Berita Medan

Intervensi Inflasi Cabai Merah Kisruh, Pedagang Petisah Tolak Harga Rp35 Ribu: Ini Mematikan Usaha

Langkah BUMD Sumut itu disebut sebagai upaya menekan pasar dan laju inflasi di Provinsi Sumut.

Penulis: Dedy Kurniawan | Editor: Ayu Prasandi
TRIBUN MEDAN/DEDY
Inflasi Cabai di Medan. Pedagang cabai di sejumlah pasar menolak strategi tekan inflasi cabai merah dengan harga Rp 35 ribu per kilogram dengan konsidi buruk dari Jawa, Senin (27/10/2025)  

TRIBUN-MEDAN.com, MEDAN – Sejumlah pedagang di Pasar Petisah menolak operasi pasar yang digelar Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Sumatera Utara melalui distribusi cabai merah dari Pulau Jawa.

Intervensi pasar yang dilakukan untuk menekan inflasi menuai sorotan. 

Mereka menilai kebijakan tersebut justru merugikan pelaku usaha lokal karena harga jual cabai merah yang ditetapkan hanya Rp35 ribu per kilogram. Mirisnya kondisi cabai sudah rusak, dibanding stok yang ada milik pedagang. 

“Kalau dijual segitu, kami pedagang kecil mau makan apa? Modal saja tak kembali. Ini sama saja mematikan usaha kami,” ujar salah seorang pedagang di Pasar Petisah, Senin (26/10/2025).

Langkah BUMD Sumut itu disebut sebagai upaya menekan pasar dan laju inflasi di Provinsi Sumut.

Namun, kebijakan tersebut menuai kritik dari berbagai pihak, termasuk Founder Ethics of Care, Farid Wajdi.

Farid menilai, narasi keberhasilan pemerintah menurunkan harga cabai merah hingga Rp35 ribu/kg justru menyesatkan logika publik.

Apalagi, menurutnya, pasokan cabai lokal saat ini sudah mencukupi kebutuhan masyarakat.

“Pertanyaannya, apakah intervensi seperti ini benar-benar efektif atau hanya langkah seremonial yang dibungkus dengan narasi keberhasilan?” ujar mantan Anggota Komisi Yudisial itu kepada wartawan.

Farid menjelaskan, persoalan utama terletak pada skala intervensi yang tidak sebanding dengan kebutuhan pasar.

Distribusi sekitar 500 kilogram cabai merah di satu titik pasar besar, kata dia, tidak akan berdampak signifikan.

“Efeknya hanya sesaat, mungkin menurunkan harga di satu lokasi dalam waktu singkat, tapi tidak berpengaruh pada stabilitas harga di pasar lain,” ujarnya.

Ia menilai kebijakan seperti ini hanya menjadi 'kosmetika ekonomi', terlihat menenangkan di permukaan.

Namun tidak menyentuh akar masalah sebenarnya seperti rantai pasok dan tata niaga pangan yang belum efisien.

"Publik berhak mengkritisi pola komunikasi pemerintah yang lebih sibuk membangun citra ketimbang memperbaiki sistem. Narasi harga turun tanpa data komprehensif hanya melahirkan yang disebut ekonom sebagai inflasi naratif, stabilitas semu yang dibangun lewat wacana, bukan realitas," tegas Farid.

Sumber: Tribun Medan
Halaman 1/3
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved