Bedah Buku Hinca Pandjaitan

Konflik TPL Vs Masyarakat Adat Sumut Seakan Dikelola, Martonggo Raja ala Hinca Akomodir Semua Pihak

Konflik PT Toba Pulp Lestari (TPL) dengan masyarakat adat di Sumut, menjadi cerita lama yang tak kunjung berakhir.

Editor: Juang Naibaho
Dok Tribun Medan
BEDAH BUKU - Anggota Komisi III DPR RI Dr Hinca Pandjaitan XIII (tiga dari kiri) berdiskusi dengan insan pers dalam kegiatan bedah buku berjudul Jalan Tengah untuk Alam, Adat dan Industri, di Studio Tribun Medan, Jumat (7/11/2025). 

Dijelaskan Tonggo, konflik akan terus terjadi sampai masyarakat mendapatkan kembali hak mereka. 

Dia mencontohkan masyarakat adat Pandumaan-Sipituhuta yang mendapat kembali hak mereka lewat perjuangan panjang sejak 2009 sampai 2016.

“Mereka berjuang sampai pada akhirnya presiden turun tangan memberikan hak mereka. Itu juga yang terjadi pada daerah-daerah lain. Masih ada 20-an masyarakat adat lagi,” katanya.

Ketua AJI menyambut baik peluncuran buku berjudul Jalan Tengah untuk Alam, Adat dan Industri: Pelajaran dari Suku Sami Finlandia dan Suku Inuit Kanada untuk PT Toba Pulp Lestari Menuju Hilirisasi Serat Nusantara Dalam Semangat Asta Cita Presiden Prabowo Subianto, yang ditulis Hinca Pandjaitan ini.

“Kupikir Bang Hinca sudah memberikan solusi, salah satu jalan tengah. Tapi kita harus membuat catatan. Jalan tengah itu harus mengakamodir kepentingan semua orang. Artinya sama-sama sejahtera,” tegasnya.

Tonggo tak mau hanya segelintir kelompok yang mendapatkan keuntungan. “Aku salut sama Bang Hinca, karena tak semua dewan bisa nulis. Aku pikir buku ini sebuah tawaran, andai saja wakil-wakil kita yang lain pro aktif seperti ini, memberikan ide dan gagasan, akan selesai masalah,” ujarnya.

Konflik Seakan Dikelola

Praktisi Media sekaligus akademisi Sumut Dr Ramdeswati Pohan mengakui, ide martonggo raja selayaknya dijadikan wadah untuk menyelesaikan konflik masyarakat dengan PT TPL. 

“Jalan tengah ini kalau dalam bahasa mediasi win-win solution. Tidak ada yang kalah, tidak ada yang menang, sama-sama senang. Ini yang belom dicoba oleh masyarakat, elite yang ada di situ, juga korporasi,” kara Dr Ramdeswati.

Diakui Ramdeswati, pemerintah belum mengambil peran sebagai pemandu jalan tengah. “Selama ini kita lihat pemerintah hadir dalam bentuk aparat,” tegasnya.

Perempuan yang akrab disapa Desi ini bahkan menilai, konflik yang terjadi seakan-akan dikelola. 

“Karena kapan waktu dia muncul lagi. Pandangan saya sebagai jurnalis, kita tidak lagi di 5W apa, siapa, mengapa, kenapa. Sudah tahu semua tanah itu milik siapa, pemerintahnya korporasinya kita tahu siapa. Yang perlu kita cari tahu sekarang adalah bagaimana. Sekarang kita mendudukkan ini untuk ke jalan tengah sebuah tawaran. Yang saya kritik itu tadi. Kok hanya korporasi dan masyarakat, mana pemerintah,” tegasnya.

Ia lantas mengutip satu kalimat yang ditulis dalam buku Hinca.”Bhwa keberhasilan pembangunan tak bisa dibaca secara monolitik melainkan harus dilihat dalam konteks lokal dan pengalaman masyarakat. Memang betul, kita tidak boleh meninggikan ego sendiri. Mari sama-sama kita menuju jalan tengah mencari win-win solution,” tutupnya.

Miris Masyarakat Dipenjara

Jurnalis Harian Kompas Nikson Sinaga juga mengapresiasi ide dan pemikiran yang dituangkan Hinca dalam buku berjudul Jalan Tengah untuk Alam, Adat dan Industri.  

“Ada satu perusahaan di satu sisi dan ada masyarakat adat di sisi yang lain. Hampir tak ada  dialog dan pertemuan yang bisa mempertemukannya. Aku pikir buku ini jalan tengah. Apalagi ada tiga kata yang sangat menarik yakni alam, adat dan industrial,” kata Nikson.

Ia menyinggung pernyataan Dr Ramdeswati yang menyatakan, jalan tengah ini tak akan bisa dirumuskan atau dicapai tanpa peran pemerintah. 

Sumber: Tribun Medan
Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved