Berita Viral
Ingat Alasan Utama Pelengseran Soeharto 1998 soal KKN, Gelar Pahlawan Dianggap Cederai Anti-korupsi
Alasan utama pelengseran Soeharto pada 1998 lalu diingatkan lagi oleh Mantan penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), M Praswad Nugraha.
TRIBUN-MEDAN.com - Alasan utama pelengseran Soeharto pada 1998 lalu diingatkan lagi oleh Mantan penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), M Praswad Nugraha.
Praswad menyebut, alasan utama pelengseran Soeharto pada era reformasi kala itu, yakni maraknya Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
Dia melontarkan kritik keras terkait keputusan pemerintah menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 RI Soeharto.
Menurutnya, langkah ini berpotensi menjadi masalah mendasar pasca-reformasi dan mencederai semangat anti-korupsi.
Baca juga: Redenominasi Rupiah yang Diwacanakan Purbaya Pernah Berlaku Tahun 1959, Ternyata Ini Manfaatnya
"Soeharto diturunkan karena persoalan Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang merajalela," kata Praswad dalam keterangannya, Senin (10/11/2025).
Ia memandang, dari sudut pandang kampanye anti-korupsi, pemberian gelar ini sangat problematis.
Praswad menilai, menempatkan Soeharto—tokoh yang diturunkan karena isu korupsi—sejajar dengan pahlawan lain seperti Wakil Presiden Indonesia pertama, Mohammad Hatta, yang dikenal sebagai tokoh anti-korupsi, adalah sebuah ironi.
"Ini bukanlah preseden yang baik serta dapat menyebabkan adanya pembelokan sejarah yang dilakukan secara nyata," ujarnya.
Praswad juga mendesak pemerintah untuk lebih menahan diri dalam mengambil kebijakan yang bersifat kontroversial dan mengabaikan suara publik.
"Pemerintah harusnya dapat menahan diri untuk melakukan kebijakan yang kontroversial," katanya.
Ia mengkritik tindakan yang dinilainya sebagai upaya menyenangkan presiden tanpa mempertimbangkan risiko kekecewaan publik.
Menurut Praswad, pemerintah seharusnya belajar dari sejarah dan membaca penolakan masif yang selama ini muncul terkait usulan gelar pahlawan bagi Soeharto.
"Tindakan para oknum di pemerintahan yang berupaya menyenangkan presiden tanpa memberikan pertimbangan resiko kekecewaan publik menjadi persoalan yang berpotensi melahirkan kebijakan yang koruptif dan tidak partisipatif," katanya.
Wacana penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 RI Soeharto yang akan diumumkan hari ini, Senin (10/11/2025), menuai kritik tajam dari para pegiat anti-korupsi.
IM57+ Institute, organisasi yang mewadahi para mantan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), menilai langkah ini sebagai bentuk pengaburan sejarah koruptif di Indonesia.
Ketua IM57+ Institute, Lakso Anindito, yang juga merupakan mantan penyidik KPK, menyatakan bahwa pemberian gelar ini ironis di tengah upaya pemulihan aset hasil kejahatan Soeharto yang masih berlangsung.
"Saat berbagai upaya untuk memulihkan aset hasil kejahatan Soeharto dilakukan, pada sisi lain, malah terdapat penegasan status Soeharto menjadi pahlawan," kata Lakso dalam keterangan tertulisnya, Senin (10/11/2025).
Lakso mempertanyakan kelayakan seorang presiden yang memiliki sejarah dugaan keterlibatan korupsi untuk menyandang gelar pahlawan.
Menurutnya, hal ini berbahaya karena dapat menciptakan preseden buruk bagi para pemimpin di masa depan.
"Ini berbahaya karena akan membuat preseden bagi para presiden ke depan bahwa tidak masalah terlibat dalam skandal apapun, asalnya memiliki kekuasaan maka seluruh skandal seakan terhapus," ujar Lakso.
Lebih lanjut, ia mengkhawatirkan konsekuensi hukum dari status pahlawan tersebut.
Ia mempertanyakan apakah proses pemulihan aset yang terus berlanjut nantinya dapat dianggap sebagai penistaan karena menelusuri harta seorang pahlawan nasional.
IM57+ Institute, yang terdiri dari para mantan pegawai KPK yang disingkirkan melalui Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang direkayawa juga menyoroti prioritas kebijakan pemerintah.
Menurut Lakso, di saat RUU Perampasan Aset yang krusial bagi pemberantasan korupsi belum juga disahkan, pemerintah justru sibuk memberikan gelar bagi sosok yang kontroversial karena isu korupsi.
"Prioritas yang tidak sesuai dengan aspirasi rakyat ini bisa menjadi tumpukan kekecewaan terhadap kinerja pemerintah ke depan," katanya.
Diberitakan, pemerintah akan mengumumkan secara resmi para penerima gelar Pahlawan Nasional tahun 2025 hari ini.
Menteri Sosial Saifullah Yusuf sebelumnya mengungkapkan bahwa Dewan Gelar Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (GTK) telah menyerahkan 49 nama usulan kepada presiden.
Selain Soeharto, beberapa nama lain yang turut diusulkan dan mencuri perhatian publik adalah Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan aktivis buruh Marsinah.
Sebelumnya, usulan penganugerahan gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto telah menuai perdebatan panjang.
500 Aktivis Menolak
Tercatat, sebanyak 500 aktivis dan akademisi telah menyatakan penolakan terhadap usulan tersebut.
Adapun rencana penetapan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional sebelumnya telah dikonfirmasi oleh Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi.
Saat ditemui di Kertanegara, Jakarta Selatan, Minggu (9/11/2025), Prasetyo membenarkan masuknya nama Soeharto dalam daftar penerima gelar.
"Ya, masuk, masuk. Besok (hari ini), Insya Allah akan diumumkan. Kurang lebih sepuluh nama," kata Prasetyo.
Gelombang penolakan pemberian gelar pahlawan nasional pada mantan Predisen RI Soeharto terus bermunculan.
Sebelumnya, korban atau penyintas tragedi Tanjung Priok 1984, menolak wacana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden kedua RI, Soeharto.
Aktivis korban penyintas tragedi 1965, Bedjo Untung hingga 468 tokoh juga menolak.
Megawati Kenang Masa Sulit Era Orde Baru
Presiden Kelima Republik Indonesia Megawati Soekarnoputri, mengenang masa sulit yang dialami keluarganya saat berupaya memakamkan sang ayah, Presiden pertama Republik Indonesia Soekarno, di Taman Makam Pahlawan (TMP) setelah wafat pada tahun 1970.
Megawati bercerita bahwa keluarga sempat mengajukan permohonan agar Bung Karno dimakamkan secara layak di TMP, namun permohonan tersebut ditolak oleh pemerintah Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto.
Megawati mengungkapkan bahwa hanya untuk memakamkan Bung Karno saja sangat sulit, sehingga akhirnya beliau dimakamkan di tempat lain yang kini dikenal sebagai makam proklamator bangsa.
“Hanya untuk dimakamkan saja susahnya bukan main. Makanya kenapa beliau tidak seperti biasanya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan, tapi beliau dimakamkan di sini,” ujar Megawati di hadapan para akademisi dan delegasi dari 30 negara dalam seminar internasional peringatan 70 tahun Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Blitar, Jawa Timur, Sabtu (1/11/2025) dikutip dari artikel Kompas.com.
Lokasi makam Bung Karno di Blitar awalnya adalah taman pahlawan bagi para prajurit Pembela Tanah Air (PETA) yang gugur dalam perjuangan melawan penjajah.
“Di sini, supaya sejawat saya yang dari luar negeri tahu, ini sebetulnya dulu taman pahlawan dari banyak prajurit kami, yang disebut PETA. Pada waktu dulu melawan Belanda, tempat ini kecil dan tidak terpelihara,” kata Megawati.
Tempat ini menjadi lokasi pemakaman Bung Karno setelah Presiden Soeharto menolak permintaan keluarga agar sang proklamator dimakamkan di TMP Kalibata.
“Oleh Presiden Soeharto pada waktu itu, ketika keluarga meminta untuk bisa ditempatkan sewajarnya di taman makam pahlawan, beliau tidak setuju. Tapi ditaruh di sini," imbuh dia.
Megawati menyebut keputusan Soeharto tersebut sebagai simbol perjuangan tersendiri bagi dirinya dan keluarganya, serta menegaskan bahwa Bung Karno selalu mengingatkan Megawati untuk terus berjuang menjaga warisan pemikirannya hingga akhir hayatnya.
“Sehingga sampai akhir hayatnya pun beliau menuntut saya tetap berjuang bagi dirinya sendiri,” ucap Megawati.
Meski awalnya melalui proses yang sulit, makam Bung Karno kini menjadi salah satu tempat yang banyak dikunjungi masyarakat dari berbagai daerah dan negara.
Megawati mengajak para peserta seminar untuk tidak sekadar mengenang sejarah, tetapi juga meneguhkan kembali arah peradaban dan nilai-nilai kemerdekaan yang diwariskan Bung Karno.
Sementara itu, usulan pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto, memicu kontroversi dan perdebatan di kalangan elite politik dan masyarakat.
PDI-P mempertanyakan prosedur dan dasar pengusulan gelar pahlawan nasional untuk Soeharto.
(*/TRIBUN-MEDAN.com)
Sumber: tribunnews.com
Baca berita TRIBUN MEDAN lainnya di Google News
Ikuti juga informasi lainnya di Facebook, Instagram dan Twitter dan WA Channel
Berita viral lainnya di Tribun Medan
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/medan/foto/bank/originals/Menolak-Soeharto-pahlawan.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.