Berita Viral

VIRAL Dua Anak Bak Pernikahan Dewasa di Sumenep, Orangtua Klaim Tradisi Bukan Eksploitasi Anak

Viral di media sosial video pertunangan anak di Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, Senin (17/11/2025).

Editor: AbdiTumanggor
KOMPAS.COM/ Nur Khalis
Dua anak di bawah umur di Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, foto bersama dengan keluarga kedua belah pihak saat acara pernikahan ala orang dewasa. (KOMPAS.COM/ Nur Khalis) 

TRIBUN-MEDAN.COM - Viral di media sosial video pertunangan anak di Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, Senin (17/11/2025).

Dalam video viral itu, dua anak yang ditunangkan tampil memakai baju adat seperti layaknya pengantin dewasa.

Kedua anak didampingi masing-masing orangtuanya.

Pakaian yang dikenakan lengkap dengan riasan, dan atribut acara. 

Pertunangan tersebut digelar meriah.

Kedua anggota keluarga besar mengenakan pakaian dengan warna senada, termasuk para besan.

Dikutip Tribun-medan.com dari Kompas.com, diketahui acara itu digelar pada 6 November 2025.

Lokasi acara tepatnya di Dusun Lembana, Desa Bencamara, Pulau Gili Iyang, Kecamatan Dungkek, Kabupaten Sumenep

Dalam surat undangan di video, tercatat acara itu dimeriahkan oleh sinden.

Bahkan, penerima tamunya melibatkan anggota DPRD Kabupaten Sumenep.

Anak yang ditunangkan berinisial A, putra dari MA dan R, warga Desa Bencamara.

Sementara itu, pasangan perempuannya atas nama P, putri dari AM dan H, warga Desa Banraas, Pulau Gili Iyang. 

Ayah dari P alias Putri, membenarkan acara itu berlangsung di rumahnya.

Perbedaan hanya terletak pada cara perayaannya.

“Tradisi ini sudah turun-temurun di Pulau Gili Iyang,” kata MA kepada wartawan.

“Yang membedakan hanya dirayakan dengan acara dan atau sebagian digelar dengan sederhana,” ucap dia.

Namun begitu, MA menegaskan, tradisi tersebut bukan eksploitasi anak. 

“Ini fakta, tingkat keberhasilan pertunangan anak kecil di Pulau Gili Iyang mencapai 85 persen berhasil,” kata dia.

MA juga menyampaikan, dalam setiap hajatan di Pulau Gili Iyang, ada tradisi “tompangan”.

Tradisi tompangan itu yaitu kebiasaan warga memberikan sumbangan berupa uang, barang, atau dukungan lain ketika ada keluarga atau kerabat yang menggelar hajatan. 

Menurutnya, tompangan menjadi bentuk “pangesto” atau tali asih agar warga tetap rukun dan saling mendukung dalam setiap acara keluarga.

Secara terpisah, AM, pihak laki-laki, menyampaikan hal serupa.

Menurutnya tradisi tersebut sudah ada sejak turun-temurun. 

“Bagi warga Gili Iyang, tentunya setiap orang tua tidak ingin mengeksploitasi anaknya,” ujar dia.

Dia mengatakan, tradisi pertunangan anak di Pulau Gili Iyang terus dijalankan oleh masyarakat setempat hingga kini.

“Semua yang terjadi adalah bagian dari tradisi di Pulau Gili Iyang,"ujarnya.

"Sejauh ini tingkat keberhasilan atas pertunangan anak itu juga cukup tinggi,” klaimnya.

Pemaparan laporan data jumlah perkawinan anak Agustus 2025
Pemaparan laporan data jumlah perkawinan anak Agustus 2025.(KOMPAS.com/Mega Silvia)

.

Pulau Bali Darurat Perkawinan Anak, Paling Banyak Terjadi di Buleleng

Di sisi lain, Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) Provinsi Bali mencatat sepanjang tahun 2024 terdapat 368 permohonan dispensasi kawin anak di Bali.

Terjadi kenaikan dari 335 permohonan pada tahun 2023, dan paling banyak terjadi di Kabupaten Buleleng.

Perkawinan kerap dianggap menjadi solusi ketika kehamilan terjadi. Akibatnya, hak-hak dasar anak pun terampas.

