Berita Viral

Putri Gus Dur Pertanyakan Rekam Jejak Soeharto, Gelar Pahlawan Prematur,Banyak PR Belum Diselesaikan

Sehari pasca penobatan gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden RI kedua, Soeharto masih jadi perdebatan.

|
Editor: Salomo Tarigan
Kolase Tribunwoiw
PUTRI GUS DUR - Foto Putri Gus Dur Alissa Qotrunnada Wahid dan Gus Dur 

“Orang NU kalau ada yang ikut-ikutan mengusulkan berarti tidak ngerti sejarah,” tegas pengasuh Pesantren Raudlatut Thalibin itu.

Gus Mus mengingatkan bahwa banyak tragedi menimpa kiai, santri, dan warga NU selama Orde Baru.

Salah satunya terjadi saat Pemilu 1971 di Losarang, Indramayu—basis kuat Partai NU—di mana warga mengalami intimidasi, teror, hingga perlakuan sadis.

Pelengseran Soeharto 1998 soal Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme

Alasan utama pelengseran Soeharto pada 1998 lalu diingatkan lagi oleh Mantan penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), M Praswad Nugraha.

Praswad menyebut, alasan utama pelengseran Soeharto pada era reformasi kala itu, yakni maraknya Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).

Dia melontarkan kritik keras terkait keputusan pemerintah menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 RI Soeharto

Menurutnya, langkah ini berpotensi menjadi masalah mendasar pasca-reformasi dan mencederai semangat anti-korupsi.

Baca juga: Foto Marsinah dan Soeharto Jadi Sorotan, Dulu Heboh Marsinah Diduga Disekap di Markas Militer

Baca juga: Redenominasi Rupiah yang Diwacanakan Purbaya Pernah Berlaku Tahun 1959, Ternyata Ini Manfaatnya

"Soeharto diturunkan karena persoalan Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang merajalela," kata Praswad dalam keterangannya, Senin (10/11/2025).

Ia memandang, dari sudut pandang kampanye anti-korupsi, pemberian gelar ini sangat problematis. 

Praswad menilai, menempatkan Soeharto—tokoh yang diturunkan karena isu korupsi—sejajar dengan pahlawan lain seperti Wakil Presiden Indonesia pertama, Mohammad Hatta, yang dikenal sebagai tokoh anti-korupsi, adalah sebuah ironi.

"Ini bukanlah preseden yang baik serta dapat menyebabkan adanya pembelokan sejarah yang dilakukan secara nyata," ujarnya.

Praswad juga mendesak pemerintah untuk lebih menahan diri dalam mengambil kebijakan yang bersifat kontroversial dan mengabaikan suara publik.

"Pemerintah harusnya dapat menahan diri untuk melakukan kebijakan yang kontroversial," katanya.

Ia mengkritik tindakan yang dinilainya sebagai upaya menyenangkan presiden tanpa mempertimbangkan risiko kekecewaan publik. 

Menurut Praswad, pemerintah seharusnya belajar dari sejarah dan membaca penolakan masif yang selama ini muncul terkait usulan gelar pahlawan bagi Soeharto.

"Tindakan para oknum di pemerintahan yang berupaya menyenangkan presiden tanpa memberikan pertimbangan resiko kekecewaan publik menjadi persoalan yang berpotensi melahirkan kebijakan yang koruptif dan tidak partisipatif," katanya.

Wacana penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 RI Soeharto yang akan diumumkan hari ini, Senin (10/11/2025), menuai kritik tajam dari para pegiat anti-korupsi. 


IM57+ Institute, organisasi yang mewadahi para mantan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), menilai langkah ini sebagai bentuk pengaburan sejarah koruptif di Indonesia.


Ketua IM57+ Institute, Lakso Anindito, yang juga merupakan mantan penyidik KPK, menyatakan bahwa pemberian gelar ini ironis di tengah upaya pemulihan aset hasil kejahatan Soeharto yang masih berlangsung.


"Saat berbagai upaya untuk memulihkan aset hasil kejahatan Soeharto dilakukan, pada sisi lain, malah terdapat penegasan status Soeharto menjadi pahlawan," kata Lakso dalam keterangan tertulisnya, Senin (10/11/2025).


Lakso mempertanyakan kelayakan seorang presiden yang memiliki sejarah dugaan keterlibatan korupsi untuk menyandang gelar pahlawan


Menurutnya, hal ini berbahaya karena dapat menciptakan preseden buruk bagi para pemimpin di masa depan.


"Ini berbahaya karena akan membuat preseden bagi para presiden ke depan bahwa tidak masalah terlibat dalam skandal apapun, asalnya memiliki kekuasaan maka seluruh skandal seakan terhapus," ujar Lakso.


Lebih lanjut, ia mengkhawatirkan konsekuensi hukum dari status pahlawan tersebut. 


Ia mempertanyakan apakah proses pemulihan aset yang terus berlanjut nantinya dapat dianggap sebagai penistaan karena menelusuri harta seorang pahlawan nasional.

 

Baca juga: Terjepit di Lift, Peristiwa Tragis Menewaskan Seorang Teknisi di Sebuah Restoran

(*/TRIBUN-MEDAN.com)

Sumber: Tribunnews.com

Baca berita TRIBUN MEDAN lainnya di Google News

Ikuti juga informasi lainnya di FacebookInstagram dan Twitter dan WA Channel

Berita viral lainnya di Tribun Medan 

Halaman 4/4
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved