Gelar Pahlawan Nasional

Daftar Kejahatan HAM yang Diduga Libatkan Soeharto Eks Mertua Prabowo Menurut KontraS

Rencana pemberian gelar pahlawan terhadap Presiden RI ke 2 Soeharto menuai kecaman dan polemik.

Editor: Array A Argus
Instagram
FOTO BERSAMA- Presiden RI ke 2 Soeharto dan Prabowo Subianto saat berfoto bersama. 
Ringkasan Berita:

 

TRIBUN-MEDAN.COM,- Pemberian gelar pahlawan nasional terhadap Presiden RI ke 2, Soeharto menuai polemik dan kecaman.

Kalangan aktivis menilai bahwa rencana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto sangat tidak tepat.

Sebab, Soeharto ditengarai terlibat dalam tindak dugaan kejahatan HAM (Hak Azasi Manusia) di beberapa wilayah Indonesia.

Di sisi lain, pemerintah RI yang sekarang dipimpin Prabowo Subianto ingin memberikan gelar pahlawan nasional itu pada Soeharto sebagai bentuk penghormatan kepada para pendahulu bangsa.

Baca juga: Redenominasi Rupiah yang Diwacanakan Purbaya Pernah Berlaku Tahun 1959, Ternyata Ini Manfaatnya

Soeharto sendiri adalah mantan mertuanya Prabowo Subianto.

Prabowo sempat menikah dengan Siti Hediati Hariyadi atau Titiek Soeharto.

 "Keputusan itu jelas merupakan skandal politik. Pertama, menabrak batas-batas yuridis khususnya TAP MPR Nomor 11/MPR/1998. TAP MPR produk reformasi itu sekarang menjadi sampah," kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid, dikutip dari Kompas.com.

Tidak hanya kalangan aktivis, kalangan santri juga menolak pemberian gelar pahlawan nasional terhadap Soeharto.

Baca juga: Harga Emas Antam 10 November 2025 Bersinar Lagi, Tembus Rp 2,3 Juta

“Saya ini orang yang paling tidak setuju kalau Soeharto dijadikan Pahlawan Nasional,” kata KH Ahmad Mustofa Bisri atau Gus Mus, Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan tokoh pesantren asal Rembang, Jawa Tengah, dikutip dari NU Online.

Ia mengatakan, bahwa adiknya sendiri punya pengalaman pahit selama Soeharto memimpin Indonesia.

"Adik saya sendiri, Kiai Adib Bisri, akhirnya keluar dari PNS karena dipaksa masuk Golkar,” ungkapnya.

MANTAN PRESIDEN SOEHARTO: Mantan Presiden atau Presiden RI kedua Soeharto. Gambar diambil pada 15 Januari 1998. Wacana pengusulan Soeharto dapat gelar Pahlawan Nasional diwarnai penolakan
MANTAN PRESIDEN SOEHARTO: Mantan Presiden atau Presiden RI kedua Soeharto. Gambar diambil pada 15 Januari 1998. Wacana pengusulan Soeharto dapat gelar Pahlawan Nasional diwarnai penolakan (ARSIP Kompas/JB Suratno)

Menabrak TAP MPR 11/1998 

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menilai bahwa pemberian gelar pahlawan nasional terhadap Soeharto telah menabrak TAP MPR XI/MPR/1998 tertanggal 13 November 1998.

TAP MPR 11/1998 adalah ketetapan yang mengatur penyelenggara negara harus jujur, adil, terbuka, terpercaya, dan mampu membebaskan diri dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Dalam TAP MPR tersebut, ada nama Soeharto.

Baca juga: Masih Belum Kapok, Roy Suryo Tuduh Gibran Punya Ijazah Palsu: Bodong Itu di Australia

"Upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga, dan kroninya maupun pihak swasta/konglomerat termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak-hak, asasi manusia," bunyi Pasal 4 TAP MPR 11/1998.

"Soeharto dituding sebagai pelaku korupsi, kolusi dan nepotisme. Meski demikian, upaya membongkar kejahatan pidana korupsi Soeharto berujung kegagalan. Kasus terhenti dengan dikeluarkannya Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara (SKP3) tertanggal 12 Mei 2006 oleh Jaksa Agung saat itu, Abdul Rahman Saleh karena alasan kesehatan," tulis siaran pers YLBHI yang diterbitkan pada 1 November 2025.

Dalam siaran pers itu ditegaskan, bahwa Prabowo Subianto yang sekarang menjadi Presiden RI mestinya tidak memberikan karpet merah bagi Soeharto untuk dijadikan pahlkawan nasional.

Baca juga: KERJAAN Najmuddin Jadi Sorotan, Pamer Hadiah Ultah untuk Anak Beri Lamborghini Seharga Rp 25 Miliar

"Presiden Prabowo yang terpilih di iklim reformasi seharusnya tampil sebagai negarawan untuk meneguhkan supremasi hukum dengan menuntut pertanggungjawaban hukum Soeharto dan kroninya ke pengadilan sebagai mandat reformasi 1998, bukan malah memberi karpet merah terhadap mantan Presiden Soeharto menjadi pahlawan. Padahal sejarah dan regulasi yang memandatkan negara menyeret Soeharto dan kroni-kroninya untuk dimintai pertanggungjawaban hukum sudah sangat jelas dan tidak berubah hingga kini melalui TAP MPR No. 11 Tahun 1998 tentang Pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme," tulis YLBHI.

Dengan adanya usulan gelar pahlawan nasional terhadap Soeharto itu justru menunjukkan adanya kontradiksi dengan mandat reformasi 1998 yang menuntut agar Soeharto diadili. 

Daftar Kasus Kejahatan HAM yang Diduga Melibatkan Soeharto

Kompas.com pernah menurunkan artikel berjudul Kontras Paparkan 10 Kasus Pelanggaran HAM yang Diduga Melibatkan Soeharto pada 25 Mei 2016.

Dalam ulasan itu dibeberkan apa saja kasus kejahatan HAM yang diduga melibatkan mantan mertua Prabowo Subianto itu.

Baca juga: Download Twibbon Hari Pahlawan 2025, Tunjukkan Rasa Hormatmu di Media Sosial

1. Kasus Pulau Buru 1965-1966

Soeharto dalam tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan di Pulau Buru bertindak sebagai Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban yang disingkat Pangkoops Pemulihan Kamtub.

Melalui keputusan Presiden Nomor 179/KOTI/65, secara resmi berdiri Komando Operasi Pemulihan Kemanan dan Ketertiban (KOPKAMTIB).

Sebagai Panglima Kopkamtib, Soeharto diduga telah menyebabkan ribuan orang menjadi korban pembunuhan, penangkapan, penahanan massal dan pembuangan ke pulau Buru. ("Laporan Tim Pengkajian Pelanggaran HAM Soeharto", Komnas HAM 2003).

MBAK TUTUT - Siti Hardiyanti Hastuti Rukmana atau Tutut Soeharto bersama foto almarhum Soeharto. Wanita yang lebih akrab disapa Mbak Tutut tersebut menggugat Menteri Keuangan
MBAK TUTUT - Siti Hardiyanti Hastuti Rukmana atau Tutut Soeharto bersama foto almarhum Soeharto. Wanita yang lebih akrab disapa Mbak Tutut tersebut menggugat Menteri Keuangan (Arsip Tribunnews.com/Vincentius Jyestha)

Baca juga: Profil Joan Mir, Pebalap Muda dengan Prestasi Gemilang di Kancah Internasional

2. Penembakan misterius 1981-1985

"Hukuman mati" terhadap residivis, bromocorah, gali, preman tanpa melalui pengadilan ini dikenal sebagai "penembakan misterius" yang terjadi sepanjang 1981-1985.