Dilaporkan bahwa pada tahun 2024, pengajuan permohonan dispensasi kawin anak di Pengadilan Negeri ada sebanyak 293 permohonan.

Sementara di Pengadilan Agama ada 75 permohonan. “Akhirnya ketika ia (anak) menikah, mereka jadi tidak melanjutkan pendidikannya," kata Ketua KPAD Bali, Ni Luh Gede Yastini. 

Dia menyampaikan hal itu saat peluncuran Program Tantri, yang berfokus pada isu kekerasan seksual dan perkawinan anak, pada Jumat (24/10/2025) lalu.

Program itu diinisiasi oleh Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Daerah Bali.

Dia mengungkapkan, sejauh ini terdapat empat permohonan izin dispensasi kawinan untuk anak di bawah 14 tahun.

Satu permohonan di Pengadilan Negeri Denpasar dan tiga di Pengadilan Negeri Bangli.

"Calon mempelai laki-laki paling banyak berusia di atas 20 tahun, yakni sebanyak 212. Dari pengajuan dispensasi yang ditolak di Pengadilan Negeri ada 27 permohonan, dan di Pengadilan Agama ada tiga permohonan," ungkap Yastini.

Sementara, berdasarkan data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), pada tahun 2024 terdapat 31.793 kasus kekerasan, dengan 27.521 korban perempuan, termasuk 14.299 kasus kekerasan seksual.

Kekerasan terhadap perempuan dan anak meningkat.

Lalu di Provinsi Bali, kekerasan terhadap perempuan dan anak mengalami peningkatan.

Dari 331 kasus pada tahun 2021 menjadi 438 kasus pada tahun 2024.

Sebanyak 93 di antaranya merupakan kekerasan seksual. 

Ketua Pengurus Daerah PKBI Daerah Bali, dr I Made Oka Negara MBiomed FIAS, menyampaikan persoalan kekerasan seksual dan perkawinan anak di Bali harus dilihat secara menyeluruh dengan adanya upaya kolektif.

“Kolaborasi akan menghasilkan dampak yang jauh lebih besar daripada kerja individu. Masalah kekerasan dan perkawinan anak tidak bisa diselesaikan oleh satu lembaga saja, tetapi membutuhkan kerja bersama lintas sektor,” ujar dia.

Direktur Eksekutif Daerah (DED) PKBI Daerah Bali, Anak Agung Ayu Ratna Wulandari, mengamini bahwa kasus perkawinan anak dan kekerasan seksual masih menjadi tantangan serius di Bali.

Kondisi itu menandakan terjadi pelanggaran terhadap hak-hak dasar individu, khususnya dalam konteks Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR).

Melalui Program Tantri, ia berharap Bali dapat membangun gerakan kolektif yang kuat sebagai langkah strategis dalam menjembatani kesenjangan sistem perlindungan anak dan perempuan.

“Sinergi antara berbagai pemangku kepentingan termasuk pemerintah daerah, lembaga adat, dunia pendidikan, media, dan organisasi masyarakat sipil sangat diperlukan untuk memastikan keberlanjutan," tambah dia.

Menyikapi kondisi ini, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Udayana, Prof Dr Anak Agung Istri Ari Atu Dewi SH MH menjelaskan, perkawinan anak di Bali perlu dibahas lebih dalam lagi.

Terutama, kata dia, keterkaitannya dengan tekanan budaya dan tradisi ‘malu’ yang dilanggengkan di masyarakat.

“Ah, be kadung kene, keto (sudah terlanjur), akhirnya ujung-ujungnya dikawinkan, itu yang terjadi di masyarakat kita,” ungkap dia.

Tradisi ‘malu’ itu kemudian menyebabkan korban merasa takut ketika mengalami kehamilan remaja. Korban pun tidak berani untuk mengungkapkannya kepada keluarga.

Menurut dia penting membangun komunikasi yang baik antara anak dan orangtua.

(*/Tribun-medan.com)

Artikel ini sebagian telah tayang di Kompas.com

Baca berita TRIBUN MEDAN lainnya di Google News

Ikuti juga informasi lainnya di FacebookInstagram dan Twitter dan WA Channel

Berita viral lainnya di Tribun Medan

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved