pahlawannya, tetapi lebih besar lagi bangsa yang berani mengakui siapa yang bukan pahlawan
Presiden Soeharto akan selalu dikenang sebagai bagian penting sejarah Indonesia, tetapi sejarah tidak menuntut kita untuk memujanya, namun menuntut kita untuk belajar, bukan malah mengaburkan garis antara pelaku dan korban, antara kekuasaan dan moralitas," katanya. (*/top/Tribun-Medan.com)
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/medan/foto/bank/originals/Kristison-Simarmata.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.