Dugaan bahwa ini merupakan kebijakan Soeharto dinilai Kontras terlihat jelas dalam pidato rutin kenegaraan pada Agustus 1981.

Soeharto mengungkapkan bahwa pelaku kriminal harus dihukum dengan cara yang sama saat ia memperlakukan korbannya. Operasi tersebut juga bagian dari shocktherapy, sebagaimana diakui Soeharto dalam otobiografinya, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (ditulis Ramadhan KH, halaman 389, 1989).

Amnesty Internasional dalam laporannya mencatat korban jiwa karena kebijakan tersebut mencapai kurang lebih sekitar 5.000 orang, tersebar di wilayah Jawa Timur, Jawa Tengah dan Bandung. (Amnesty Internasional, 31 Oktober 1983; "Indonesia-Extrajudicial Executions of Suspected Criminals").

Baca juga: Alasan Pemerintah Tetapkan Soeharto dan 9 Tokoh Lainnya Jadi Pahlawan Nasional

3. Tanjung Priok 1984-1987

Dalam peristiwa Tanjung Priok 1984-1987 Soeharto dianggap menggunakan KOPKAMTIB sebagai instrumen penting mendukung dan melindungi kebijakan politiknya.

Selain itu Soeharto juga selaku panglima tertinggi telah mengeluarkan sikap, pernyataan dan kebijakan yang bersifat represif untuk mengeliminasi berbagai respon masyarakat terhadap kebijakan asas tunggal Pancasila yang dikeluarkan Orde Baru.

Dalam menangani persoalan ini, Soeharto dinilai Kontras kerap membuat pernyataan dan kebijakan yang membolehkan kekerasan dalam mengendalikan respon rakyat atas kebijakan penguasa pada saat itu. Di antaranya di depan Rapat Pimpinan (RAPIM) ABRI di Riau, 27 Maret 1980.

Baca juga: Masih Dicari Polisi, Sosok Pembeli Balita 4 Tahun, Pengakuan Pelaku Akan Dijual Rp 80 Juta

Soeharto sebagai presiden dan penanggung jawab seluruh kegiatan KOPKAMTIB disebut mewajibkan ABRI mengambil tindakan represif untuk menghadapi kelompok-kelompok Islam yang dianggap sebagai golongan ekstrem yang harus dicegah dan ditumpas seperti penanganan G 30 S.

Akibat dari kebijakan ini, dalam Peristiwa Tanjung Priok 1984, sekitar lebih 24 orang meninggal, 36 terluka berat, 19 luka ringan. ("Laporan 5 Sub Tim Kajian, Tim Pengkajian Pelanggaran HAM Soeharto", Komnas HAM, 2003).

4. Talangsari 1984-1987

Kebijakan represif yang dinilai Kontras diambil Soeharto terhadap kelompok-kelompok Islam yang dianggap ekstrem juga mengakibatkan meletusnya peristiwa Talangsari 1984-1987.

Akibatnya, menghasilkan korban 130 orang meninggal, 77 orang mengalami pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, 53 orang terampas kemerdekaanya, 45 orang mengalami penyiksaan, dan 229 orang mengalami penganiayaan.

("Laporan Ringkasan Tim ad hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM Berat Talangsari 1989", Komnas HAM, 2008).

5. Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh (1989-1998)

Pemberlakukan operasi ini adalah kebijakan yang diputuskan secara internal oleh ABRI setelah mendapat persetujuan dari Presiden Soeharto ("Laporan 5 Sub Tim Kajian, Tim Pengkajian Pelanggaran HAM Soeharto", Komnas HAM, 2003).

Operasi militer ini telah melahirkan penderitaan yang berkepanjangan bagi masyarakat Aceh, khususnya perempuan dan anak-anak.

Berdasarkan hasil investigasi Komnas HAM, dalam kurun waktu sepuluh tahun berlangsungnya operasi militer telah menyebabkan sedikitnya 781 orang tewas, 163 orang hilang, 368 orang mengalami penyiksaan/penganiayaan dan 102 perempuan mengalami pemerkosaan.

6. DOM Papua (1963-2003)

Pemberlakuan ini dimaksudkan untuk mematahkan perlawanan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Kebijakan ini mengakibatkan terjadinya berbagai peristiwa seperti Teminabun 1966-1967, sekitar 500 orang ditahan dan kemudian dinyatakan hilang,

Peristiwa Kebar 1965 dengan 23 orang terbunuh, Peristiwa Manokwari 1965 dengan 64 orang dieksekusi mati, peristiwa Sentani dengan 20 orang menjadi korban penghilangan paksa, Enatorali 1969-1970, 634 orang terbunuh.

Sementara Peristiwa Jayawijaya dan Wamena Barat, melalui Operasi Tumpas pada kurun waktu 1970-1985 terjadi pembantaian di 17 desa. ("Laporan 5 Sub Tim Kajian, Tim Pengkajian Pelanggaran HAM Soeharto", Komnas HAM, 2003).

7. Peristiwa 27 Juli 1996

Dalam Peristiwa 27 Juli, Soeharto memandang Megawati sebagai ancaman terhadap kekuasaan politik Orde Baru.

Soeharto hanya menerima Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDI pimpinan Suryadi yang menjadi lawan politik PDI pimpinan Megawati.

Aksi kekerasan yang diduga berupa pembunuhan, penangkapan dan penahanan dilakukan terhadap para simpatisan PDI pimpinan Megawati.

Dalam peristiwa ini, 11 orang meninggal, 149 luka-luka, 23 orang hilang, 124 orang ditahan.

8. Penculikan dan Penghilangan Secara Paksa 1997–1998

Peristiwa ini terjadi tidak terlepas dari konteks politik peristiwa 27 Juli, yakni menjelang Pemilihan Umum 1997 dan Sidang Umum MPR 1998.

Pada masa itu wacana pergantian Soeharto kerap disuarakan.

Setidaknya 23 aktivis pro demokrasi dan masyarakat yang dianggap akan bergerak melakukan penurunan Soeharto menjadi korban penculikan dan penghilangan paksa.

Komando Pasukan Khusus, (Kopassus) disebut menjadi eksekutor lapangan, dengan nama operasi "Tim Mawar".

Sebanyak 9 orang dikembalikan, 1 orang meninggal dunia dan 13 orang masih hilang ("Laporan Hasil Penyelidikan Tim Ad Hoc Penyelidikan Peristiwa Penghilangan Paksa", 2006).

9. Peristiwa Trisakti 12 Mei 1998

Peristiwa Trisakti 1998, terjadi pada 12 Mei 1998. Saat itu aktivis dan mahasiswa pro demokrasi mendorong reformasi total dan turunnya Soeharto dari jabatannya karena krisis ekonomi dan maraknya korupsi kolusi dan nepotisme (KKN).

Tindakan represif penguasa melalui ABRI menyebabkan jatuhnya korban jiwa dan luka-luka. Empat orang mahasiswa Universitas Trisakti tewas tertembak peluru aparat keamanan.

10. Kerusuhan 13–15 Mei 1998

Peristiwa 13–15 Mei 1998 merupakan rangkaian dari kekerasan yang terjadi dalam peristiwa Trisakti, penculikan dan penghilangan paksa.

Ketidakberdayaan pemerintahan Soeharto mengendalikan tuntutan mahasiswa dan masyarakat, direspons dengan sebuah "pembiaran" kekerasan dan kerusuhan pada 13-15 Mei 1998.

Dalam peristiwa ini terjadi pembunuhan, penganiayaan, perusakan, pembakaran, penjarahan, penghilangan paksa, perkosaan, serta penyerangan terhadap etnis tertentu.(ray/tribun-medan.com)

Baca berita TRIBUN MEDAN lainnya di Google News

Ikuti juga informasi lainnya di FacebookInstagram dan Twitter dan WA Channel

Berita viral lainnya di Tribun Medan 

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved